Setelah melewati berbagai petualangan dan konflik bersama Tim Magma, perjalanan Lunar pun mencapai puncaknya. Apa yang terjadi dengan Lunar? Mampukah dia mendapatkan Groudon bersama Tim Magma? Baca bab terakhirnya sekarang!
Scene 113: PHK Besar-besaran
Maxie terduduk di ruangannya dengan gelisah. Di tangannya tergenggam dua lembar kertas ukuran quatro yang membuatnya menjadi tidak tenang.
”Kenapa... kenapa bisa seperti ini?” dia bertanya pada dirinya sendiri. “Harusnya aku meneliti terlebih dahulu data-datanya, bukan langsung menerimanya begitu saja sebagai anggota tim. Walaupun kemudian dia menjadi prajurit yang hebat, tapi akan percuma bila dia berasal dari keluarga itu....”
Maxie meletakkan selembar kertas dan kini pandangannya beralih pada selembar kertas yang tersisa dalam genggamannya.
“Surat konyol apa ini? Benar-benar tidak bisa dipercaya....” Maxie meremas kertas itu dengan keras lalu kemudian tangannya bergerak hendak merobeknya. Tetapi niatnya itu terhenti dan dia meletakkan kertas itu begitu saja di meja. ”Surat ini,” bisiknya pelan, ”bisa menjadi alasan untuk mengeluarkannya... dari tim....”
Maxie memandang kertas pertama yang diletakkannya di meja erat-erat. Entah mengapa sepertinya dia begitu tertarik dengan sebuah nama yang ada pada bagian atas kertas tersebut. Ada dua belas huruf tertulis disana, itu sebuah nama berikut data-data menyertai di bagian bawahnya. Bila keduabelas huruf itu disatukan, akan membentuk sebuah nama yang tak asing. Nama itu adalah....
Lunar Servada
*
”Lunar, jaga dirimu baik-baik,” ujar Darko saat aku berpapasan dengannya di lorong Magmarine. Kulihat pemilik Kabutops itu membawa sebuah tas jinjing yang besar, seperti yang biasa dibawa orang-orang saat mudik.
”Darko,” sahutku, ”kamu juga jaga dirimu baik-baik. Aku pasti akan sangat merindukanmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu selama ini.”
Darko tersenyum. ”Ya, aku juga mengucapkan terima kasih padamu. Sekarang aku harus pergi, tak ada yang bisa kuharapkan lagi pada tim ini.”
”Semoga kamu mendapatkan yang terbaik bagimu di luar sana,” jawabku pelan.
Darko kemudian berjalan meninggalkanku. Dia berjalan dengan tenang menuju ke pintu keluar Magmarine. Aku memandanginya lama sebelum akhirnya dia hilang dari pandanganku.
Darko Monsta dipecat oleh Maxie setelah pengkhianatannya saat misi mencari Soul Dew. Entah bagaimana ceritanya, aku tidak tahu secara pasti.
Selain Darko, beberapa anggota Tim Magma juga telah dipecat atau dikeluarkan dari tim. Tidak hanya pada tingkat grunt, tapi juga pada tingkatan atas lainnya. Bahkan si jenius Butler juga dikeluarkan dari tim setelah kegagalannya dalam demonstrasi membangkitkan Groudon dari batu fosil yang aku curi di laboratorium Sammon.
Kabarnya Maxie sedang gencar-gencarnya melakukan pemecatan untuk efisiensi kerja tim. Bisa dibilang ini adalah pemecatan atau pemutusan hubungan kerja terbesar yang pernah ada di Tim Magma, begitu yang dikatakan oleh Tabitha. Katanya akan ada lagi anggota yang dipecat, tapi tentunya aku tak berharap menjadi salah satu dari mereka. Bagiku Tim Magma sudah seperti rumah kedua. Disini aku menemukan persahabatan, petualangan, dan pengalaman, tiga hal yang tidak aku dapatkan selama mengurung diri di kota Verdanturf.
”Kita kehilangan salah seorang grunt terbaik,” tiba-tiba terdengar suara Flame di belakang. Rupanya Flame sudah berada di sana dari tadi.
”Apa menurutmu dia itu hebat?” tanyaku kemudian.
Flame mangangguk. ”Apa kamu tidak ingat saat bertarung dengannya pada ujian regu elit waktu itu?”
Mendengar itu aku langsung teringat pada pertarungan sengit di bawah gunung Chimney guna mendapatkan gelar regu elit. Saat itu aku dan Volta bertarung dengan sekuat tenaga melawan Kabutops Darko yang sangat kuat. Kerja sama dari kami berdualah yang kemudian berhasil menjatuhkan Pokemon fosil miliknya dan kemudian Flame melengkapi kemenangan kami setelah dia merebut bola merah dari dua rekan Darko.
Ya, kemenangan yang membawa pada lahirnya regu elit G itu adalah buah dari kerja sama kami bertiga, kerja sama antara aku, Volta, dan juga Flame. Aku sendiri tak menyangka bisa terpilih mengikuti ujian tersebut dan akhirnya berhasil menjadi bagian dari regu elit. Regu elit yang telah mempertemukanku dengan Volta, dan tentunya dengan Flame...
”Kenapa... kenapa bisa seperti ini?” dia bertanya pada dirinya sendiri. “Harusnya aku meneliti terlebih dahulu data-datanya, bukan langsung menerimanya begitu saja sebagai anggota tim. Walaupun kemudian dia menjadi prajurit yang hebat, tapi akan percuma bila dia berasal dari keluarga itu....”
Maxie meletakkan selembar kertas dan kini pandangannya beralih pada selembar kertas yang tersisa dalam genggamannya.
“Surat konyol apa ini? Benar-benar tidak bisa dipercaya....” Maxie meremas kertas itu dengan keras lalu kemudian tangannya bergerak hendak merobeknya. Tetapi niatnya itu terhenti dan dia meletakkan kertas itu begitu saja di meja. ”Surat ini,” bisiknya pelan, ”bisa menjadi alasan untuk mengeluarkannya... dari tim....”
Maxie memandang kertas pertama yang diletakkannya di meja erat-erat. Entah mengapa sepertinya dia begitu tertarik dengan sebuah nama yang ada pada bagian atas kertas tersebut. Ada dua belas huruf tertulis disana, itu sebuah nama berikut data-data menyertai di bagian bawahnya. Bila keduabelas huruf itu disatukan, akan membentuk sebuah nama yang tak asing. Nama itu adalah....
Lunar Servada
*
”Lunar, jaga dirimu baik-baik,” ujar Darko saat aku berpapasan dengannya di lorong Magmarine. Kulihat pemilik Kabutops itu membawa sebuah tas jinjing yang besar, seperti yang biasa dibawa orang-orang saat mudik.
”Darko,” sahutku, ”kamu juga jaga dirimu baik-baik. Aku pasti akan sangat merindukanmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu selama ini.”
Darko tersenyum. ”Ya, aku juga mengucapkan terima kasih padamu. Sekarang aku harus pergi, tak ada yang bisa kuharapkan lagi pada tim ini.”
”Semoga kamu mendapatkan yang terbaik bagimu di luar sana,” jawabku pelan.
Darko kemudian berjalan meninggalkanku. Dia berjalan dengan tenang menuju ke pintu keluar Magmarine. Aku memandanginya lama sebelum akhirnya dia hilang dari pandanganku.
Darko Monsta dipecat oleh Maxie setelah pengkhianatannya saat misi mencari Soul Dew. Entah bagaimana ceritanya, aku tidak tahu secara pasti.
Selain Darko, beberapa anggota Tim Magma juga telah dipecat atau dikeluarkan dari tim. Tidak hanya pada tingkat grunt, tapi juga pada tingkatan atas lainnya. Bahkan si jenius Butler juga dikeluarkan dari tim setelah kegagalannya dalam demonstrasi membangkitkan Groudon dari batu fosil yang aku curi di laboratorium Sammon.
Kabarnya Maxie sedang gencar-gencarnya melakukan pemecatan untuk efisiensi kerja tim. Bisa dibilang ini adalah pemecatan atau pemutusan hubungan kerja terbesar yang pernah ada di Tim Magma, begitu yang dikatakan oleh Tabitha. Katanya akan ada lagi anggota yang dipecat, tapi tentunya aku tak berharap menjadi salah satu dari mereka. Bagiku Tim Magma sudah seperti rumah kedua. Disini aku menemukan persahabatan, petualangan, dan pengalaman, tiga hal yang tidak aku dapatkan selama mengurung diri di kota Verdanturf.
”Kita kehilangan salah seorang grunt terbaik,” tiba-tiba terdengar suara Flame di belakang. Rupanya Flame sudah berada di sana dari tadi.
”Apa menurutmu dia itu hebat?” tanyaku kemudian.
Flame mangangguk. ”Apa kamu tidak ingat saat bertarung dengannya pada ujian regu elit waktu itu?”
Mendengar itu aku langsung teringat pada pertarungan sengit di bawah gunung Chimney guna mendapatkan gelar regu elit. Saat itu aku dan Volta bertarung dengan sekuat tenaga melawan Kabutops Darko yang sangat kuat. Kerja sama dari kami berdualah yang kemudian berhasil menjatuhkan Pokemon fosil miliknya dan kemudian Flame melengkapi kemenangan kami setelah dia merebut bola merah dari dua rekan Darko.
Ya, kemenangan yang membawa pada lahirnya regu elit G itu adalah buah dari kerja sama kami bertiga, kerja sama antara aku, Volta, dan juga Flame. Aku sendiri tak menyangka bisa terpilih mengikuti ujian tersebut dan akhirnya berhasil menjadi bagian dari regu elit. Regu elit yang telah mempertemukanku dengan Volta, dan tentunya dengan Flame...
Scene 114: Regu Elit Dibubarkan
Aku dan Flame tengah berdiri di depan meja Maxie. Sang pemimpin Tim Magma itu menatap kami berdua dengan tatapan yang serius. Aku tak tahu apa yang akan dikatakan oleh Maxie, tapi kami menduga dia akan memberikan tugas lagi kepada kami.
”Kalian tahu kenapa aku memanggil kalian kesini?” tanya Maxie membuka pembicaraan.
”Apakah Paman akan memberikan tugas lagi kepada kami?” tanya Flame mencoba menebak.
Maxie menggeleng. Dia menatap keponakannya itu dengan tajam, membuat Flame merinding. Aku bisa melihat perubahan sikap Flame yang terlihat ketakutan sekarang. Selama ini aku tak pernah melihat Maxie menatap kami setajam itu. Tatapannya pun beralih padaku dan aku merasakan ketakutan yang sangat.
”Apa... apa ada yang lain selain tugas?” aku mencoba mencairkan suasana yang begitu tegang itu.
Maxie terdiam tak menjawab. Dia menunduk sebentar dan kemudian menatap kami kembali secara bersamaan.
”Lunar dan Flame,” ujarnya kemudian. ”Aku membawakan berita buruk bagi kalian. Kuharap kalian bisa menerimanya.”
”Paman... jangan katakan...”
”Flame,” potong Maxie. ”Regu Elit... kububarkan terhitung mulai sekarang.”
”Apa?” aku terkejut. ”Ke... kenapa bisa? Apa salah kami?” tanyaku tak percaya dengan apa yang baru kudengar.
”Paman bercanda kan?” tanya Flame ikut terkejut. ”Selama ini kami bertugas dengan baik dan Paman membubarkan kami?”
”Diam!” bentak Maxie. Aku tak pernah melihat Maxie membentak semenjak pertemuan pertamaku dengannya di gunung Chimney. ”Aku punya alasan,” sambungnya.
Aku dan Flame terdiam. Maxie tampak sangat serius dengan perkataannya, kami tak bisa malah menyulut kemarahannya.
”Regu Elit sudah tidak utuh lagi semenjak pengkhianat itu keluar dari sini,” terang Maxie. ”Lagipula aku sudah tidak membutuhkan regu ini lagi.”
”Kenapa bisa begitu mendadak? Bukankah pekerjaan kami begitu baik selama ini?” ujarku berusaha membela diri.
”Aku sudah membuat keputusan, dan aku punya alasan,” jawab Maxie tenang. ”Sejak regu ini dibubarkan, Flame akan kembali menjadi grunt biasa,” katanya. Maxie lalu menatap Flame, kemudian melihat ke arahku. ”Sementara kamu, Lunar,” ujarnya melanjutkan, ”Lunar.... kamu... kamu aku pecat! Setelah ini, silakan keluar dari ruanganku dan kemasi barang-barangmu. Aku sudah tidak membutuhkan orang sepertimu lagi!”
Apa? Ini... ini bercanda bukan? Maxie... Maxie memecatku?
”Paman, apa-apaan ini?” tanya Flame tampak tak terima. ”Aku bisa terima bila aku menjadi grunt biasa, tapi aku tak bisa terima bila Lunar dikeluarkan dari tim ini. Sebenarnya apa maksud Paman dan apa alasan Paman melakukan hal ini?”
Maxie mengeluarkan selembar kertas dan menunjukkannya pada kami berdua. Flame serta merta merebut kertas dari tangan Maxie dan membacanya. Raut wajahnya tampak pucat saat membaca kertas itu.
”Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin Paman! Ini pasti fitnah!” seru Flame lantang. ”Aku tak percaya Lunar bisa melakukan hal ini, ini pasti lelucon!”
Aku kemudian merebut kertas itu dari tangan Flame dan ikut membacanya. Sekarang aku tahu apa yang membuat Flame bereaksi lebih keras. Di kertas itu tertulis sebuah perjanjian kerja sama antara aku dan Volta. Tertulis disitu kalau aku bekerja sama dengan Volta untuk merebut Red Orb dan sebentar lagi aku akan membebaskan Kyogre menggunakan Blue Orb. Omong kosong macam apa ini? Aku sama sekali tak pernah merasa membuat surat bodoh ini.
”Ini bohong... ini bohong...” bisikku bereaksi. ”Aku tak pernah membuat surat seperti ini, aku tidak berniat membantu Volta ataupun akan membebaskan Kyogre. Ini bohong!”
”Sayangnya Lunar, itu adalah bukti yang kuat,” sahut Maxie. ”Aku tak mau pengkhianat sepertimu masih berada di kapalku. Lebih baik kuputuskan untuk melepasmu daripada nantinya akan membahayakan misi kami.”
”Apa Paman sudah gila? Apa Paman lupa siapa yang membawakan Blue Orb pada Paman?” bela Flame. ”Kalaupun Lunar adalah pengkhianat, tak semestinya dia membawakan Blue Orb itu. Dia pasti akan langsung melumpuhkanku dan merebut Blue Orb begitu saja. Apa paman lupa?”
”Bisa saja itu orb palsu...” sangkal Maxie.
”Itu asli Paman! Siapapun bisa memastikan itu asli!” bantah Flame.
”Bisa saja itu hanya akting, dan dia akan kembali merebut Blue Orb itu bersamaan dengan Kyogre,” tuduh Maxie lagi.
”Paman! Aku percaya dengan Lunar! Dia telah menyelamatkanku sejauh ini, dia telah banyak membantu, tak mungkin dia seorang pengkhianat!” Flame terus-menerus membelaku. Dia melakukan hal yang sama yang pernah dia lakukan saat aku tertangkap oleh Tim Magma dan juga saat bertemu Volta dulu. Dialah satu-satunya pembelaku. ”Lunar telah banyak berjasa bagi kita, dia salah satu anggota terbaik, dia...”
”CUKUP!” bentak Maxie keras. Flame terkejut dan langsung berhenti bicara. Aku bisa melihat ketakutan di wajahnya walaupun aku tahu dia berusaha melawan rasa takutnya itu untuk terus membelaku.
”Pa... Paman....” gagap Flame dengan wajah yang mulai berkaca-kaca.
”Flame, aku ingin kamu mengerti,” ujar Maxie merendahkan suaranya. Ditatapnya wajah keponakannya dengan tajam. ”Awalnya Clown adalah temanmu juga, dia juga anggota terbaik kita. Tapi lihatlah, apa yang telah dia lakukan? Dia merebut Red Orb, bola yang bisa mengendalikan Groudon. Tahukah kamu apa artinya itu? Pengkhianat tetaplah pengkhianat walaupun dia bersembunyi di balik bulu Mareep.”
Maxie diam sejenak. Dilihatnya keponakannya yang mulai berlinang air mata itu. ”Sekarang biarkan aku menyelesaikan urusan ini dan kau segera keluar dari ruangan ini. Aku ingin berbicara dengan Lunar secara empat mata sebelum dia pergi dari Magmarine.”
”Paman... Paman jahat!” usai berkata itu Flame langsung berbalik dan keluar dari ruangan Maxie. Dia membanting pintu kabin dengan sangat keras. Aku bisa melihat air matanya jatuh saat dia berbalik tadi. Aku dan Maxie memandangi kepergiannya cukup lama.
”Dia akan segera memahami hal ini,” ujar Maxie memecah keheningan.
”Tuan Maxie, aku berharap pembicaraan ini bisa menjelaskan semuanya,” sahutku mencoba tegar. ”Aku ingin penjelasan darimu.”
”Tentu saja,” jawab Maxie dengan tegas. ”Karena itulah aku menyuruh Flame keluar. Aku akan mengatakan alasan sebenarnya kenapa kau harus keluar dari Tim Magma.”
Alasan sebenarnya? Apa maksudnya ini?
”Kalian tahu kenapa aku memanggil kalian kesini?” tanya Maxie membuka pembicaraan.
”Apakah Paman akan memberikan tugas lagi kepada kami?” tanya Flame mencoba menebak.
Maxie menggeleng. Dia menatap keponakannya itu dengan tajam, membuat Flame merinding. Aku bisa melihat perubahan sikap Flame yang terlihat ketakutan sekarang. Selama ini aku tak pernah melihat Maxie menatap kami setajam itu. Tatapannya pun beralih padaku dan aku merasakan ketakutan yang sangat.
”Apa... apa ada yang lain selain tugas?” aku mencoba mencairkan suasana yang begitu tegang itu.
Maxie terdiam tak menjawab. Dia menunduk sebentar dan kemudian menatap kami kembali secara bersamaan.
”Lunar dan Flame,” ujarnya kemudian. ”Aku membawakan berita buruk bagi kalian. Kuharap kalian bisa menerimanya.”
”Paman... jangan katakan...”
”Flame,” potong Maxie. ”Regu Elit... kububarkan terhitung mulai sekarang.”
”Apa?” aku terkejut. ”Ke... kenapa bisa? Apa salah kami?” tanyaku tak percaya dengan apa yang baru kudengar.
”Paman bercanda kan?” tanya Flame ikut terkejut. ”Selama ini kami bertugas dengan baik dan Paman membubarkan kami?”
”Diam!” bentak Maxie. Aku tak pernah melihat Maxie membentak semenjak pertemuan pertamaku dengannya di gunung Chimney. ”Aku punya alasan,” sambungnya.
Aku dan Flame terdiam. Maxie tampak sangat serius dengan perkataannya, kami tak bisa malah menyulut kemarahannya.
”Regu Elit sudah tidak utuh lagi semenjak pengkhianat itu keluar dari sini,” terang Maxie. ”Lagipula aku sudah tidak membutuhkan regu ini lagi.”
”Kenapa bisa begitu mendadak? Bukankah pekerjaan kami begitu baik selama ini?” ujarku berusaha membela diri.
”Aku sudah membuat keputusan, dan aku punya alasan,” jawab Maxie tenang. ”Sejak regu ini dibubarkan, Flame akan kembali menjadi grunt biasa,” katanya. Maxie lalu menatap Flame, kemudian melihat ke arahku. ”Sementara kamu, Lunar,” ujarnya melanjutkan, ”Lunar.... kamu... kamu aku pecat! Setelah ini, silakan keluar dari ruanganku dan kemasi barang-barangmu. Aku sudah tidak membutuhkan orang sepertimu lagi!”
Apa? Ini... ini bercanda bukan? Maxie... Maxie memecatku?
”Paman, apa-apaan ini?” tanya Flame tampak tak terima. ”Aku bisa terima bila aku menjadi grunt biasa, tapi aku tak bisa terima bila Lunar dikeluarkan dari tim ini. Sebenarnya apa maksud Paman dan apa alasan Paman melakukan hal ini?”
Maxie mengeluarkan selembar kertas dan menunjukkannya pada kami berdua. Flame serta merta merebut kertas dari tangan Maxie dan membacanya. Raut wajahnya tampak pucat saat membaca kertas itu.
”Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin Paman! Ini pasti fitnah!” seru Flame lantang. ”Aku tak percaya Lunar bisa melakukan hal ini, ini pasti lelucon!”
Aku kemudian merebut kertas itu dari tangan Flame dan ikut membacanya. Sekarang aku tahu apa yang membuat Flame bereaksi lebih keras. Di kertas itu tertulis sebuah perjanjian kerja sama antara aku dan Volta. Tertulis disitu kalau aku bekerja sama dengan Volta untuk merebut Red Orb dan sebentar lagi aku akan membebaskan Kyogre menggunakan Blue Orb. Omong kosong macam apa ini? Aku sama sekali tak pernah merasa membuat surat bodoh ini.
”Ini bohong... ini bohong...” bisikku bereaksi. ”Aku tak pernah membuat surat seperti ini, aku tidak berniat membantu Volta ataupun akan membebaskan Kyogre. Ini bohong!”
”Sayangnya Lunar, itu adalah bukti yang kuat,” sahut Maxie. ”Aku tak mau pengkhianat sepertimu masih berada di kapalku. Lebih baik kuputuskan untuk melepasmu daripada nantinya akan membahayakan misi kami.”
”Apa Paman sudah gila? Apa Paman lupa siapa yang membawakan Blue Orb pada Paman?” bela Flame. ”Kalaupun Lunar adalah pengkhianat, tak semestinya dia membawakan Blue Orb itu. Dia pasti akan langsung melumpuhkanku dan merebut Blue Orb begitu saja. Apa paman lupa?”
”Bisa saja itu orb palsu...” sangkal Maxie.
”Itu asli Paman! Siapapun bisa memastikan itu asli!” bantah Flame.
”Bisa saja itu hanya akting, dan dia akan kembali merebut Blue Orb itu bersamaan dengan Kyogre,” tuduh Maxie lagi.
”Paman! Aku percaya dengan Lunar! Dia telah menyelamatkanku sejauh ini, dia telah banyak membantu, tak mungkin dia seorang pengkhianat!” Flame terus-menerus membelaku. Dia melakukan hal yang sama yang pernah dia lakukan saat aku tertangkap oleh Tim Magma dan juga saat bertemu Volta dulu. Dialah satu-satunya pembelaku. ”Lunar telah banyak berjasa bagi kita, dia salah satu anggota terbaik, dia...”
”CUKUP!” bentak Maxie keras. Flame terkejut dan langsung berhenti bicara. Aku bisa melihat ketakutan di wajahnya walaupun aku tahu dia berusaha melawan rasa takutnya itu untuk terus membelaku.
”Pa... Paman....” gagap Flame dengan wajah yang mulai berkaca-kaca.
”Flame, aku ingin kamu mengerti,” ujar Maxie merendahkan suaranya. Ditatapnya wajah keponakannya dengan tajam. ”Awalnya Clown adalah temanmu juga, dia juga anggota terbaik kita. Tapi lihatlah, apa yang telah dia lakukan? Dia merebut Red Orb, bola yang bisa mengendalikan Groudon. Tahukah kamu apa artinya itu? Pengkhianat tetaplah pengkhianat walaupun dia bersembunyi di balik bulu Mareep.”
Maxie diam sejenak. Dilihatnya keponakannya yang mulai berlinang air mata itu. ”Sekarang biarkan aku menyelesaikan urusan ini dan kau segera keluar dari ruangan ini. Aku ingin berbicara dengan Lunar secara empat mata sebelum dia pergi dari Magmarine.”
”Paman... Paman jahat!” usai berkata itu Flame langsung berbalik dan keluar dari ruangan Maxie. Dia membanting pintu kabin dengan sangat keras. Aku bisa melihat air matanya jatuh saat dia berbalik tadi. Aku dan Maxie memandangi kepergiannya cukup lama.
”Dia akan segera memahami hal ini,” ujar Maxie memecah keheningan.
”Tuan Maxie, aku berharap pembicaraan ini bisa menjelaskan semuanya,” sahutku mencoba tegar. ”Aku ingin penjelasan darimu.”
”Tentu saja,” jawab Maxie dengan tegas. ”Karena itulah aku menyuruh Flame keluar. Aku akan mengatakan alasan sebenarnya kenapa kau harus keluar dari Tim Magma.”
Alasan sebenarnya? Apa maksudnya ini?
Scene 115: Alasan Sebenarnya
”Aku ingin mengatakan alasan sebenarnya kenapa kau harus pergi dari Tim Magma, karena itulah aku menyuruh Flame keluar.”
”Alasan sebenarnya? Apa maksud Anda?” tanyaku tak mengerti.
”Berikan kertas itu padaku,” perintah Maxie. Aku lalu maju dan mengulurkan kertas perjanjian tersebut.
Maxie menerimanya dan kini menunjukkanya kepadaku. ”Kertas ini walaupun terlihat sangat meyakinkan, tapi tak bisa mengubah kepercayaanku padamu hingga kamu benar-benar melakukan pengkhianatan nantinya. Blue Orb itu asli, dan kamu tak bisa disamakan dengan Volta Lebasque, kamu lebih baik darinya.”
”Lalu kenapa Anda katakan semua itu?” tanyaku heran.
”Itu hanya alasan....yang bisa diterima semuanya. Itu hanyalah alasan agar aku bisa mengeluarkanmu dengan tepat.”
”Lalu apa alasan sebenarnya?” aku mulai penasaran. Bila Maxie terdengar bertele-tele seperti ini, pasti yang akan dikatakannya adalah hal yang serius. Kalau bukan itu alasan yang digunakannya untuk memecatku, aku penasaran dengan alasan apa yang sengaja disembunyikan itu.
”Lunar, harusnya kamu menjawab dengan jujur saat aku menanyakan siapa nama lengkapmu waktu pertama kali kita bertemu. Kalau kamu menyebutkan nama lengkapmu saat itu, mungkin aku takkan pernah berurusan denganmu lagi sejak saat itu.”
”Apa maksudnya? Memangnya kenapa dengan....” tiba-tiba pikiranku kembali pada saat pertama kali bertemu Tim Magma. Entah mengapa kali ini aku bisa mengingatnya dengan baik. Saat itu...
”Aku lupa menanyakan, siapa namamu Nak?”
”Anda bisa memanggilku Lunar, Tuan Maxie.”
”Lunar? Itu nama yang aneh, tapi sudahlah,”
”Tapi ini juga salahku,” sambung Maxie. ”Seharusnya kuperiksa data-datamu secara lengkap setelah kamu bergabung dengan Tim Magma, tapi aku tak sempat dan kemudian melupakannya.”
”Memangnya ada apa dengan namaku? Apakah itu ada artinya dengan keberadaanku di Tim Magma?”
Maxie mengangguk. ”Ya, sangat ada. Sekarang, aku akan menanyakannya sekali lagi dan jawab dengan jujur. Siapa nama aslimu? Sebutkan nama aslimu dengan lengkap!”
”Namaku... namaku...” aku ragu menjawab, tapi... ”...namaku Lunar Servada.”
”Nah, itu baru nama yang benar,” sahut Maxie sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arahku. ”Kamu, Lunar Servada. Nama awalmu adalah namamu, sementara nama belakangmu, adalah nama keluargamu. Saat ini aku akan membicarakan tentang... keluarga Servada.”
Keluarga Servada? Memangnya ada apa dengan keluarga Servada?
”Sekarang tolong katakan apa maksud Anda?” tanyaku semakin tak mengerti.
”Aku tak mau berurusan dengan keluarga Servada!” Maxie langsung menjawab pertanyaanku dengan cepat. Aku terkejut. Apa maksudnya dengan jawaban itu?
”Lunar Servada, kamu harus tahu satu hal!” Maxie berkata dengan berapi-api. ”Kamu harus tahu kalau aku sangat membenci keluarga Servada bahkan kalaupun mereka pernah menolongku, aku akan tetap membenci mereka!”
Maxie... Maxie membenci keluarga Servada? Apa... apa maksudnya ini?
”Kalau aku tahu kau berasal dari keluarga Servada, aku takkan sudi menerimamu sebagai anggota Tim Magma. Aku akan langsung menyetrummu sampai tewas!”
Begitukah? Begitukah yang akan dilakukan oleh Maxie bila saat itu aku memberikan nama asliku?
”Tuan Maxie, kenapa kau memben...”
”Kenapa aku membenci keluarga Servada?” potong Maxie cepat. ”Kau mau tahu kenapa?” Aku terdiam. Aku tak bisa berkata apa-apa karena aku tahu suasana hati Maxie sedang buruk. ”Aku membenci Servada karena aku memang membencinya!”
Jawaban macam apa itu? Tetapi...
”Lunar Servada, aku bisa saja membunuhmu saat ini, tetapi aku tak bisa melakukannya... setelah semua yang kamu lakukan untukku, untuk Flame, dan untuk Tim Magma....” Maxie terdiam. Kini dia sudah tampak kembali tenang. ”Aku tak bisa menghukummu saat ini, karena kamu memang tak memiliki salah padaku ataupun Tim Magma. Tetapi meski begitu, aku akan tetap membencimu karena di dalam tubuhmu mengalir darah keluarga Servada. Dan karena aku membencimu, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan saat ini, yaitu mengeluarkanmu.... aku ingin kau memahami hal ini dengan baik.”
Aku terdiam. Aku tak menyangka akan berada dalam situasi seperti ini. Aku tak menyangka bila ternyata ada seseorang yang sangat membenci keluargaku dan sepertinya menaruh dendam pada keluarga Servada.
Yang aku tak menduga lagi adalah... kenyataan bahwa Maxie bisa begitu emosional saat mendengar nama keluargaku. Sebenarnya apa yang terjadi? Sebenarnya apa alasan Tuan Maxie membenci keluargaku?
”Aku bisa memahaminya, Tuan Maxie,” ujarku pelan. ”Bila Anda membenci keluargaku, aku bisa memakluminya. Aku pun bisa memahami bila Anda ingin aku pergi dari sini. Tapi asal Anda tahu...” aku mulai ikut terbawa emosi. Tak terasa setetes air mata meluncur dari mataku yang berkaca-kaca. ”Asal Anda tahu, kalaupun Anda tak mengeluarkanku dari tim ini, aku akan mengajukan pengunduran diri sendiri. Aku tak mau lagi bergabung dengan tim penjahat yang mengorbankan kepentingan orang lain demi mencapai tujuannya!”
Maxie terdiam. Sepertinya dia tak menyangka bila aku berani mengatakan hal sekeras itu.
”Aku mendapat banyak hal dari Tim Magma, dan aku tak bisa memungkiri bila Tim Magma juga mendapatkan banyak hal dariku. Aku... aku harus berterima kasih pada Anda Tuan Maxie, Anda telah memberiku kesempatan untuk... untuk bisa mencari Groudon. Anda tahu, mencari Groudon bersama Anda, bersama semua anggota Tim Magma lainnya, adalah sebuah kehormatan bagiku. Karena itu... terima kasih Tuan Maxie... terima kasih.....” aku berhenti bicara.
Aku tak kuasa menahan air mataku. Kini aku benar-benar menangis, dan aku berusaha mengenyahkan air mataku. ”Maaf, maaf bila aku pernah mengecewakanmu, termasuk saat membuat Flame sekarat... maafkan aku....”
Aku berbalik membelakangi Maxie. Aku tak mau dia melihatku menangis. Aku tak mau dia melihatku begitu lemah. Aku harus kuat... aku harus kuat.
”Tuan Maxie,” ujarku lagi. ”Setelah ini aku akan pergi sehingga Anda tidak bisa melihatku lagi. Tapi sebelum pergi, aku punya permintaan terakhir. Kalau Anda mengizinkan, biarkan aku menyimpan seragam ini. Biarkan aku menyimpannya sebagai kenang-kenangan... dan juga bukti kalau aku pernah bekerja untuk orang sehebat Anda... Tuan Maxie....”
Usai mengatakan hal itu, aku langsung melangkahkan kakiku berniat meninggalkan ruangan tokoh kharismatik yang kukagumi itu.
”Lunar, tunggu dulu.” Aku baru saja akan membuka pintu kabin saat Maxie memanggilku. Aku pun berbalik menghadapnya. ”Lunar,” lanjut Maxie. ”Maafkan aku.... dan terima kasih atas semua bantuanmu selama ini. Kamu harus tahu satu hal, aku sangat bangga padamu. Aku bangga memiliki seorang prajurit tangguh sepertimu. Semoga kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan. Dan terakhir... kamu boleh menyimpan seragam itu sebagai kenang-kenangan dariku....”
Aku tersenyum getir. Kutatap wajah Maxie untuk terakhir kalinya dan kemudian aku kembali berbalik, membuka pintu, dan benar-benar keluar dari ruangan Maxie. Itulah terakhir kalinya aku memasuki ruangan Maxie. Itu juga menjadi saat terakhir aku bertemu dengan Maxie, dengan salah satu orang terhebat yang pernah kutemui...
”Alasan sebenarnya? Apa maksud Anda?” tanyaku tak mengerti.
”Berikan kertas itu padaku,” perintah Maxie. Aku lalu maju dan mengulurkan kertas perjanjian tersebut.
Maxie menerimanya dan kini menunjukkanya kepadaku. ”Kertas ini walaupun terlihat sangat meyakinkan, tapi tak bisa mengubah kepercayaanku padamu hingga kamu benar-benar melakukan pengkhianatan nantinya. Blue Orb itu asli, dan kamu tak bisa disamakan dengan Volta Lebasque, kamu lebih baik darinya.”
”Lalu kenapa Anda katakan semua itu?” tanyaku heran.
”Itu hanya alasan....yang bisa diterima semuanya. Itu hanyalah alasan agar aku bisa mengeluarkanmu dengan tepat.”
”Lalu apa alasan sebenarnya?” aku mulai penasaran. Bila Maxie terdengar bertele-tele seperti ini, pasti yang akan dikatakannya adalah hal yang serius. Kalau bukan itu alasan yang digunakannya untuk memecatku, aku penasaran dengan alasan apa yang sengaja disembunyikan itu.
”Lunar, harusnya kamu menjawab dengan jujur saat aku menanyakan siapa nama lengkapmu waktu pertama kali kita bertemu. Kalau kamu menyebutkan nama lengkapmu saat itu, mungkin aku takkan pernah berurusan denganmu lagi sejak saat itu.”
”Apa maksudnya? Memangnya kenapa dengan....” tiba-tiba pikiranku kembali pada saat pertama kali bertemu Tim Magma. Entah mengapa kali ini aku bisa mengingatnya dengan baik. Saat itu...
”Aku lupa menanyakan, siapa namamu Nak?”
”Anda bisa memanggilku Lunar, Tuan Maxie.”
”Lunar? Itu nama yang aneh, tapi sudahlah,”
”Tapi ini juga salahku,” sambung Maxie. ”Seharusnya kuperiksa data-datamu secara lengkap setelah kamu bergabung dengan Tim Magma, tapi aku tak sempat dan kemudian melupakannya.”
”Memangnya ada apa dengan namaku? Apakah itu ada artinya dengan keberadaanku di Tim Magma?”
Maxie mengangguk. ”Ya, sangat ada. Sekarang, aku akan menanyakannya sekali lagi dan jawab dengan jujur. Siapa nama aslimu? Sebutkan nama aslimu dengan lengkap!”
”Namaku... namaku...” aku ragu menjawab, tapi... ”...namaku Lunar Servada.”
”Nah, itu baru nama yang benar,” sahut Maxie sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arahku. ”Kamu, Lunar Servada. Nama awalmu adalah namamu, sementara nama belakangmu, adalah nama keluargamu. Saat ini aku akan membicarakan tentang... keluarga Servada.”
Keluarga Servada? Memangnya ada apa dengan keluarga Servada?
”Sekarang tolong katakan apa maksud Anda?” tanyaku semakin tak mengerti.
”Aku tak mau berurusan dengan keluarga Servada!” Maxie langsung menjawab pertanyaanku dengan cepat. Aku terkejut. Apa maksudnya dengan jawaban itu?
”Lunar Servada, kamu harus tahu satu hal!” Maxie berkata dengan berapi-api. ”Kamu harus tahu kalau aku sangat membenci keluarga Servada bahkan kalaupun mereka pernah menolongku, aku akan tetap membenci mereka!”
Maxie... Maxie membenci keluarga Servada? Apa... apa maksudnya ini?
”Kalau aku tahu kau berasal dari keluarga Servada, aku takkan sudi menerimamu sebagai anggota Tim Magma. Aku akan langsung menyetrummu sampai tewas!”
Begitukah? Begitukah yang akan dilakukan oleh Maxie bila saat itu aku memberikan nama asliku?
”Tuan Maxie, kenapa kau memben...”
”Kenapa aku membenci keluarga Servada?” potong Maxie cepat. ”Kau mau tahu kenapa?” Aku terdiam. Aku tak bisa berkata apa-apa karena aku tahu suasana hati Maxie sedang buruk. ”Aku membenci Servada karena aku memang membencinya!”
Jawaban macam apa itu? Tetapi...
”Lunar Servada, aku bisa saja membunuhmu saat ini, tetapi aku tak bisa melakukannya... setelah semua yang kamu lakukan untukku, untuk Flame, dan untuk Tim Magma....” Maxie terdiam. Kini dia sudah tampak kembali tenang. ”Aku tak bisa menghukummu saat ini, karena kamu memang tak memiliki salah padaku ataupun Tim Magma. Tetapi meski begitu, aku akan tetap membencimu karena di dalam tubuhmu mengalir darah keluarga Servada. Dan karena aku membencimu, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan saat ini, yaitu mengeluarkanmu.... aku ingin kau memahami hal ini dengan baik.”
Aku terdiam. Aku tak menyangka akan berada dalam situasi seperti ini. Aku tak menyangka bila ternyata ada seseorang yang sangat membenci keluargaku dan sepertinya menaruh dendam pada keluarga Servada.
Yang aku tak menduga lagi adalah... kenyataan bahwa Maxie bisa begitu emosional saat mendengar nama keluargaku. Sebenarnya apa yang terjadi? Sebenarnya apa alasan Tuan Maxie membenci keluargaku?
”Aku bisa memahaminya, Tuan Maxie,” ujarku pelan. ”Bila Anda membenci keluargaku, aku bisa memakluminya. Aku pun bisa memahami bila Anda ingin aku pergi dari sini. Tapi asal Anda tahu...” aku mulai ikut terbawa emosi. Tak terasa setetes air mata meluncur dari mataku yang berkaca-kaca. ”Asal Anda tahu, kalaupun Anda tak mengeluarkanku dari tim ini, aku akan mengajukan pengunduran diri sendiri. Aku tak mau lagi bergabung dengan tim penjahat yang mengorbankan kepentingan orang lain demi mencapai tujuannya!”
Maxie terdiam. Sepertinya dia tak menyangka bila aku berani mengatakan hal sekeras itu.
”Aku mendapat banyak hal dari Tim Magma, dan aku tak bisa memungkiri bila Tim Magma juga mendapatkan banyak hal dariku. Aku... aku harus berterima kasih pada Anda Tuan Maxie, Anda telah memberiku kesempatan untuk... untuk bisa mencari Groudon. Anda tahu, mencari Groudon bersama Anda, bersama semua anggota Tim Magma lainnya, adalah sebuah kehormatan bagiku. Karena itu... terima kasih Tuan Maxie... terima kasih.....” aku berhenti bicara.
Aku tak kuasa menahan air mataku. Kini aku benar-benar menangis, dan aku berusaha mengenyahkan air mataku. ”Maaf, maaf bila aku pernah mengecewakanmu, termasuk saat membuat Flame sekarat... maafkan aku....”
Aku berbalik membelakangi Maxie. Aku tak mau dia melihatku menangis. Aku tak mau dia melihatku begitu lemah. Aku harus kuat... aku harus kuat.
”Tuan Maxie,” ujarku lagi. ”Setelah ini aku akan pergi sehingga Anda tidak bisa melihatku lagi. Tapi sebelum pergi, aku punya permintaan terakhir. Kalau Anda mengizinkan, biarkan aku menyimpan seragam ini. Biarkan aku menyimpannya sebagai kenang-kenangan... dan juga bukti kalau aku pernah bekerja untuk orang sehebat Anda... Tuan Maxie....”
Usai mengatakan hal itu, aku langsung melangkahkan kakiku berniat meninggalkan ruangan tokoh kharismatik yang kukagumi itu.
”Lunar, tunggu dulu.” Aku baru saja akan membuka pintu kabin saat Maxie memanggilku. Aku pun berbalik menghadapnya. ”Lunar,” lanjut Maxie. ”Maafkan aku.... dan terima kasih atas semua bantuanmu selama ini. Kamu harus tahu satu hal, aku sangat bangga padamu. Aku bangga memiliki seorang prajurit tangguh sepertimu. Semoga kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan. Dan terakhir... kamu boleh menyimpan seragam itu sebagai kenang-kenangan dariku....”
Aku tersenyum getir. Kutatap wajah Maxie untuk terakhir kalinya dan kemudian aku kembali berbalik, membuka pintu, dan benar-benar keluar dari ruangan Maxie. Itulah terakhir kalinya aku memasuki ruangan Maxie. Itu juga menjadi saat terakhir aku bertemu dengan Maxie, dengan salah satu orang terhebat yang pernah kutemui...
Scene 116: Tugas Terakhir
Di ruangannya, Maxie tampak memandang lembaran bertuliskan data-data Lunar Servada. Membaca nama itu, membuatnya teringat pada masa lalunya, yang membuatnya begitu membenci nama itu. Itu terjadi bertahun-tahun lalu, saat dia berurusan dengan seorang ranger bernama…
TOK! TOK!
Lamunan masa lalu Maxie langsung terhenti ketika seseorang mengetuk pintu ruangannya dari luar. ”Siapa itu?” tanyanya.
”Ini aku Paman, Flame,” jawab suara di balik pintu.
”Masuklah,” ujar Maxie mempersilakan masuk. Pintu lalu terbuka dan Flame langsung masuk ke dalamnya. ”Aku tidak akan mendengarkanmu bila kamu bermaksud membela Lunar Servada. Keputusanku sudah bulat mengenai bocah itu,” sambut Maxie cepat.
”Aku kesini bukan untuk membelanya, Paman,” jawab Flame pelan. ”Aku sadar tak ada gunanya melawan keinginan Paman. Lagipula, Paman mungkin benar tentang semuanya. Karena itu, aku datang bukan untuk membelanya.”
”Lalu apa yang kamu inginkan?”
Flame terdiam. Dia tampak ragu-ragu dengan apa yang akan dikatakannya, tapi keinginan yang kuat menumbuhkan keberaniannya. ”Apa Paman menyayangiku?”
Maxie terkejut. Dia tak menyangka keponakannya akan menanyakan hal itu. ”Tentu saja aku menyayangimu, kamu keluarga Paman satu-satunya. Kenapa kamu menanyakan hal itu?”
”Kalau begitu Paman pasti mau mengabulkan permintaanku. Anggap saja ini permintaan terakhirku.”
Maxie meletakkan kertas di tangannya. Dia kini menatap Flame dengan serius. ”Flame, kamu tak pernah meminta padaku, maka apa salahnya bila keponakanku tersayang ini mau meminta sesuatu?” jawab Maxie. ”Selama permintaanmu adalah permintaan yang wajar dan bisa Paman penuhi, Paman akan mengabulkannya. Lalu, apa yang kamu inginkan?”
”Aku ingin... aku ingin Lunar melakukan tugas terakhirnya,” jawab Flame lirih.
”Tugas terakhir?” Maxie terhenyak kaget. ”Apa maksudmu? Aku sudah resmi memberhentikannya, mana ada tugas lagi untuknya.”
”Ini tidak terkait dengan Tim Magma ini, ini terkait denganku,” sahut Flame.
”Maksudmu?”
”Izinkan Lunar melakukan tugas terakhirnya, izinkan Lunar untuk....”
*
Aku mengemasi barang-barangku ke dalam tas. Hari ini aku akan pergi dari Magmarine, bukan untuk menjalankan tugas demi mendapatkan Groudon, tetapi untuk meninggalkan Tim Magma, untuk selamanya. Aku telah diberhentikan... dengan alasan yang menurutku sangat aneh dan menggantung.
Aku melihat sekeliling kabinku dengan seksama. Kabin inilah yang selama ini menemaniku, sejak Volta bersamaku disini. Kabin yang selama ini menjadi tempatku melepas lelah setelah seharian atau bahkan berhari-hari menjalankan tugas, kini mau tak mau harus kutinggalkan. Aku memang harus pergi.
Aku sudah selesai mengemasi barang-barangku yang sedikit saat tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kabinku.
”Siapa?”
”Ini aku, Courtney,” jawab suara di luar.
”Masuklah, tidak dikunci,” jawabku mempersilakan.
Pintu kabin kemudian terbuka dan seorang wanita cantik dengan seragam grunt wanita yang berbeda dari biasanya masuk ke dalam kabinku. Rok hitam yang dikenakannya lebih panjang hingga melebihi lutut dengan belahan yang tinggi sampai ke paha. Dia adalah Courtney, admin kedua Tim Magma. Aku belum pernah berbicara dengannya sama sekali, karena itu aku heran bila kemudian dia datang ke kabinku. Apakah dia menggantikan tugas Tabitha untuk menemuiku?
”Apa kamu sudah siap?” tanya Courtney dengan mulut bergerak-gerak, sepertinya dia sedang mengunyah permen karet. ”Aku yang akan mengantarkanmu ke kota Slateport, kota terdekat dari sini. Tabitha tak bisa mengantarkanmu, dia sedang sibuk.”
”Aku sudah selesai berkemas, terima kasih mau mengantarku,” jawabku pendek. ”Baiklah, mari kita pergi.” Courtney meniup permen karetnya dan kemudian melangkah keluar dari kabinku.
Aku beranjak meninggalkan kabinku, namun sebelum aku benar-benar meninggalkannya, aku menoleh dan memandangi kabinku sekali lagi.
*
Aku dan Courtney berjalan menuju ke hangar helikopter. Sepanjang perjalanan, grunt-grunt yang kutemui tampak berbisik membicarakanku. Mungkin berita dipecatnya aku dan juga dibubarkannya regu elit telah sampai di telinga mereka. Aku benar-benar sedih menyadari bahwa alasan dikeluarkannya aku dari Tim Magma yang diketahui oleh para grunt itu adalah karena aku adalah seorang pengkhianat.
Aku bukan pengkhianat dan aku tidak terima disebut demikian. Tetapi, aku memang harus keluar sebagai pengkhianat....benar-benar akhir yang menyedihkan. Saat memikirkan para grunt itulah, aku menjadi teringat pada seseorang.
”Courtney, bolehkah aku menemui Flame untuk mengucapkan perpisahan?” tanyaku meminta izin.
”Tentu saja boleh,” jawab Courtney setelah meletuskan permen karetnya. ”Dia sudah menunggumu di helikopter.”
”Di helikopter? Apa maksudmu?”
Courtney mengunyah kembali permen karetnya. ”Tuan Maxie memberimu tugas terakhir sebelum kau pergi,” jawab Courtney tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. ”Setelah kamu selesai dengan tugas ini, kamu bisa pergi dengan tenang.”
”Tugas? Tugas apa?” tanyaku tak mengerti. Bukankah aku sudah dikeluarkan dari Tim Magma? Lalu kenapa Maxie masih memberikan tugas padaku? Apa yang sebenarnya dia inginkan?
TOK! TOK!
Lamunan masa lalu Maxie langsung terhenti ketika seseorang mengetuk pintu ruangannya dari luar. ”Siapa itu?” tanyanya.
”Ini aku Paman, Flame,” jawab suara di balik pintu.
”Masuklah,” ujar Maxie mempersilakan masuk. Pintu lalu terbuka dan Flame langsung masuk ke dalamnya. ”Aku tidak akan mendengarkanmu bila kamu bermaksud membela Lunar Servada. Keputusanku sudah bulat mengenai bocah itu,” sambut Maxie cepat.
”Aku kesini bukan untuk membelanya, Paman,” jawab Flame pelan. ”Aku sadar tak ada gunanya melawan keinginan Paman. Lagipula, Paman mungkin benar tentang semuanya. Karena itu, aku datang bukan untuk membelanya.”
”Lalu apa yang kamu inginkan?”
Flame terdiam. Dia tampak ragu-ragu dengan apa yang akan dikatakannya, tapi keinginan yang kuat menumbuhkan keberaniannya. ”Apa Paman menyayangiku?”
Maxie terkejut. Dia tak menyangka keponakannya akan menanyakan hal itu. ”Tentu saja aku menyayangimu, kamu keluarga Paman satu-satunya. Kenapa kamu menanyakan hal itu?”
”Kalau begitu Paman pasti mau mengabulkan permintaanku. Anggap saja ini permintaan terakhirku.”
Maxie meletakkan kertas di tangannya. Dia kini menatap Flame dengan serius. ”Flame, kamu tak pernah meminta padaku, maka apa salahnya bila keponakanku tersayang ini mau meminta sesuatu?” jawab Maxie. ”Selama permintaanmu adalah permintaan yang wajar dan bisa Paman penuhi, Paman akan mengabulkannya. Lalu, apa yang kamu inginkan?”
”Aku ingin... aku ingin Lunar melakukan tugas terakhirnya,” jawab Flame lirih.
”Tugas terakhir?” Maxie terhenyak kaget. ”Apa maksudmu? Aku sudah resmi memberhentikannya, mana ada tugas lagi untuknya.”
”Ini tidak terkait dengan Tim Magma ini, ini terkait denganku,” sahut Flame.
”Maksudmu?”
”Izinkan Lunar melakukan tugas terakhirnya, izinkan Lunar untuk....”
*
Aku mengemasi barang-barangku ke dalam tas. Hari ini aku akan pergi dari Magmarine, bukan untuk menjalankan tugas demi mendapatkan Groudon, tetapi untuk meninggalkan Tim Magma, untuk selamanya. Aku telah diberhentikan... dengan alasan yang menurutku sangat aneh dan menggantung.
Aku melihat sekeliling kabinku dengan seksama. Kabin inilah yang selama ini menemaniku, sejak Volta bersamaku disini. Kabin yang selama ini menjadi tempatku melepas lelah setelah seharian atau bahkan berhari-hari menjalankan tugas, kini mau tak mau harus kutinggalkan. Aku memang harus pergi.
Aku sudah selesai mengemasi barang-barangku yang sedikit saat tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kabinku.
”Siapa?”
”Ini aku, Courtney,” jawab suara di luar.
”Masuklah, tidak dikunci,” jawabku mempersilakan.
Pintu kabin kemudian terbuka dan seorang wanita cantik dengan seragam grunt wanita yang berbeda dari biasanya masuk ke dalam kabinku. Rok hitam yang dikenakannya lebih panjang hingga melebihi lutut dengan belahan yang tinggi sampai ke paha. Dia adalah Courtney, admin kedua Tim Magma. Aku belum pernah berbicara dengannya sama sekali, karena itu aku heran bila kemudian dia datang ke kabinku. Apakah dia menggantikan tugas Tabitha untuk menemuiku?
”Apa kamu sudah siap?” tanya Courtney dengan mulut bergerak-gerak, sepertinya dia sedang mengunyah permen karet. ”Aku yang akan mengantarkanmu ke kota Slateport, kota terdekat dari sini. Tabitha tak bisa mengantarkanmu, dia sedang sibuk.”
”Aku sudah selesai berkemas, terima kasih mau mengantarku,” jawabku pendek. ”Baiklah, mari kita pergi.” Courtney meniup permen karetnya dan kemudian melangkah keluar dari kabinku.
Aku beranjak meninggalkan kabinku, namun sebelum aku benar-benar meninggalkannya, aku menoleh dan memandangi kabinku sekali lagi.
*
Aku dan Courtney berjalan menuju ke hangar helikopter. Sepanjang perjalanan, grunt-grunt yang kutemui tampak berbisik membicarakanku. Mungkin berita dipecatnya aku dan juga dibubarkannya regu elit telah sampai di telinga mereka. Aku benar-benar sedih menyadari bahwa alasan dikeluarkannya aku dari Tim Magma yang diketahui oleh para grunt itu adalah karena aku adalah seorang pengkhianat.
Aku bukan pengkhianat dan aku tidak terima disebut demikian. Tetapi, aku memang harus keluar sebagai pengkhianat....benar-benar akhir yang menyedihkan. Saat memikirkan para grunt itulah, aku menjadi teringat pada seseorang.
”Courtney, bolehkah aku menemui Flame untuk mengucapkan perpisahan?” tanyaku meminta izin.
”Tentu saja boleh,” jawab Courtney setelah meletuskan permen karetnya. ”Dia sudah menunggumu di helikopter.”
”Di helikopter? Apa maksudmu?”
Courtney mengunyah kembali permen karetnya. ”Tuan Maxie memberimu tugas terakhir sebelum kau pergi,” jawab Courtney tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. ”Setelah kamu selesai dengan tugas ini, kamu bisa pergi dengan tenang.”
”Tugas? Tugas apa?” tanyaku tak mengerti. Bukankah aku sudah dikeluarkan dari Tim Magma? Lalu kenapa Maxie masih memberikan tugas padaku? Apa yang sebenarnya dia inginkan?
Scene 117: Festival Kostum
Aku kini sudah berada di kota Slateport, sebuah kota di sebelah selatan daratan utama Hoenn. Kota ini memiliki sebuah pelabuhan dan juga pantai yang indah. Begitu banyak wisatawan yang datang untuk berlibur di pantai ini. Pantai ini bahkan lebih ramai daripada pantai di kota Lilycove.
Saat ini aku sedang berada di alun-alun kota Slateport, masih memakai seragam grunt Tim Magma. Aku tak khawatir apabila ada polisi atau ranger yang akan menangkapku akibat seragam ini karena saat ini di alun-alun kota sedang berlangsung festival kostum. Ada banyak sekali orang di alun-alun ini dengan mengenakan berbagai macam kostum aneh yang tak bisa dilihat pada hari-hari biasa.
Ada yang mengenakan kostum perawat, hantu, Pokemon, karakter video game, bahkan kostum bang haji Rhoma Irama. Festival kostum ini tentu saja menjadikanku aman memakai seragam Tim Magma. Tapi apa yang kulakukan di festival kostum ini? Kenapa aku ada disini? Bukankah seharusnya aku berjalan pulang ke kota Verdanturf setelah dipecat oleh Maxie?
”Lunar, kita pergi kesana yuk? Sepertinya akan ada kembang api besar di lepas pantai,” ajak seorang wanita berambut merah yang berseragam sama denganku. Ya, siapa lagi kalau bukan Flame. Ini adalah tugas terakhirku di Tim Magma, yaitu menemani Flame menikmati hari ulang tahunnya di kota Slateport.
Hari ini tanggal 18 Januari, sudah lewat delapan belas hari dari tahun baru, namun di kota Slateport perayaan tahun baru justru dimulai tanggal 18 Januari, yang secara kebetulan bertepatan dengan ulang tahun Flame.
Courtney mengatakan kepadaku kalau tugas terakhirku adalah menemani Flame merayakan ulang tahunnya yang kesembilan belas di kota ini. Tentu saja aku tak keberatan, bagaimanapun dia adalah sahabatku. Dan di hari terakhirku yang ironisnya bertepatan dengan hari ulang tahunnya, aku ingin meninggalkan kenangan yang indah.
Aku dan Flame berlari menuju lepas pantai. Sudah banyak pasangan muda-mudi berkumpul disana untuk menyaksikan peluncuran kembang api di tengah lautan. Dari pantai nantinya kita bisa melihat kembang api tersebut di langit malam dengan jelas. Ya, hari telah malam saat kami tiba di kota ini.
Aku dan Flame duduk di sebuah tempat duduk yang ada di lepas pantai. Tak lama kemudian sesuatu yang merah menyala terbang ke langit dan meledak menciptakan kembang api yang sangat indah, membentuk bunga, hingga bentuk Pokemon. Flame yang melihatnya berkali-kali berdecak kagum. Aku senang melihatnya begitu gembira. Ini adalah hari ulang tahunnya, karena itu dia harus menikmatinya dan bergembira.
Seusai acara kembang api, kami pergi ke pasar kaget yang ada di alun-alun. Disana banyak kios dan stan yang menjual berbagai makanan dan barang kenang-kenangan yang bagus. Ada juga yang menjual boneka Pokemon, balon, poster, hingga komputer.
”Kostum kalian bagus. Kostum apa itu?” tanya penjual harum manis saat aku dan Flame membeli harum manis disana.
”Ini kostum Tim Magma, organisasi yang ingin menciptakan daratan,” jawab Flame polos.
”Wow, itu pasti menarik sekali. Hanya kalian saja yang memakai kostum seperti itu, kalian benar-benar kreatif,” puji bapak penjual harum manis itu.
”Haha.. mereka hanya kurang mengenal Tim Magma,” jawab Flame sambil menerima harum manis yang disodorkan oleh bapak itu. ”Sebenarnya Tim Magma itu baik, hanya saja banyak orang yang mengenalnya sebagai kelompok penjahat.”
”Ya, ya... apapun untukmu nona manis,” sahut bapak itu ramah. ”Kau tampak sangat ceria hari ini. Kau pasti senang bisa menikmati festival kostum ini dengan ditemani kekasihmu.”
”Ke...kasih?” Flame terkejut. Entah mengapa pipinya bersemu merah. ”Maksudmu Lunar? Dia bukan kekasihku, dia itu...”
”Aku sahabatnya,” potongku kemudian. ”Nona manis ini sangat senang karena bisa merayakan ulang tahunnya di festival yang sangat menarik ini.”
”Oh, jadi kau berulang tahun hari ini?” tanya bapak itu kaget. Flame mengangguk sambil memberikan senyum ramah. ”Kalau begitu,” bapak itu mengambil sebungkus harum manis yang sudah jadi dan mengulurkannya pada Flame, ”terimalah harum manis ini, anggaplah sebagai hadiah ulang tahun dari paman penjual harum manis yang baik hati ini.”
”Wah, terima kasih banyak ya Paman?” Flame menerima harum manis itu dengan senang. ”Paman baik sekali.”
”Hahaha... sudahlah,” ujar bapak itu merendah sambil memegang belakang kepalanya. ”Aku minta maaf karena telah salah mengira kalian sebagai sepasang kekasih. Habisnya kalian terlihat sangat serasi.”
”Serasi? Benarkah?” tanyaku spontan. Bapak itu mengangguk.
”Ah, Paman bisa saja....” pipi Flame kembali bersemu merah. Dia lalu memegang tanganku erat. ”Lunar, ayo kita duduk disana,” ajaknya. Dia lalu memandang ke arah penjual harum manis. ”Terima kasih banyak Paman!”
”Sama-sama!” sahut penjual harum manis. Setelah itu Flame menarikku pergi ke sebuah tempat di alun-alun itu.
Saat ini aku sedang berada di alun-alun kota Slateport, masih memakai seragam grunt Tim Magma. Aku tak khawatir apabila ada polisi atau ranger yang akan menangkapku akibat seragam ini karena saat ini di alun-alun kota sedang berlangsung festival kostum. Ada banyak sekali orang di alun-alun ini dengan mengenakan berbagai macam kostum aneh yang tak bisa dilihat pada hari-hari biasa.
Ada yang mengenakan kostum perawat, hantu, Pokemon, karakter video game, bahkan kostum bang haji Rhoma Irama. Festival kostum ini tentu saja menjadikanku aman memakai seragam Tim Magma. Tapi apa yang kulakukan di festival kostum ini? Kenapa aku ada disini? Bukankah seharusnya aku berjalan pulang ke kota Verdanturf setelah dipecat oleh Maxie?
”Lunar, kita pergi kesana yuk? Sepertinya akan ada kembang api besar di lepas pantai,” ajak seorang wanita berambut merah yang berseragam sama denganku. Ya, siapa lagi kalau bukan Flame. Ini adalah tugas terakhirku di Tim Magma, yaitu menemani Flame menikmati hari ulang tahunnya di kota Slateport.
Hari ini tanggal 18 Januari, sudah lewat delapan belas hari dari tahun baru, namun di kota Slateport perayaan tahun baru justru dimulai tanggal 18 Januari, yang secara kebetulan bertepatan dengan ulang tahun Flame.
Courtney mengatakan kepadaku kalau tugas terakhirku adalah menemani Flame merayakan ulang tahunnya yang kesembilan belas di kota ini. Tentu saja aku tak keberatan, bagaimanapun dia adalah sahabatku. Dan di hari terakhirku yang ironisnya bertepatan dengan hari ulang tahunnya, aku ingin meninggalkan kenangan yang indah.
Aku dan Flame berlari menuju lepas pantai. Sudah banyak pasangan muda-mudi berkumpul disana untuk menyaksikan peluncuran kembang api di tengah lautan. Dari pantai nantinya kita bisa melihat kembang api tersebut di langit malam dengan jelas. Ya, hari telah malam saat kami tiba di kota ini.
Aku dan Flame duduk di sebuah tempat duduk yang ada di lepas pantai. Tak lama kemudian sesuatu yang merah menyala terbang ke langit dan meledak menciptakan kembang api yang sangat indah, membentuk bunga, hingga bentuk Pokemon. Flame yang melihatnya berkali-kali berdecak kagum. Aku senang melihatnya begitu gembira. Ini adalah hari ulang tahunnya, karena itu dia harus menikmatinya dan bergembira.
Seusai acara kembang api, kami pergi ke pasar kaget yang ada di alun-alun. Disana banyak kios dan stan yang menjual berbagai makanan dan barang kenang-kenangan yang bagus. Ada juga yang menjual boneka Pokemon, balon, poster, hingga komputer.
”Kostum kalian bagus. Kostum apa itu?” tanya penjual harum manis saat aku dan Flame membeli harum manis disana.
”Ini kostum Tim Magma, organisasi yang ingin menciptakan daratan,” jawab Flame polos.
”Wow, itu pasti menarik sekali. Hanya kalian saja yang memakai kostum seperti itu, kalian benar-benar kreatif,” puji bapak penjual harum manis itu.
”Haha.. mereka hanya kurang mengenal Tim Magma,” jawab Flame sambil menerima harum manis yang disodorkan oleh bapak itu. ”Sebenarnya Tim Magma itu baik, hanya saja banyak orang yang mengenalnya sebagai kelompok penjahat.”
”Ya, ya... apapun untukmu nona manis,” sahut bapak itu ramah. ”Kau tampak sangat ceria hari ini. Kau pasti senang bisa menikmati festival kostum ini dengan ditemani kekasihmu.”
”Ke...kasih?” Flame terkejut. Entah mengapa pipinya bersemu merah. ”Maksudmu Lunar? Dia bukan kekasihku, dia itu...”
”Aku sahabatnya,” potongku kemudian. ”Nona manis ini sangat senang karena bisa merayakan ulang tahunnya di festival yang sangat menarik ini.”
”Oh, jadi kau berulang tahun hari ini?” tanya bapak itu kaget. Flame mengangguk sambil memberikan senyum ramah. ”Kalau begitu,” bapak itu mengambil sebungkus harum manis yang sudah jadi dan mengulurkannya pada Flame, ”terimalah harum manis ini, anggaplah sebagai hadiah ulang tahun dari paman penjual harum manis yang baik hati ini.”
”Wah, terima kasih banyak ya Paman?” Flame menerima harum manis itu dengan senang. ”Paman baik sekali.”
”Hahaha... sudahlah,” ujar bapak itu merendah sambil memegang belakang kepalanya. ”Aku minta maaf karena telah salah mengira kalian sebagai sepasang kekasih. Habisnya kalian terlihat sangat serasi.”
”Serasi? Benarkah?” tanyaku spontan. Bapak itu mengangguk.
”Ah, Paman bisa saja....” pipi Flame kembali bersemu merah. Dia lalu memegang tanganku erat. ”Lunar, ayo kita duduk disana,” ajaknya. Dia lalu memandang ke arah penjual harum manis. ”Terima kasih banyak Paman!”
”Sama-sama!” sahut penjual harum manis. Setelah itu Flame menarikku pergi ke sebuah tempat di alun-alun itu.
Scene 118: Kisah Lunar
Aku dan Flame duduk di bawah pohon besar yang ada di alun-alun. Kami duduk sambil menikmati harum manis kami dan juga memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan kostum-kostum aneh. Sandslash dan Flareon kami keluarkan untuk ikut menikmati festival ini. Kami memberikan harum manis kepada dua Pokemon itu dan mereka tampak sangat menyukainya.
”Mereka lucu ya?” ujar Flame melihat Sandslash dan Flareon yang bermain bersama sambil mengunyah harum manis mereka.
”Iya, lucu sekali,” jawabku mengiyakan. ”Sayang, ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka.”
”Ya, kamu benar,” sahut Flame dengan nada sedih. ”Ini akan jadi pertemuan terakhir mereka, dan pertemuan terakhir kita tentunya.”
”Flame, aku tak menyangka kalau kita akan berpisah setelah ini. Aku tak menyangka kalau ini adalah hari terakhir kita bisa bertemu dan berbincang seperti ini.” Aku menatap Flame, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan terakhir bersamanya. ”Tapi kau harus tahu satu hal Flame, aku bukanlah pengkhianat seperti yang dituduhkan oleh pamanmu. Aku tak mau bila kau menganggapku pergi karena aku adalah seorang pengkhianat.”
”Aku tahu itu Lunar,” sahut Flame. ”Aku yakin kamu bukan pengkhianat. Aku tahu siapa kamu. Aku mengenalmu sejak aku menungguimu di gunung Chimney waktu itu. Kamu orang baik, kamu bukan pengkhianat seperti Volta. Aku percaya padamu. Pasti ada seseorang yang ingin agar kamu pergi dari Tim Magma.”
”Baguslah kalau kamu menganggapku seperti itu,” ujarku pelan. ”Kalau begitu aku bisa pergi dengan tenang, karena sahabat baikku tidak menganggapku sebagai pengkhianat. Terima kasih atas semua kepercayaan dan pembelaanmu padaku. Semua itu tidak akan pernah aku lupakan.”
”Lunar, aku senang bisa bertemu denganmu. Kita sebagai teman harus saling membantu,” sahutnya.
”Ya, semua ini berkat Groudon,” kenangku. ”Groudon yang mempertemukan kita, mempertemukan kita di Tim Magma. Tapi kini Tim Magma telah mengeluarkanku.”
”Kamu benar Lunar, Groudon yang mempertemukan kita,” sahut Flame. ”Dan sekarang aku takkan bisa mencarinya lagi bersamamu. Aku pasti akan merindukan saat-saat bertugas denganmu. Saat-saat di gunung Kanon, di gua dasar laut, dan di tempat-tempat lainnya yang pernah kita datangi. Aku, aku masih ingin mencari Groudon bersamamu, demi mengembalikan kedamaian di pulau Cinnabar.”
Aku terdiam. Perkataan Flame barusan membuatku teringat pada masa-masa itu. Masa-masa bersama regu elit mencari Groudon. ”Flame, kau harus tahu satu hal,” ujarku kemudian. ”Saat aku kecil, dan saat ayahku pergi meninggalkanku, aku selalu berkata pada teman-temanku kalau aku pernah melihat Groudon, dan itu memang kenyataan.”
“Benarkah?” sahut Flame mendengarkan.
“Tapi mereka tidak mempercayaiku,” lanjutku. “Mereka bilang aku ini pembual. Aku marah dan aku berkelahi dengan mereka. Aku tidak suka dengan mereka. Aku pun menarik diri dari pergaulan dan mengucilkan diri. Aku bermain sendiri, membayangkan seolah aku adalah pemburu Groudon yang hebat dan aku berhasil menangkap Pokemon itu. Kuciptakan duniaku sendiri dengan Groudon, dan sejak itu Groudon selalu mengisi hari-hariku. Tak heran bila kemudian aku terobsesi untuk menangkap Groudon dan mewujudkan semua impianku itu.”
”Tapi kusadari kemudian,” aku terus berkisah, ”kusadari kalau aku sebenarnya tidak membutuhkan Groudon.” Aku terdiam sejenak, lantas perlahan memandang wajah Flame. “Kusadari bahwa sebenarnya yang kubutuhkan adalah seorang sahabat, seorang sahabat yang mau mendengarkan isi hatiku,” sambungku.
“Sahabat….” lanjutku,” sahabat yang ada di saat aku terkucil, di saat aku sendiri, di saat aku sedih, dan demikian sebaliknya... aku ada di saat dia membutuhkanku. Aku menyadarinya saat bergabung dengan Tim Magma, dan itu saat aku bertemu denganmu dan juga Volta. Kalian berdua membuatku sadar, bahwa selama ini yang aku cari adalah sahabat yang tidak kudapatkan saat aku kecil dulu, saat aku dihina oleh teman-temanku hanya karena impianku.”
Mendengar itu, Flame menepuk bahuku dan tersenyum. ”Lunar, aku tahu apa yang kamu rasakan,” sahut Flame. ”Aku juga sepertimu, kamu tahu itu kan?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Ya, aku tahu, ketika kupikir hidupku paling menyedihkan, ternyata ada yang lebih dariku.”
Flame tersenyum dan melanjutkan, ”Janganlah pernah berhenti untuk mengejar impianmu, sebagaimana kamu tak pernah berhenti untuk memimpikannya.”
”Ya, aku takkan pernah berhenti,” jawabku. Aku memandang Flame erat. Di luar dugaan Flame juga memandangku erat.
”Ehem... maaf mengganggu kalian,” tiba-tiba Courtney muncul. Kami pun terkejut dibuatnya.
”Courtney, kau mengagetkanku,” seru Flame dengan nada kesal.
”Maaf Nona Flame, tapi waktu kita sudah habis. Kita harus segera kembali ke Magmarine,” jawab Courtney santai. ”Sepertinya sudah saatnya kamu mengucapkan selamat tinggal pada mantan rekanmu itu.”
”Dia bukan mantan rekanku. Dia akan selalu menjadi rekanku, apapun yang terjadi,” sahut Flame ketus. ”Bisakah kau tinggalkan kami sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku katakan pada Lunar.”
”Baiklah, tapi jangan lama ya?” kata Courtney. Flame mengangguk. Courtney kemudian meninggalkan kami berdua.
Setelah kepergian Courtney, kami berdua bangkit berdiri. Inilah saat perpisahan dengan Flame, saat yang tak pernah aku inginkan. Entah mengapa aku tak mau berpisah dengan Flame sekarang ini.
”Flame, aku harus pergi,” ujarku perlahan. ”Tapi sebelumnya aku ingin memberikan sesuatu kepadamu, anggap saja sebagai hadiah ulang tahun dariku.” Aku lalu mengeluarkan sebuah Safari Ball dari sakuku dan memberikannya pada Flame.
”Apa ini?” tanya Flame memperhatikan Safari ball yang kuberikan.
”Itu adalah Sunkern yang kutangkap di Safari Zone saat itu. Aku ingin kamu memilikinya. Mungkin inilah kenang-kenangan yang bisa kuberikan padamu,” jawabku singkat. ”Bila kau ingin mengubahnya dengan Sun Stone, lakukan saja. Dia akan mau, dia tidak akan menolak. Kau tak perlu takut.”
Flame tersenyum dia lalu memandang wajahku dengan lembut. ”Terima kasih L, ini adalah hadiah yang sangat berarti di ulang tahunku ini. Kamu sahabat yang baik.”
Aku membalas tersenyum. ”Baiklah, aku akan pergi. Selamat tinggal Flame, sampai jumpa lagi. Senang bisa bertemu denganmu. Sandslash, ayo kita pergi.”
Aku dan Sandslash lalu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Flame saat tiba-tiba...
”Mereka lucu ya?” ujar Flame melihat Sandslash dan Flareon yang bermain bersama sambil mengunyah harum manis mereka.
”Iya, lucu sekali,” jawabku mengiyakan. ”Sayang, ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka.”
”Ya, kamu benar,” sahut Flame dengan nada sedih. ”Ini akan jadi pertemuan terakhir mereka, dan pertemuan terakhir kita tentunya.”
”Flame, aku tak menyangka kalau kita akan berpisah setelah ini. Aku tak menyangka kalau ini adalah hari terakhir kita bisa bertemu dan berbincang seperti ini.” Aku menatap Flame, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan terakhir bersamanya. ”Tapi kau harus tahu satu hal Flame, aku bukanlah pengkhianat seperti yang dituduhkan oleh pamanmu. Aku tak mau bila kau menganggapku pergi karena aku adalah seorang pengkhianat.”
”Aku tahu itu Lunar,” sahut Flame. ”Aku yakin kamu bukan pengkhianat. Aku tahu siapa kamu. Aku mengenalmu sejak aku menungguimu di gunung Chimney waktu itu. Kamu orang baik, kamu bukan pengkhianat seperti Volta. Aku percaya padamu. Pasti ada seseorang yang ingin agar kamu pergi dari Tim Magma.”
”Baguslah kalau kamu menganggapku seperti itu,” ujarku pelan. ”Kalau begitu aku bisa pergi dengan tenang, karena sahabat baikku tidak menganggapku sebagai pengkhianat. Terima kasih atas semua kepercayaan dan pembelaanmu padaku. Semua itu tidak akan pernah aku lupakan.”
”Lunar, aku senang bisa bertemu denganmu. Kita sebagai teman harus saling membantu,” sahutnya.
”Ya, semua ini berkat Groudon,” kenangku. ”Groudon yang mempertemukan kita, mempertemukan kita di Tim Magma. Tapi kini Tim Magma telah mengeluarkanku.”
”Kamu benar Lunar, Groudon yang mempertemukan kita,” sahut Flame. ”Dan sekarang aku takkan bisa mencarinya lagi bersamamu. Aku pasti akan merindukan saat-saat bertugas denganmu. Saat-saat di gunung Kanon, di gua dasar laut, dan di tempat-tempat lainnya yang pernah kita datangi. Aku, aku masih ingin mencari Groudon bersamamu, demi mengembalikan kedamaian di pulau Cinnabar.”
Aku terdiam. Perkataan Flame barusan membuatku teringat pada masa-masa itu. Masa-masa bersama regu elit mencari Groudon. ”Flame, kau harus tahu satu hal,” ujarku kemudian. ”Saat aku kecil, dan saat ayahku pergi meninggalkanku, aku selalu berkata pada teman-temanku kalau aku pernah melihat Groudon, dan itu memang kenyataan.”
“Benarkah?” sahut Flame mendengarkan.
“Tapi mereka tidak mempercayaiku,” lanjutku. “Mereka bilang aku ini pembual. Aku marah dan aku berkelahi dengan mereka. Aku tidak suka dengan mereka. Aku pun menarik diri dari pergaulan dan mengucilkan diri. Aku bermain sendiri, membayangkan seolah aku adalah pemburu Groudon yang hebat dan aku berhasil menangkap Pokemon itu. Kuciptakan duniaku sendiri dengan Groudon, dan sejak itu Groudon selalu mengisi hari-hariku. Tak heran bila kemudian aku terobsesi untuk menangkap Groudon dan mewujudkan semua impianku itu.”
”Tapi kusadari kemudian,” aku terus berkisah, ”kusadari kalau aku sebenarnya tidak membutuhkan Groudon.” Aku terdiam sejenak, lantas perlahan memandang wajah Flame. “Kusadari bahwa sebenarnya yang kubutuhkan adalah seorang sahabat, seorang sahabat yang mau mendengarkan isi hatiku,” sambungku.
“Sahabat….” lanjutku,” sahabat yang ada di saat aku terkucil, di saat aku sendiri, di saat aku sedih, dan demikian sebaliknya... aku ada di saat dia membutuhkanku. Aku menyadarinya saat bergabung dengan Tim Magma, dan itu saat aku bertemu denganmu dan juga Volta. Kalian berdua membuatku sadar, bahwa selama ini yang aku cari adalah sahabat yang tidak kudapatkan saat aku kecil dulu, saat aku dihina oleh teman-temanku hanya karena impianku.”
Mendengar itu, Flame menepuk bahuku dan tersenyum. ”Lunar, aku tahu apa yang kamu rasakan,” sahut Flame. ”Aku juga sepertimu, kamu tahu itu kan?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Ya, aku tahu, ketika kupikir hidupku paling menyedihkan, ternyata ada yang lebih dariku.”
Flame tersenyum dan melanjutkan, ”Janganlah pernah berhenti untuk mengejar impianmu, sebagaimana kamu tak pernah berhenti untuk memimpikannya.”
”Ya, aku takkan pernah berhenti,” jawabku. Aku memandang Flame erat. Di luar dugaan Flame juga memandangku erat.
”Ehem... maaf mengganggu kalian,” tiba-tiba Courtney muncul. Kami pun terkejut dibuatnya.
”Courtney, kau mengagetkanku,” seru Flame dengan nada kesal.
”Maaf Nona Flame, tapi waktu kita sudah habis. Kita harus segera kembali ke Magmarine,” jawab Courtney santai. ”Sepertinya sudah saatnya kamu mengucapkan selamat tinggal pada mantan rekanmu itu.”
”Dia bukan mantan rekanku. Dia akan selalu menjadi rekanku, apapun yang terjadi,” sahut Flame ketus. ”Bisakah kau tinggalkan kami sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku katakan pada Lunar.”
”Baiklah, tapi jangan lama ya?” kata Courtney. Flame mengangguk. Courtney kemudian meninggalkan kami berdua.
Setelah kepergian Courtney, kami berdua bangkit berdiri. Inilah saat perpisahan dengan Flame, saat yang tak pernah aku inginkan. Entah mengapa aku tak mau berpisah dengan Flame sekarang ini.
”Flame, aku harus pergi,” ujarku perlahan. ”Tapi sebelumnya aku ingin memberikan sesuatu kepadamu, anggap saja sebagai hadiah ulang tahun dariku.” Aku lalu mengeluarkan sebuah Safari Ball dari sakuku dan memberikannya pada Flame.
”Apa ini?” tanya Flame memperhatikan Safari ball yang kuberikan.
”Itu adalah Sunkern yang kutangkap di Safari Zone saat itu. Aku ingin kamu memilikinya. Mungkin inilah kenang-kenangan yang bisa kuberikan padamu,” jawabku singkat. ”Bila kau ingin mengubahnya dengan Sun Stone, lakukan saja. Dia akan mau, dia tidak akan menolak. Kau tak perlu takut.”
Flame tersenyum dia lalu memandang wajahku dengan lembut. ”Terima kasih L, ini adalah hadiah yang sangat berarti di ulang tahunku ini. Kamu sahabat yang baik.”
Aku membalas tersenyum. ”Baiklah, aku akan pergi. Selamat tinggal Flame, sampai jumpa lagi. Senang bisa bertemu denganmu. Sandslash, ayo kita pergi.”
Aku dan Sandslash lalu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Flame saat tiba-tiba...
Scene 119: Ciuman Pertama
Aku dan Sandslash lalu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Flame saat tiba-tiba...
”Lunar...” Flame memanggil. Aku pun langsung menoleh. ”Jangan pergi dulu....” sambungnya.
Tiba-tiba gadis itu berlari ke arahku dan langsung memeluk tubuhku. Aku terkejut, aku tak mengira Flame akan memelukku. Dia memeluk tubuhku dengan erat dan membenamkan kepalanya di dadaku.
”Flame, kau....”
”Lunar, izinkan aku sebentar saja,” ujar Flame kemudian. ”Aku... aku tidak mau berpisah darimu. Kumohon... jangan tinggalkan aku... Bukankah kamu telah berjanji takkan meninggalkanku sendiri?”
Aku terdiam sejenak, merasakan tubuhnya begitu lekat dengan tubuhku. ”Flame, mengertilah, aku harus pergi,” jawabku kemudian. ”Aku tahu ini mungkin berat bagimu, tapi ketahuilah, aku takkan melupakan persahabatan kita.”
”Kenapa... kenapa hidup ini begitu kejam?” isak Flame. Rupanya dia mulai menangis. ”Kenapa saat aku menemukan sahabatku, aku pun harus berpisah dengan mereka? Kenapa?”
”Jangan berkata begitu, karena hidup hampir selalu begitu,” jawabku mencoba menghiburnya. ”Aku yakin, kau pasti akan menemukan sahabat yang lain disana, sebagaimana aku akan menemukan sahabat yang lain juga. Tentu saja aku takkan melupakanmu.”
Flame mendongak dan menatapku erat. ”Lunar, berjanjilah... berjanjilah kalau kamu tidak akan pernah lupa dengan persahabatan kita. Berjanjilah padaku...”
Aku mengangguk. ”Aku berjanji padamu Flame, aku takkan melupakan persahabatan kita. Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Apa kau pikir aku bisa melupakanmu?” kataku seraya mengusap air mata di pipinya dengan lembut. Aku tak menyangka perpisahan ini bisa begitu mengharukan seperti ini.
”Kalau begitu,” kata Flame menatap mataku lembut. ”Kalau begitu ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. Anggaplah ini sebagai hadiah perpisahan dariku.”
”Oh ya? Apa itu?” tanyaku penasaran.
Flame tersenyum dan mendongak menatapku. Kusadari tubuhnya bertambah tinggi, bukan bertambah tinggi, tapi dia berjinjit dan kemudian....
Dia menciumku? Apa aku bermimpi? Tidak... aku tidak bermimpi... bibirnya benar-benar menyentuh bibirku!
Kurasakan kehangatan bibir mungil Flame. Aku masih tak percaya dengan yang dilakukan Flame, tapi aku tak mau melewatkan sensasi ini. Ini adalah... ini adalah ciuman pertamaku!
Tanpa terasa tanganku bergerak memeluk tubuhnya erat. Kami berciuman cukup lama hingga Flame melepaskan bibirnya dari bibirku. Dia lalu memandang wajahku dengan polos. Aku tak berani menatapnya setelah apa yang dilakukannya barusan. Aku benar-benar malu.
”Lunar, aku berhutang sebuah ciuman dalam taruhan itu, kupikir sekaranglah waktu yang tepat untuk melunasinya. Kamu tak perlu malu, Lunar...” ujarnya lirih. Kulihat pipinya bersemu merah.
”Ah, iya... aku... entah ya... seharusnya... kau tak perlu... aku kan waktu itu.... hanya....” aku benar-benar salah tingkah dibuatnya. ”Tapi Flame, bukannya waktu itu kau bilang kalau kau hanya akan memberikan....”
Perkataanku terhenti saat tiba-tiba Flame menempelkan telunjuknya di bibirku seolah menyuruhku berhenti bicara. ”Kamu sahabatku Lunar, walaupun aku tak mengerti dengan perasaan ini, tetapi kamu adalah sahabatku Lunar...”
Aku tersenyum. Aku benar-benar tak mengerti. Flame, yang kau lakukan ini lebih dari apa yang kau sebut dengan sahabat. Aku tak mengerti dan aku benar-benar tak mengerti. Meski begitu, aku berusaha untuk memahaminya, memahami arti persahabatan yang kau coba untuk katakan.
”Baiklah Flame, aku harus pergi. Terima kasih atas semua yang telah kau berikan kepadaku. Apa yang terjadi malam ini takkan pernah aku lupakan. Ini akan menjadi malam terindah yang pernah kulalui bersamamu. Terima kasih Flame, terima kasih...” ujarku seraya melepaskan pelukanku.
Flame melepaskan pelukannya. Dia memandangku begitu erat seolah tak ingin berpisah denganku. ”Lunar, walaupun kita hanya bersama untuk waktu yang sebentar, tapi entah mengapa aku seperti sudah mengenalmu untuk waktu yang sangat lama. Dan aku percaya akan datang saat dimana kita akan kembali bertemu. Sampai saat itu tiba, aku akan selalu berdoa semoga perjalananmu baik-baik saja. Jaga dirimu....”
”Kau juga Flame, jaga dirimu baik-baik. Aku akan selalu berharap yang sama untukmu. Kau sudah cukup menderita, karena itu komohon jangan menangis lagi. Bagaimanapun.... selamat ulang tahun...”
Aku menatap gadis yang sangat kusayangi itu untuk terakhir kalinya dan kemudian berbalik, mulai berjalan meninggalkannya. Sandslash tampak melihat Flareon dengan berkaca-kaca, begitu pula dengan Flareon. Pokemon pertamaku itu kemudian ikut berbalik dan mengikutiku. Aku terus berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Aku takut aku takkan bisa meninggalkannya saat kulakukan itu. Flame, maafkan aku.... aku tak bisa hanya menganggapmu sebagai seorang sahabat. Kalau kau ingin tahu, perasaanku lebih dari itu. Tapi aku tahu aku tak bisa mengatakannya padamu. Aku tahu kalau kita hanya akan menjadi sahabat, takkan pernah lebih dari itu. Karena itulah... kutinggalkan kau sebagai seorang sahabat... seorang sahabat yang lebih dari seorang sahabat. Kenyataannya adalah.... aku mencintaimu...
*
Sementara itu, tanpa kutahu...
Flame memandangi kepergian Lunar dengan air mata berlinang. Dia seolah tak ingin berpisah dengannya, seolah dia sangat kehilangan akan kepergiannya.
”Sudah selesai, Nona Flame,” tiba-tiba Courtney muncul dari belakangnya sambil mengunyah permen karet. ”Temanmu itu akhirnya pergi juga, meninggalkanmu.”
”Kamu salah, Courtney...” sahut Flame dalam tangis sunyinya, ”Dia tidak pernah meninggalkanku. Raganya memang pergi, tapi kenangan akan dirinya akan tetap ada di hatiku.”
Courtney tersenyum. Dia seolah mengerti dengan apa yang dirasakan oleh keponakan bosnya itu. ”Kau mencintainya bukan?”
Flame menggeleng. ”Entahlah, aku tidak tahu perasaan ini. Kami adalah sahabat, dan akan tetap seperti itu. Tetapi....”
”Tetapi apa?”
”Tetapi aku ingin dia menoleh padaku... saat dia berjalan meninggalkanku....” Flame berkata dengan nada sedih.
Courtney tersenyum lagi. ”Dia tidak melakukan itu,” sahutnya. Dia lalu menepuk bahu Flame. ”Kalau kalian berjodoh, kalian pasti akan bertemu kembali. Sudahlah, kita kembali ke kapal sekarang. Kupikir Maxie sudah menunggumu disana.”
Flame mengangguk lemah. ”Baiklah, kurasa sudah cukup merayakan ulang tahunku malam ini.”
Flame melangkah mengikuti Courtney dengan gontai. Ulang tahun kali ini adalah ulang tahun terindah sekaligus terburuk baginya. Terindah karena untuk pertama kali dia merayakannya dengan seorang sahabat yang sangat dekat, dan terburuk karena di hari yang sama itu dia justru berpisah dengan sahabatnya tersebut. Seorang sahabat... yang telah menjadi cinta pertamanya...
Scene 120: Akhir Dua Sahabat
Volta’s Ending
Seorang lelaki berambut pirang keemasan memasuki sebuah rumah besar di kota Goldenrod. Seorang lelaki berambut warna sama langsung mendatanginya.
”Mau apa kau kesini?” cegah lelaki kedua yang tak lain adalah Nanta Paciolo.
”Jangan halangi aku,” jawab lelaki pertama yang tak lain adalah Volta.
”Kamu tak berhak memasuki rumah ini, kau sudah terusir dari keluarga ini,” sahut Nanta ketus.
”Kamu bilang aku pewaris keluarga ini, kenapa sekarang kau melarangku?” tantang Volta tak gentar.
”Saat itu kan aku....”
”Biarkan dia masuk, Nanta...” tiba-tiba terdengar suara lelaki tua dari dalam rumah. Volta dan Nanta langsung melihat ke asal suara dan mendapati seorang kakek berambut putih dengan jas hitam tengah berdiri disana. ”Bagaimanapun Volta adalah cucu kakek, dia sama sepertimu.”
”Tapi Kek...”
”Jangan egois, Nanta,” sela Volta. “Apa kamu tak dengar apa yang dikatakan Kakek?”
Nanta terdiam. Dia lalu bergerak menyingkir dari depan Volta. Volta tersenyum mengejek ke arahnya dan kemudian berjalan ke arah sang kakek.
”Oh, cucuku, sudah lama aku tak melihatmu,” sapa sang kakek. ”Kudengar kamu membantu pamanmu, apa itu benar?”
”Itu benar, tapi sekarang aku tidak ada urusan lagi dengannya,” jawab Volta.
”Kamu kesini pasti ada keperluan bukan?”
”Ya, aku kesini bukan sekadar mengunjungi kakek saja.” Volta menatap kakeknya dengan tajam sementara sang kakek membalas tatapannya dengan lembut.
”Apa yang kau inginkan, cucuku?” tanya sang kakek dengan suara ringkih.
”Aku mau...” Volta menghentikan ucapannya. Dia terlihat ragu. ”Aku mau,” lanjutnya kemudian, ”aku mau bagianku dari keluarga ini!”
Sang kakek tersenyum dan berbalik membelakangi Volta. ”Akhirnya kamu meminta bagianmu juga. Aku sudah lama menunggu saat ini. Memangnya untuk apa kau meminta bagianmu?”
”Aku...” Volta menggenggam tangannya erat. ”Aku ingin…. Aku ingin… menjadi yang terkuat!”
*
Flame’s Ending
Brodie duduk di kabinnya dengan perasaan sangat senang. Sepertinya dia baru saja mengalami sesuatu yang sangat menyenangkan dalam hidupnya.
”Hahaha...” dia tertawa sendiri. “Akhirnya, akhirnya penghalang terakhirku telah pergi! Aku patut berterima kasih pada Tabitha untuk ini. Kalau saja dia tidak menyuruhku menggantikannya menemui Maxie, aku pasti tidak bisa meletakkan surat palsu itu. Hahahahaha....”
Brodie kemudian mengambil sebuah foto yang ada di mejanya. Dia menatap foto wanita berambut merah itu dengan penuh perasaan.
”Flame, sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangiku untuk mendapatkanmu,” ujarnya kemudian. ”Aku telah menyingkirkannya. Si Lunar bodoh itu akhirnya pergi dari sini dan aku akan segera mendapatkanmu. Aku benar-benar mencintaimu.. oh, Flame...”
”Jadi begitu,” tiba-tiba terdengar suara wanita di belakangnya. Brodie berbalik dan terkejut mendapati Flame ada di depannya sekarang. ”Jadi kau yang melakukan semua itu?”
”Flame, kenapa kamu bisa....kenapa kamu masuk tiba-tiba?” tanya Brodie terkejut. Dia merasa terjepit setelah hal-hal yang dikatakannya tadi. Apakah Flame mendengar semua yang dikatakannya tadi?
”Aku berniat mengunjungimu dan pintu kabinmu tak tertutup rapat tadi, jadi maafkan aku bila lancang masuk kesini. Tetapi...” Flame terdiam. Dia menundukkan kepalanya. “Brodie, apa kau masih belum paham juga dengan hubungan kita?” ujar Flame masih dengan kepala menunduk. “Apa kau masih belum bisa menerima hubungan pertemanan kita?”
Brodie tampak bingung dan ketakutan. Dia tak tahu harus mengatakan apa, tetapi sepertinya sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Flame pasti sangat marah setelah mengetahui dialah yang membuat surat perjanjian yang mengeluarkan Lunar itu.
”Kenapa... kenapa kau lakukan ini?” tanya Flame lantang. Bersamaan dengan itu dia mendongakkan kepalanya menatap Brodie dengan penuh kebencian. ”Brodie... aku benci... aku benci kamu!”
Flame berbalik dan melangkah hendak meninggalkan kabin Brodie. Brodie mencegahnya dan secara spontan dia memegang tangan Flame.
”Flame, maafkan aku... aku tidak bermaksud....”
”Lepaskan tanganku!” bentak Flame keras. ”Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!”
”Tapi Flame, kumohon... dengarkan aku dulu,” bujuk Brodie bersikeras.
”AKU BILANG LEPASKAN!”
Tiba-tiba hawa panas terasa di ruangan kabin yang sempit itu. Mendadak dari lengan Flame muncul api yang keluar begitu saja menyelimutinya. Brodie langsung melepaskan tangannya dari lengan Flame dan terkejut mendapati apa yang terjadi di depannya. Dilihatnya api muncul dari tubuh Flame dan kemudian.... alarm tanda bahaya berbunyi di setiap penjuru Magmarine, membuat semua yang ada di dalamnya berada dalam kepanikan massal.
Seorang lelaki berambut pirang keemasan memasuki sebuah rumah besar di kota Goldenrod. Seorang lelaki berambut warna sama langsung mendatanginya.
”Mau apa kau kesini?” cegah lelaki kedua yang tak lain adalah Nanta Paciolo.
”Jangan halangi aku,” jawab lelaki pertama yang tak lain adalah Volta.
”Kamu tak berhak memasuki rumah ini, kau sudah terusir dari keluarga ini,” sahut Nanta ketus.
”Kamu bilang aku pewaris keluarga ini, kenapa sekarang kau melarangku?” tantang Volta tak gentar.
”Saat itu kan aku....”
”Biarkan dia masuk, Nanta...” tiba-tiba terdengar suara lelaki tua dari dalam rumah. Volta dan Nanta langsung melihat ke asal suara dan mendapati seorang kakek berambut putih dengan jas hitam tengah berdiri disana. ”Bagaimanapun Volta adalah cucu kakek, dia sama sepertimu.”
”Tapi Kek...”
”Jangan egois, Nanta,” sela Volta. “Apa kamu tak dengar apa yang dikatakan Kakek?”
Nanta terdiam. Dia lalu bergerak menyingkir dari depan Volta. Volta tersenyum mengejek ke arahnya dan kemudian berjalan ke arah sang kakek.
”Oh, cucuku, sudah lama aku tak melihatmu,” sapa sang kakek. ”Kudengar kamu membantu pamanmu, apa itu benar?”
”Itu benar, tapi sekarang aku tidak ada urusan lagi dengannya,” jawab Volta.
”Kamu kesini pasti ada keperluan bukan?”
”Ya, aku kesini bukan sekadar mengunjungi kakek saja.” Volta menatap kakeknya dengan tajam sementara sang kakek membalas tatapannya dengan lembut.
”Apa yang kau inginkan, cucuku?” tanya sang kakek dengan suara ringkih.
”Aku mau...” Volta menghentikan ucapannya. Dia terlihat ragu. ”Aku mau,” lanjutnya kemudian, ”aku mau bagianku dari keluarga ini!”
Sang kakek tersenyum dan berbalik membelakangi Volta. ”Akhirnya kamu meminta bagianmu juga. Aku sudah lama menunggu saat ini. Memangnya untuk apa kau meminta bagianmu?”
”Aku...” Volta menggenggam tangannya erat. ”Aku ingin…. Aku ingin… menjadi yang terkuat!”
*
Flame’s Ending
Brodie duduk di kabinnya dengan perasaan sangat senang. Sepertinya dia baru saja mengalami sesuatu yang sangat menyenangkan dalam hidupnya.
”Hahaha...” dia tertawa sendiri. “Akhirnya, akhirnya penghalang terakhirku telah pergi! Aku patut berterima kasih pada Tabitha untuk ini. Kalau saja dia tidak menyuruhku menggantikannya menemui Maxie, aku pasti tidak bisa meletakkan surat palsu itu. Hahahahaha....”
Brodie kemudian mengambil sebuah foto yang ada di mejanya. Dia menatap foto wanita berambut merah itu dengan penuh perasaan.
”Flame, sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangiku untuk mendapatkanmu,” ujarnya kemudian. ”Aku telah menyingkirkannya. Si Lunar bodoh itu akhirnya pergi dari sini dan aku akan segera mendapatkanmu. Aku benar-benar mencintaimu.. oh, Flame...”
”Jadi begitu,” tiba-tiba terdengar suara wanita di belakangnya. Brodie berbalik dan terkejut mendapati Flame ada di depannya sekarang. ”Jadi kau yang melakukan semua itu?”
”Flame, kenapa kamu bisa....kenapa kamu masuk tiba-tiba?” tanya Brodie terkejut. Dia merasa terjepit setelah hal-hal yang dikatakannya tadi. Apakah Flame mendengar semua yang dikatakannya tadi?
”Aku berniat mengunjungimu dan pintu kabinmu tak tertutup rapat tadi, jadi maafkan aku bila lancang masuk kesini. Tetapi...” Flame terdiam. Dia menundukkan kepalanya. “Brodie, apa kau masih belum paham juga dengan hubungan kita?” ujar Flame masih dengan kepala menunduk. “Apa kau masih belum bisa menerima hubungan pertemanan kita?”
Brodie tampak bingung dan ketakutan. Dia tak tahu harus mengatakan apa, tetapi sepertinya sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Flame pasti sangat marah setelah mengetahui dialah yang membuat surat perjanjian yang mengeluarkan Lunar itu.
”Kenapa... kenapa kau lakukan ini?” tanya Flame lantang. Bersamaan dengan itu dia mendongakkan kepalanya menatap Brodie dengan penuh kebencian. ”Brodie... aku benci... aku benci kamu!”
Flame berbalik dan melangkah hendak meninggalkan kabin Brodie. Brodie mencegahnya dan secara spontan dia memegang tangan Flame.
”Flame, maafkan aku... aku tidak bermaksud....”
”Lepaskan tanganku!” bentak Flame keras. ”Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!”
”Tapi Flame, kumohon... dengarkan aku dulu,” bujuk Brodie bersikeras.
”AKU BILANG LEPASKAN!”
Tiba-tiba hawa panas terasa di ruangan kabin yang sempit itu. Mendadak dari lengan Flame muncul api yang keluar begitu saja menyelimutinya. Brodie langsung melepaskan tangannya dari lengan Flame dan terkejut mendapati apa yang terjadi di depannya. Dilihatnya api muncul dari tubuh Flame dan kemudian.... alarm tanda bahaya berbunyi di setiap penjuru Magmarine, membuat semua yang ada di dalamnya berada dalam kepanikan massal.
Scene 121: Kembali ke Rumah
Aku berjalan dengan tertatih-tatih di sebelah utara kota Slateport. Entah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa sangat panas. Aku merasa seperti terkena demam tinggi, tetapi apa yang kurasakan lebih panas lagi.
Aku harus segera sampai di rumah, pikirku. Kukeluarkan Tropius dari bolanya, segera saja kutunggangi Pokemon buah-buahan itu, dan menyuruhnya terbang ke Verdanturf.
Perjalanan dari Slateport ke Verdanturf cukup jauh. Sementara badanku terasa semakin panas saja. Namun, aku terus menahan rasa sakitku, sembari terus menguatkan peganganku pada tubuh Tropius. Aku terus bertahan, hingga kulihat kota Verdanturf telah tampak dalam pandanganku.
”Aku tak apa-apa, Tropius,” ujarku pada Tropius yang tampak beberapa kali melihat ke arahku. Tampaknya dia merasakan kondisiku yang sakit. ”Sebentar lagi kita akan sampai di Verdanturf dan kemudian aku akan segera...”
Perkataanku terhenti saat tiba-tiba aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Aku telah benar-benar kehabisan tenaga. Demamku telah memuncak dan kini... tubuhku melunglai begitu saja jatuh di atas punggung Tropius. Tropius tampak panik dan berupaya agar tubuhku tetap di punggungnya. Membuat pergerakannya menjadi berantakan kesana-kemari.
”Tro.... pius…” Itulah kata-kata terakhir yang aku ucapkan karena setelah itu, aku tak sadarkan diri dan tidak ingat apa-apa...
*
Aku merasakan sesuatu yang sangat kukenal, tetapi semuanya gelap. Perlahan kubuka mataku dan kudapati aku tengah terbaring di sebuah tempat tidur, di ruangan yang sangat tidak asing bagiku. Saat ini aku berada... di kamar tidurku?
”Untunglah kamu sudah sadar,” samar-samar terdengar suara wanita yang sangat kukenal, ”kamu membuatku sangat khawatir, Lunar....”
Aku mencari asal suara dan mendapati seorang wanita berbandana hijau tengah berdiri di sampingku. Ternyata... dia adalah kakakku, Kak Lydia.
”Kakak, apa aku sudah ada di rumah?” tanyaku lemah.
”Memangnya kamu pikir dimana? Kau berharap ada di istana presiden?” jawab kak Lydia ketus. ”Saat ini istana presiden sering menjadi target sasaran serangan teroris, kupikir presiden pun enggan tinggal disana.”
”Ah, kakak....” aku tersenyum menanggapi leluconnya. Aku lalu menggerakkan badanku berusaha duduk di atas tempat tidur. ”Apa yang sebenarnya terjadi denganku?”
”Kakak menemukanmu terbaring di dekat gerbang kota Verdanturf, bersama seekor Tropius. Kakak tak menyangka kalau itu adalah kamu, dengan kostum... Tim Magma.” Kak Lydia lalu mendelik ke arahku. ”Kenapa kamu bisa memakai kostum tim Magma? Jangan bilang kalau kamu...”
”Aku baru saja mengikuti festival kostum di Slateport,” jawabku cepat. Aku tak mau kak Lydia curiga kalau aku telah bergabung dengan Tim Magma. ”Entah mengapa aku ingin memakai kostum itu.”
”Oh, syukurlah,” kak Lydia terlihat lega mendengar jawabanku. ”Kakak pikir kamu bergabung dengan mereka. Kamu tahu bukan kalau mereka itu penjahat?”
”Kenapa Kakak bisa berpikiran kalau aku akan bergabung dengan Tim Magma? Aku kan sedang menjadi trainer Pokemon sekarang ini,” sangkalku berusaha membuat kakakku tak berpikir kalau aku telah bergabung dengan Tim Magma. Bagaimanapun kak Lydia akan marah besar bila tahu aku telah bergabung dengan Tim Magma. Dia tidak boleh tahu kalau selama ini aku bersama dengan Tim Magma.
”Ya... apalagi kalau bukan keinginan konyolmu untuk menangkap Groudon,” jawab kak Lydia dengan tatapan curiga. ”Kamu sudah cukup membuat masalah dengan Groudon, Kakak tak mau kamu menambah masalah lagi dengan Tim Magma. Apa kamu lupa siapa ayah kita?”
”Kan sudah aku bilang kalau aku hanya ikut pesta kostum,” sahutku terus membela diri. ”Lagipula aku tidak tertarik dengan Tim Magma, mereka itukan penjahat.”
”Baguslah kalau kamu mengerti itu,” kak Lydia terdengar lega. ”Seharusnya kamu tidak lupa menghubungiku dengan PokeNav. Kakak berkali-kali meneleponmu, tapi tak pernah aktif. Memangnya kamu apakan PokeNav-mu? Apa kamu menjualnya?”
”Soal itu, maaf ya...” aku mulai memasang wajah sedih. ”Sebenarnya PokeNav milikku jatuh dan hilang saat aku mendaki gunung Chimney. Aku benar-benar sangat menyesal.” Aku terpaksa berbohong karena mana mungkin aku mengatakan kalau PokeNav itu disita oleh Tim Magma.
”Kamu kan bisa menghubungiku lewat videophone yang ada di Pokemon Center terdekat. Kakak sangat mengkhawatirkanmu. Sebenarnya apa sih maksudmu?”
”Sekali lagi aku minta maaf, Kak. Aku terlalu asyik dengan Pokemon sehingga aku lupa untuk meneleponmu.”
”Baiklah, kakak bisa mengerti,” sahut kak Lydia. ”Pokemon memang bisa membuatmu lupa waktu. Kakak sendiri terkadang suka lupa waktu kalau sedang mengurus peternakan. Tetapi....” kak Lydia berhenti sejenak dan kemudian.... ”Selama hampir setahun ini yang kamu dapatkan hanya tiga lencana gym ini saja? Sebenarnya apa saja sih yang kamu lakukan?” sentak kak Lydia melotot ke arahku sambil menunjukkan tiga lencana gym yang sudah kudapatkan.
”Hei! Jangan bilang Kakak menggeledah tasku!” seruku terkejut mendapati ketiga lencanaku ada di tangannya. ”Itu pelanggaran privasi! Aku bisa menuntut Kakak!”
”Hehehe... memangnya salah kalau Kakak ingin melihat seberapa hebat adiknya?” sahut kak Lydia dengan enteng, seolah tak merasa bersalah sama sekali. ”Tapi memang tidak percuma kamu pergi menjadi pelatih Pokemon. Kulihat kamu sudah mendapatkan tiga Pokemon, satu di antaranya adalah Tropius. Kamu tahu kan kalau Kakak sangat menyukai Tropius?”
”Ah, iya.... aku tak sengaja mendapatkannya di sebelah barat kota Fortree,” jawabku seadanya dan memang itu kenyataannya.
”Satu hal lagi yang kakak temukan,” lanjut kak Lydia, ”selain Pokemon dan lencana, ternyata kamu juga mendapatkan teman.” Kak Lydia mengeluarkan selembar foto yang diambil di kota Lilycove dan menunjukkannya padaku. ”Kakak penasaran, apa perempuan berambut merah ini adalah kekasihmu?”
”Bukan!” sanggahku cepat. ”Dia itu sahabatku! Tidak lebih dari itu!”
”Sahabat, atau kekasih?” goda kak Lydia melihat perubahan sikapku.
”Dia sahabat, dia sahabatku!” teriakku sambil menggerakkan tanganku berusaha merebut foto itu darinya. Kak Lydia dengan gesit menghindari tangkapanku.
“Ambillah kalau kau bisa!” ledek kak Lydia sambil berjalan keluar kamar.
”Dasar Kakak!”
Ya, Flame memang sahabatku. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah kutemui. Di luar itu, aku tak memungkiri bila aku menyukainya. Aku berharap bisa bertemu kembali dengannya. Aku penasaran dengan apa yang dia lakukan sekarang. Kuharap dia akan baik-baik saja disana.
Flame..... jaga dirimu baik-baik....
Aku harus segera sampai di rumah, pikirku. Kukeluarkan Tropius dari bolanya, segera saja kutunggangi Pokemon buah-buahan itu, dan menyuruhnya terbang ke Verdanturf.
Perjalanan dari Slateport ke Verdanturf cukup jauh. Sementara badanku terasa semakin panas saja. Namun, aku terus menahan rasa sakitku, sembari terus menguatkan peganganku pada tubuh Tropius. Aku terus bertahan, hingga kulihat kota Verdanturf telah tampak dalam pandanganku.
”Aku tak apa-apa, Tropius,” ujarku pada Tropius yang tampak beberapa kali melihat ke arahku. Tampaknya dia merasakan kondisiku yang sakit. ”Sebentar lagi kita akan sampai di Verdanturf dan kemudian aku akan segera...”
Perkataanku terhenti saat tiba-tiba aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi. Aku telah benar-benar kehabisan tenaga. Demamku telah memuncak dan kini... tubuhku melunglai begitu saja jatuh di atas punggung Tropius. Tropius tampak panik dan berupaya agar tubuhku tetap di punggungnya. Membuat pergerakannya menjadi berantakan kesana-kemari.
”Tro.... pius…” Itulah kata-kata terakhir yang aku ucapkan karena setelah itu, aku tak sadarkan diri dan tidak ingat apa-apa...
*
Aku merasakan sesuatu yang sangat kukenal, tetapi semuanya gelap. Perlahan kubuka mataku dan kudapati aku tengah terbaring di sebuah tempat tidur, di ruangan yang sangat tidak asing bagiku. Saat ini aku berada... di kamar tidurku?
”Untunglah kamu sudah sadar,” samar-samar terdengar suara wanita yang sangat kukenal, ”kamu membuatku sangat khawatir, Lunar....”
Aku mencari asal suara dan mendapati seorang wanita berbandana hijau tengah berdiri di sampingku. Ternyata... dia adalah kakakku, Kak Lydia.
”Kakak, apa aku sudah ada di rumah?” tanyaku lemah.
”Memangnya kamu pikir dimana? Kau berharap ada di istana presiden?” jawab kak Lydia ketus. ”Saat ini istana presiden sering menjadi target sasaran serangan teroris, kupikir presiden pun enggan tinggal disana.”
”Ah, kakak....” aku tersenyum menanggapi leluconnya. Aku lalu menggerakkan badanku berusaha duduk di atas tempat tidur. ”Apa yang sebenarnya terjadi denganku?”
”Kakak menemukanmu terbaring di dekat gerbang kota Verdanturf, bersama seekor Tropius. Kakak tak menyangka kalau itu adalah kamu, dengan kostum... Tim Magma.” Kak Lydia lalu mendelik ke arahku. ”Kenapa kamu bisa memakai kostum tim Magma? Jangan bilang kalau kamu...”
”Aku baru saja mengikuti festival kostum di Slateport,” jawabku cepat. Aku tak mau kak Lydia curiga kalau aku telah bergabung dengan Tim Magma. ”Entah mengapa aku ingin memakai kostum itu.”
”Oh, syukurlah,” kak Lydia terlihat lega mendengar jawabanku. ”Kakak pikir kamu bergabung dengan mereka. Kamu tahu bukan kalau mereka itu penjahat?”
”Kenapa Kakak bisa berpikiran kalau aku akan bergabung dengan Tim Magma? Aku kan sedang menjadi trainer Pokemon sekarang ini,” sangkalku berusaha membuat kakakku tak berpikir kalau aku telah bergabung dengan Tim Magma. Bagaimanapun kak Lydia akan marah besar bila tahu aku telah bergabung dengan Tim Magma. Dia tidak boleh tahu kalau selama ini aku bersama dengan Tim Magma.
”Ya... apalagi kalau bukan keinginan konyolmu untuk menangkap Groudon,” jawab kak Lydia dengan tatapan curiga. ”Kamu sudah cukup membuat masalah dengan Groudon, Kakak tak mau kamu menambah masalah lagi dengan Tim Magma. Apa kamu lupa siapa ayah kita?”
”Kan sudah aku bilang kalau aku hanya ikut pesta kostum,” sahutku terus membela diri. ”Lagipula aku tidak tertarik dengan Tim Magma, mereka itukan penjahat.”
”Baguslah kalau kamu mengerti itu,” kak Lydia terdengar lega. ”Seharusnya kamu tidak lupa menghubungiku dengan PokeNav. Kakak berkali-kali meneleponmu, tapi tak pernah aktif. Memangnya kamu apakan PokeNav-mu? Apa kamu menjualnya?”
”Soal itu, maaf ya...” aku mulai memasang wajah sedih. ”Sebenarnya PokeNav milikku jatuh dan hilang saat aku mendaki gunung Chimney. Aku benar-benar sangat menyesal.” Aku terpaksa berbohong karena mana mungkin aku mengatakan kalau PokeNav itu disita oleh Tim Magma.
”Kamu kan bisa menghubungiku lewat videophone yang ada di Pokemon Center terdekat. Kakak sangat mengkhawatirkanmu. Sebenarnya apa sih maksudmu?”
”Sekali lagi aku minta maaf, Kak. Aku terlalu asyik dengan Pokemon sehingga aku lupa untuk meneleponmu.”
”Baiklah, kakak bisa mengerti,” sahut kak Lydia. ”Pokemon memang bisa membuatmu lupa waktu. Kakak sendiri terkadang suka lupa waktu kalau sedang mengurus peternakan. Tetapi....” kak Lydia berhenti sejenak dan kemudian.... ”Selama hampir setahun ini yang kamu dapatkan hanya tiga lencana gym ini saja? Sebenarnya apa saja sih yang kamu lakukan?” sentak kak Lydia melotot ke arahku sambil menunjukkan tiga lencana gym yang sudah kudapatkan.
”Hei! Jangan bilang Kakak menggeledah tasku!” seruku terkejut mendapati ketiga lencanaku ada di tangannya. ”Itu pelanggaran privasi! Aku bisa menuntut Kakak!”
”Hehehe... memangnya salah kalau Kakak ingin melihat seberapa hebat adiknya?” sahut kak Lydia dengan enteng, seolah tak merasa bersalah sama sekali. ”Tapi memang tidak percuma kamu pergi menjadi pelatih Pokemon. Kulihat kamu sudah mendapatkan tiga Pokemon, satu di antaranya adalah Tropius. Kamu tahu kan kalau Kakak sangat menyukai Tropius?”
”Ah, iya.... aku tak sengaja mendapatkannya di sebelah barat kota Fortree,” jawabku seadanya dan memang itu kenyataannya.
”Satu hal lagi yang kakak temukan,” lanjut kak Lydia, ”selain Pokemon dan lencana, ternyata kamu juga mendapatkan teman.” Kak Lydia mengeluarkan selembar foto yang diambil di kota Lilycove dan menunjukkannya padaku. ”Kakak penasaran, apa perempuan berambut merah ini adalah kekasihmu?”
”Bukan!” sanggahku cepat. ”Dia itu sahabatku! Tidak lebih dari itu!”
”Sahabat, atau kekasih?” goda kak Lydia melihat perubahan sikapku.
”Dia sahabat, dia sahabatku!” teriakku sambil menggerakkan tanganku berusaha merebut foto itu darinya. Kak Lydia dengan gesit menghindari tangkapanku.
“Ambillah kalau kau bisa!” ledek kak Lydia sambil berjalan keluar kamar.
”Dasar Kakak!”
Ya, Flame memang sahabatku. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah kutemui. Di luar itu, aku tak memungkiri bila aku menyukainya. Aku berharap bisa bertemu kembali dengannya. Aku penasaran dengan apa yang dia lakukan sekarang. Kuharap dia akan baik-baik saja disana.
Flame..... jaga dirimu baik-baik....