Dua orang laki-laki dan wanita berseragam Tim Magma berjalan di tepi pantai. Mereka sedang menuju sebuah gua yang ada pada ujung lain pantai tersebut. Mereka tampak sangat tenang dan sedikit berbincang, tanpa mengetahui kalau ada seseorang yang mengamati mereka dari kejauhan.
”Dua orang berseragam merah,” ujar seseorang yang mengamati keduanya dari kejauhan menggunakan teropong itu. ”Tak salah lagi, mereka adalah Tim Magma. Kupikir ini adalah saat yang tepat... untuk melakukan pembalasan!”
”Dua orang berseragam merah,” ujar seseorang yang mengamati keduanya dari kejauhan menggunakan teropong itu. ”Tak salah lagi, mereka adalah Tim Magma. Kupikir ini adalah saat yang tepat... untuk melakukan pembalasan!”
Scene 106: Tabitha Palsu
Sebelumnya, di ruangan Maxie......
Maxie sedang duduk di kursinya. Dia tampak mengamati sebuah bola berwarna biru di tangan kanannya dengan seksama. Saat itulah terdengar suara ketukan dari pintu kabinnya.
”Masuklah,” jawab Maxie mempersilakan. Pintu pun terbuka, dan lelaki yang menjadi tangan kanan Maxie langsung masuk ke dalamnya.
”Ada apa Tuan memanggilku?” tanya lelaki yang tak lain adalah Tabitha itu.
”Tentu saja untuk meminta data yang kuminta waktu itu. Apa kamu sudah lupa? Aku sudah mengatakannya tadi saat memintamu datang. Lagipula data itu pun sudah ada di tanganmu,” jawab Maxie panjang lebar. Entah kenapa dia terlihat kesal pada anak buah yang paling dipercayainya itu.
Tabitha lalu melihat amplop cokelat besar yang terpegang di tangan kanannya. ”Ah, iya... ada disini...” jawab Tabitha. ”Maaf, saya tidak sadar...”
”Kenapa kamu jadi blo’on seperti ini sih?” sungut Maxie kesal. ”Ya sudah, taruh dokumen itu di mejaku dan segera pergi.”
”Baik, Tuan Maxie,” jawab Tabitha. Dia lalu meletakkan amplop berisi kertas-kertas A4 itu di atas meja Maxie dan segera berbalik hendak meninggalkan ruangan.
“Tunggu sebentar, Tabitha,” cegah Maxie tiba-tiba.
Tabitha pun langsung kembali berbalik. “Ada apa Tuan?” tanyanya.
”Tolong panggilkan Lunar,” jawab Maxie tanpa mengalihkan pandangannya dari bola biru yang ada dalam genggamannya.
”Ada apa dengan Lunar?” sahut Tabitha penasaran.
”Tentu saja aku mau bicara dengannya,” jawab Maxie tampak kesal. ”Kamu pikir aku mau main catur dengan dia? Aku tak ada waktu untuk itu.”
”Apa Tuan mau memberinya tugas lagi?” terka Tabitha kemudian.
”Iya, aku mau memberinya sebuah tugas bersama Flame,” kata Maxie sambil mengambil amplop yang ada di mejanya. ”Tapi sebelum itu....” perkataan Maxie terhenti. Pemimpin Tim Magma yang kharismatik itu kemudian mengeluarkan kertas-kertas dari dalam amplop dan memeriksanya satu-persatu. ”Sebelum itu,” lanjut Maxie, ”aku ingin berbicara dengannya mengenai suatu hal.”
”Tuan ingin bicara apa?” tanya Tabitha lagi. Admin Tim Magma itu tampak sangat ingin tahu.
”Maaf, tapi hal ini hanya kubicarakan dengan Lunar selaku elite grunt,” tolak Maxie. Dia memandang tangan kanannya itu dengan tatapan curiga. Wajar saja bila Maxie curiga terhadap Tabitha. Gelagat pemegang perintah kedua di Tim Magma itu memang terlihat sangat aneh. ”Baiklah Tabitha, sekarang kamu bisa meninggalkan ruanganku dan mulai memanggil Lunar.”
”Baik Tuan,” pamit Tabitha. Dia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan Maxie.
Tabitha berjalan dengan pelan di lorong kapal selam dengan kepala menunduk ke bawah. Seulas senyum yang sangat aneh tersungging di wajahnya. Entah mengapa tiba-tiba sebuah cairan bening keluar dari semua wajahnya. Cairan berwarna ungu itu kemudian bergerak dan kini menempel di bahu lelaki itu. Saat itulah, seseorang berseragam grunt merah yang lain tampak berjalan ke arahnya.
”Kau sudah menemui Tuan Maxie... Brodie?” tanya grunt yang berwajah mirip Tabitha tersebut saat sudah mendekati Tabitha. Bukan... bukan mirip, namun dia memang Tabitha! Kalau dia Tabitha, lalu siapa sosok berwajah Tabitha yang bertemu dengan Maxie tadi?
”Tentu saja sudah,” jawab lelaki yang baru keluar dari ruangan Maxie itu sambil mendongak. Kini wajahnya bukan lagi wajah Tabitha, melainkan wajah....
”Terima kasih Brodie,” ujar Tabitha yang asli. ”Untung kau mau menggantikanku menemui Tuan Maxie, dengan begitu kencanku dengan Courtney jadi tidak terganggu. Semuanya berjalan lancar bukan? Apa yang diperintahkan oleh Tuan Maxie?”
”Kau bertanya banyak sekali,” jawab Brodie yang rupanya telah menyamar menjadi Tabitha dan menemui Maxie. ”Aku sudah memberikan dokumen itu, dan Tuan Maxie menyuruhmu memanggilkan si Lunar.”
”Begitu ya? Kalau begitu terima kasih banyak ya?” sahut Tabitha. ”Sekarang aku harus pergi menemui Lunar.”
Tabitha lalu berjalan meninggalkan Brodie begitu saja. Sementara itu Brodie berdiri terdiam di tempatnya. Dia mengeluarkan sebuah kertas dari balik rompinya dan memandangnya lekat. Tiba-tiba saja grunt Tim Magma yang pandai menyamar itu menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat misterius.
”Tidak, Tabitha...” bisiknya pada dirinya sendiri, ”... akulah yang harusnya berterima kasih padamu....”
Maxie sedang duduk di kursinya. Dia tampak mengamati sebuah bola berwarna biru di tangan kanannya dengan seksama. Saat itulah terdengar suara ketukan dari pintu kabinnya.
”Masuklah,” jawab Maxie mempersilakan. Pintu pun terbuka, dan lelaki yang menjadi tangan kanan Maxie langsung masuk ke dalamnya.
”Ada apa Tuan memanggilku?” tanya lelaki yang tak lain adalah Tabitha itu.
”Tentu saja untuk meminta data yang kuminta waktu itu. Apa kamu sudah lupa? Aku sudah mengatakannya tadi saat memintamu datang. Lagipula data itu pun sudah ada di tanganmu,” jawab Maxie panjang lebar. Entah kenapa dia terlihat kesal pada anak buah yang paling dipercayainya itu.
Tabitha lalu melihat amplop cokelat besar yang terpegang di tangan kanannya. ”Ah, iya... ada disini...” jawab Tabitha. ”Maaf, saya tidak sadar...”
”Kenapa kamu jadi blo’on seperti ini sih?” sungut Maxie kesal. ”Ya sudah, taruh dokumen itu di mejaku dan segera pergi.”
”Baik, Tuan Maxie,” jawab Tabitha. Dia lalu meletakkan amplop berisi kertas-kertas A4 itu di atas meja Maxie dan segera berbalik hendak meninggalkan ruangan.
“Tunggu sebentar, Tabitha,” cegah Maxie tiba-tiba.
Tabitha pun langsung kembali berbalik. “Ada apa Tuan?” tanyanya.
”Tolong panggilkan Lunar,” jawab Maxie tanpa mengalihkan pandangannya dari bola biru yang ada dalam genggamannya.
”Ada apa dengan Lunar?” sahut Tabitha penasaran.
”Tentu saja aku mau bicara dengannya,” jawab Maxie tampak kesal. ”Kamu pikir aku mau main catur dengan dia? Aku tak ada waktu untuk itu.”
”Apa Tuan mau memberinya tugas lagi?” terka Tabitha kemudian.
”Iya, aku mau memberinya sebuah tugas bersama Flame,” kata Maxie sambil mengambil amplop yang ada di mejanya. ”Tapi sebelum itu....” perkataan Maxie terhenti. Pemimpin Tim Magma yang kharismatik itu kemudian mengeluarkan kertas-kertas dari dalam amplop dan memeriksanya satu-persatu. ”Sebelum itu,” lanjut Maxie, ”aku ingin berbicara dengannya mengenai suatu hal.”
”Tuan ingin bicara apa?” tanya Tabitha lagi. Admin Tim Magma itu tampak sangat ingin tahu.
”Maaf, tapi hal ini hanya kubicarakan dengan Lunar selaku elite grunt,” tolak Maxie. Dia memandang tangan kanannya itu dengan tatapan curiga. Wajar saja bila Maxie curiga terhadap Tabitha. Gelagat pemegang perintah kedua di Tim Magma itu memang terlihat sangat aneh. ”Baiklah Tabitha, sekarang kamu bisa meninggalkan ruanganku dan mulai memanggil Lunar.”
”Baik Tuan,” pamit Tabitha. Dia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan Maxie.
Tabitha berjalan dengan pelan di lorong kapal selam dengan kepala menunduk ke bawah. Seulas senyum yang sangat aneh tersungging di wajahnya. Entah mengapa tiba-tiba sebuah cairan bening keluar dari semua wajahnya. Cairan berwarna ungu itu kemudian bergerak dan kini menempel di bahu lelaki itu. Saat itulah, seseorang berseragam grunt merah yang lain tampak berjalan ke arahnya.
”Kau sudah menemui Tuan Maxie... Brodie?” tanya grunt yang berwajah mirip Tabitha tersebut saat sudah mendekati Tabitha. Bukan... bukan mirip, namun dia memang Tabitha! Kalau dia Tabitha, lalu siapa sosok berwajah Tabitha yang bertemu dengan Maxie tadi?
”Tentu saja sudah,” jawab lelaki yang baru keluar dari ruangan Maxie itu sambil mendongak. Kini wajahnya bukan lagi wajah Tabitha, melainkan wajah....
”Terima kasih Brodie,” ujar Tabitha yang asli. ”Untung kau mau menggantikanku menemui Tuan Maxie, dengan begitu kencanku dengan Courtney jadi tidak terganggu. Semuanya berjalan lancar bukan? Apa yang diperintahkan oleh Tuan Maxie?”
”Kau bertanya banyak sekali,” jawab Brodie yang rupanya telah menyamar menjadi Tabitha dan menemui Maxie. ”Aku sudah memberikan dokumen itu, dan Tuan Maxie menyuruhmu memanggilkan si Lunar.”
”Begitu ya? Kalau begitu terima kasih banyak ya?” sahut Tabitha. ”Sekarang aku harus pergi menemui Lunar.”
Tabitha lalu berjalan meninggalkan Brodie begitu saja. Sementara itu Brodie berdiri terdiam di tempatnya. Dia mengeluarkan sebuah kertas dari balik rompinya dan memandangnya lekat. Tiba-tiba saja grunt Tim Magma yang pandai menyamar itu menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat misterius.
”Tidak, Tabitha...” bisiknya pada dirinya sendiri, ”... akulah yang harusnya berterima kasih padamu....”
Scene 107: Gua Granit
Aku dan Flame kembali ditugaskan bersama. Kali ini kami menyelidiki sebuah gua bernama gua Granit yang ada di kota Dewford. Kota ini cukup tenang dengan penduduk yang ramah dan sangat trendi. Pantainya indah dan banyak orang yang memancing ikan disana.
Setelah mendaratkan helikopter, kami pun bergegas menuju gua Granit yang disebutkan oleh Maxie. Jujur saja, aku malu sekali pada Flame karena selalu dia yang mengemudikan helikopter sepeninggal Volta. Mau bagaimana lagi, aku memang belum bisa mengendarai kendaraan itu.
”Maafkan aku Flame, harusnya aku yang menerbangkannya,” sesalku.
”Tidak apa Lunar,” jawab Flame sambil tersenyum manis. ”Kamu tak punya waktu yang cukup untuk belajar menerbangkannya bukan? Kita ini memang sedang sibuk.”
”Tapi kan...”
”Sudahlah, serahkan masalah ini padaku. Jadilah penumpang yang baik,” begitu katanya saat itu.
*
Aku dan Flame sudah berada di depan gua yang konon sangat gelap itu. Beruntung aku memiliki Ninjask yang telah mempelajari Flash sehingga nantinya akan berguna untuk menerangi gua.
Saat akan memasuki gua, entah kenapa aku merasakan firasat yang tidak enak. Entah kenapa aku merasa ada seseorang yang sedang membuntuti kami berdua. Aku menoleh ke belakang namun tak menemukan siapapun.
”Ada apa, Lunar?” tanya Flame melihat kegelisahanku.
”Entahlah, aku hanya merasa seperti ada yang membuntuti kita,” jawabku seadanya.
”Mana?” Flame melihat sekeliling. ”Tidak ada siapa-siapa kok, kamu pasti berkhayal.”
”Mungkin kau benar...” jawabku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Kami berdua mulai memasuki gua. Pada lantai pertama cahaya masih memasuki gua tersebut, namun saat kami beranjak ke lantai kedua, tiba-tiba kegelapan langsung meliputi kami.
”Ninjask, Flash!” perintahku cepat. Ninjask yang sedari tadi sudah ada di luar langsung mengeluarkan cahaya yang menerangi jalan kami. Walaupun cahaya itu tidak terlalu terang, namun cukuplah bagi kami untuk melihat isi gua. Beberapa ekor Zubat muncul dan beterbangan di sekeliling kami. Mereka hendak menyerang, tapi Repel yang disemprotkan oleh Flame membuat mereka hanya melintas di dekat kami saja. Repel adalah semprotan yang bisa menyingkirkan Pokemon dari kita sehingga saat berada di alam liar, tidak ada Pokemon liar yang bisa menyerang kita.
”Sebenarnya apa maksud pamanmu menyuruh kita pergi ke gua ini? Memangnya ada apa di dalam gua ini?” tanyaku penasaran. ”Apakah pamanmu masih mencari keberadaan gua Terra itu?”
”Aku tidak tahu. Paman hanya memerintahkan kita menyelidiki gua ini, tidak ada penjelasan lainnya,” jawab Flame. ”Mungkin dugaanmu benar, Paman masih mencari gua Terra yang legendaris itu.”
”Bukankah cuaca di sekitar gua ini biasa saja? Tak ada kemarau seperti yang dikatakan,” aku menebak lagi.
”Entah, yang terpenting kita menjalankan tugas, itu saja. Bisa saja perubahan cuaca tidak terjadi.”
Tiba-tiba suara bergemuruh terdengar keras. Aku dan Flame langsung menegok ke asal suara saat tiba-tiba dua deburan air yang sangat deras meluncur ke arah kami.
”Flame, awas!” aku berteriak memperingatkan. Aku, Sandslash, dan Ninjask berhasil menghindari deburan itu, namun tidak bagi Flame dan Flareonnya. Mereka berdua terhempas akibat dorongan kuat deburan air itu hingga menabrak tembok gua dengan keras. Keduanya lalu jatuh ke tanah.
”FLAME!” teriakku keras hingga bergaung di seisi gua. Aku berlari cepat ke arah Flame dan mendapatinya pingsan tak sadarkan diri. Melihat itu kemarahanku memuncak. Mataku langsung bergerak mencari asal serangan.
”Ah, sial! Meleset satu,” terdengar suara seorang lelaki. ”Padahal hydro canon tadi sudah sangat kuat.”
”Keluar kamu kalau berani!” bentakku marah. ”Dasar pengecut!”
”Baiklah kalau itu yang kamu mau,” tiba-tiba muncul seorang lelaki berambut pirang dengan seragam hitam bertuliskan huruf R di dada sebelah kanannya. Seekor Pokemon menyerupai kura-kura raksasa tampak berjalan dengan kedua kakinya di samping lelaki itu. Di punggung kura-kura itu terlihat dua buah meriam.
”Siapa kamu?” tanyaku kasar. ”Kenapa kamu menyerang kami?”
”Namaku Bima, tapi orang-orang memanggilku Rocket Bima. Aku admin Tim Rocket di provinsi Hoenn,” jawab lelaki itu memperkenalkan dirinya dengan angkuh.
”Tim Rocket?” aku terkejut. ”Kenapa bisa?”
”Aku melihat dua orang berseragam Tim Magma memasuki gua Granit, jadi aku tertarik mengikuti mereka,” jawab lelaki yang mengaku bernama Bima itu. ”Ada lagi yang ingin kau tanyakan?”
”Kenapa kamu menyerang kami? Kami tak punya urusan denganmu!”
Aku sedikit tahu mengenai Tim Rocket dari Tabitha. Tim Rocket adalah tim penjahat yang menggunakan Pokemon untuk melakukan kejahatan dengan tujuan menguasai dunia. Mereka tidak ada beroperasi di Hoenn, lalu kenapa mereka bisa ada disini?
Setelah mendaratkan helikopter, kami pun bergegas menuju gua Granit yang disebutkan oleh Maxie. Jujur saja, aku malu sekali pada Flame karena selalu dia yang mengemudikan helikopter sepeninggal Volta. Mau bagaimana lagi, aku memang belum bisa mengendarai kendaraan itu.
”Maafkan aku Flame, harusnya aku yang menerbangkannya,” sesalku.
”Tidak apa Lunar,” jawab Flame sambil tersenyum manis. ”Kamu tak punya waktu yang cukup untuk belajar menerbangkannya bukan? Kita ini memang sedang sibuk.”
”Tapi kan...”
”Sudahlah, serahkan masalah ini padaku. Jadilah penumpang yang baik,” begitu katanya saat itu.
*
Aku dan Flame sudah berada di depan gua yang konon sangat gelap itu. Beruntung aku memiliki Ninjask yang telah mempelajari Flash sehingga nantinya akan berguna untuk menerangi gua.
Saat akan memasuki gua, entah kenapa aku merasakan firasat yang tidak enak. Entah kenapa aku merasa ada seseorang yang sedang membuntuti kami berdua. Aku menoleh ke belakang namun tak menemukan siapapun.
”Ada apa, Lunar?” tanya Flame melihat kegelisahanku.
”Entahlah, aku hanya merasa seperti ada yang membuntuti kita,” jawabku seadanya.
”Mana?” Flame melihat sekeliling. ”Tidak ada siapa-siapa kok, kamu pasti berkhayal.”
”Mungkin kau benar...” jawabku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Kami berdua mulai memasuki gua. Pada lantai pertama cahaya masih memasuki gua tersebut, namun saat kami beranjak ke lantai kedua, tiba-tiba kegelapan langsung meliputi kami.
”Ninjask, Flash!” perintahku cepat. Ninjask yang sedari tadi sudah ada di luar langsung mengeluarkan cahaya yang menerangi jalan kami. Walaupun cahaya itu tidak terlalu terang, namun cukuplah bagi kami untuk melihat isi gua. Beberapa ekor Zubat muncul dan beterbangan di sekeliling kami. Mereka hendak menyerang, tapi Repel yang disemprotkan oleh Flame membuat mereka hanya melintas di dekat kami saja. Repel adalah semprotan yang bisa menyingkirkan Pokemon dari kita sehingga saat berada di alam liar, tidak ada Pokemon liar yang bisa menyerang kita.
”Sebenarnya apa maksud pamanmu menyuruh kita pergi ke gua ini? Memangnya ada apa di dalam gua ini?” tanyaku penasaran. ”Apakah pamanmu masih mencari keberadaan gua Terra itu?”
”Aku tidak tahu. Paman hanya memerintahkan kita menyelidiki gua ini, tidak ada penjelasan lainnya,” jawab Flame. ”Mungkin dugaanmu benar, Paman masih mencari gua Terra yang legendaris itu.”
”Bukankah cuaca di sekitar gua ini biasa saja? Tak ada kemarau seperti yang dikatakan,” aku menebak lagi.
”Entah, yang terpenting kita menjalankan tugas, itu saja. Bisa saja perubahan cuaca tidak terjadi.”
Tiba-tiba suara bergemuruh terdengar keras. Aku dan Flame langsung menegok ke asal suara saat tiba-tiba dua deburan air yang sangat deras meluncur ke arah kami.
”Flame, awas!” aku berteriak memperingatkan. Aku, Sandslash, dan Ninjask berhasil menghindari deburan itu, namun tidak bagi Flame dan Flareonnya. Mereka berdua terhempas akibat dorongan kuat deburan air itu hingga menabrak tembok gua dengan keras. Keduanya lalu jatuh ke tanah.
”FLAME!” teriakku keras hingga bergaung di seisi gua. Aku berlari cepat ke arah Flame dan mendapatinya pingsan tak sadarkan diri. Melihat itu kemarahanku memuncak. Mataku langsung bergerak mencari asal serangan.
”Ah, sial! Meleset satu,” terdengar suara seorang lelaki. ”Padahal hydro canon tadi sudah sangat kuat.”
”Keluar kamu kalau berani!” bentakku marah. ”Dasar pengecut!”
”Baiklah kalau itu yang kamu mau,” tiba-tiba muncul seorang lelaki berambut pirang dengan seragam hitam bertuliskan huruf R di dada sebelah kanannya. Seekor Pokemon menyerupai kura-kura raksasa tampak berjalan dengan kedua kakinya di samping lelaki itu. Di punggung kura-kura itu terlihat dua buah meriam.
”Siapa kamu?” tanyaku kasar. ”Kenapa kamu menyerang kami?”
”Namaku Bima, tapi orang-orang memanggilku Rocket Bima. Aku admin Tim Rocket di provinsi Hoenn,” jawab lelaki itu memperkenalkan dirinya dengan angkuh.
”Tim Rocket?” aku terkejut. ”Kenapa bisa?”
”Aku melihat dua orang berseragam Tim Magma memasuki gua Granit, jadi aku tertarik mengikuti mereka,” jawab lelaki yang mengaku bernama Bima itu. ”Ada lagi yang ingin kau tanyakan?”
”Kenapa kamu menyerang kami? Kami tak punya urusan denganmu!”
Aku sedikit tahu mengenai Tim Rocket dari Tabitha. Tim Rocket adalah tim penjahat yang menggunakan Pokemon untuk melakukan kejahatan dengan tujuan menguasai dunia. Mereka tidak ada beroperasi di Hoenn, lalu kenapa mereka bisa ada disini?
Scene 108: Kemarahan Memuncak
”Mungkin kalian tak memiliki masalah denganku,” jawab Bima enteng, ”namun aku yang punya urusan dengan kalian.”
”Urusan?” aku semakin tidak mengerti dengan perkataan anggota Tim Rocket ini.
”Ya, aku ingin membalas dendam pada kalian yang telah membunuh Blastoise, induk dari Blastoiseku ini!”
Dendam? Apalagi ini?
”Blastoise, Hydro Canon! Jatuhkan Tim Magma yang tersisa!” perintah Bima kemudian. Namun Pokemon menyerupai kura-kura yang dipanggil Blastoise itu tak bergerak. Dia seperti sedang mengumpulkan tenaga. ”Oh, aku lupa,” sambung Bima saat melihat Pokemonnya tersebut. ”Aku lupa kalau Blastoise harus mengisi ulang tenaganya setelah hydro canon tadi. Hidro canon memang hebat, tapi cukup merepotkan juga, butuh waktu untuk melakukan serangan kembali setelah serangan pertama.”
Blastoise sedang melakukan isi ulang tenaga? Kalau begitu ini kesempatanku untuk melakukan serangan balasan.
”Sandslash, serang dia!” teriakku tak mau kalah memberi perintah. Namun Sandslash tak bergerak maju. Aku lalu menoleh dan kulihat Pokemon berwarna cokelat itu tengah terdiam menatap Flareon yang tergolek lemas di samping Flame. Aku pun ikut melihat Flame yang pingsan, wajahnya terlihat kesakitan. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat perkataan Maxie saat itu, sebelum kami pergi ke gua Granit ini. Dan mengingat hal itu, membuatku menjadi sangat marah.
”Kurang ajar!” umpatku kasar dengan mata mendelik ke arah Bima. ”Bima atau siapapun kau, kau tak seharusnya menyerang Flame?”
”Oh ya? Lalu maksudmu kalian pantas membunuh induk Blastoise ini dan merusak kotaku?” balas Bima. ”Tak butuh waktu lama bagi Blastoise untuk mengisi ulang tenaga sementara Sandslash milikmu tidak menuruti perintahmu, kau juga akan menyusul pacarmu itu. Siapa namanya tadi? Flame?”
”Dia bukan pacarku... dia itu sahabatku!” geramku semakin marah dengan jawaban enteng lelaki yang mengaku sebagai admin Tim Rocket di Hoenn itu. Kutaksir umurnya lebih muda dariku dan entah mengapa aku merasa pernah bertemu dengan lelaki ini sebelumnya.
Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat. Emosiku telah memuncak, aku tak bisa menahannya lagi. Bila perkataan Maxie benar, maka Flame bisa....
”Sandslash! Apa kamu mau diam saja?” teriakku kembali memberi perintah. “Buktikan kekuatanmu dan balas serangan kura-kura itu!”
Kali ini Sandslash mendengar perintahku. Dia melompat dan berdiri sejajar denganku. Pandangan matanya menatap Blastoise dengan penuh kebencian. Apakah Sandslash juga ikut merasakan kemarahanku?
“Sandslash... HAJAR!”
“Percuma saja, serangan dari tipe tanah Sandslash tidak akan mempan....” ucapan meremehkan dari Bima terhenti saat tiba-tiba tanah di bawah kami bergetar keras. Kulihat getaran itu bersumber dari tanah di bawah Sandslash dan kini untuk pertama kalinya kulihat Sandslash terdiam seperti melakukan konsentrasi. Tiba-tiba saja Pokemon andalanku itu melompat pada poisisi yang sama dan kakinya menghujam tanah dengan sangat keras.
Bersamaan dengan itu tanah di depannya bergetar keras hingga mencapai tempat Bima dan Blastoise berdiri, membuat keduanya terguncang dan terhempas jatuh. Langit-langit gua pun bergetar keras dengan guncangan itu dan bebatuan serta stalaktit mulai runtuh dari atap gua menghujam ke tanah. Sebuah batu besar kemudian jatuh dan akan menimpa Bima yang terbaring di tanah kalau saja Blastoise tidak bangkit dan melindungi tuannya tersebut. Blastoise kesakitan dan langsung pingsan tertindih batu besar itu.
”Blastoise!” teriak Bima melihat Pokemonnya tertimpa sebuah batu besar. Dia bangkit dan menghampiri Blastoise seraya berusaha menyingkirkan batu besar yang menindih tubuh Pokemon kura-kura tersebut sementara langit-langit gua mulai runtuh.
”Kalau seperti ini aku harus memasukkannya ke dalam PokeBall, dan mengeluarkan Pokemon lain,” Bima berkata sendiri. Dia terlihat panik melihat Pokemonnya terluka.
Bima baru saja akan mengeluarkan PokeBall saat sesuatu yang dingin dan tajam menyentuh lehernya.
”Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya,” cegahku kemudian. Kini aku telah berdiri di dekat lelaki berseragam hitam itu sementara Sandslash berada tepat di sampingnya sambil menghunus cakar yang tajam ke leher sang pemilik Blastoise. ”Bila kamu melakukannya, aku tak segan-segan memerintahkan Sandslash untuk memotong kepalamu... setelah apa yang kamu lakukan pada Flame!”
”Huh... kenapa kau begitu khawatir? Pacarmu itu akan segera tersadar, dia hanya terkena hydro canon, itu tidak fatal,” bela Bima mulai ketakutan. ”Apa hanya karena itu kau mau membunuhku?”
”Kamu salah!” bentakku kasar. Aku sudah tidak peduli dengan perangaiku karena memang aku telah dikuasai amarah yang sangat besar. Bilapun harus mengotori tanganku dengan darah, aku takkan menyesal. Hal ini dikarenakan.... ”Flame tidak akan semudah itu sadar dari hydro canon! Dia bahkan bisa terbunuh hanya karena serangan tololmu itu!”
”Urusan?” aku semakin tidak mengerti dengan perkataan anggota Tim Rocket ini.
”Ya, aku ingin membalas dendam pada kalian yang telah membunuh Blastoise, induk dari Blastoiseku ini!”
Dendam? Apalagi ini?
”Blastoise, Hydro Canon! Jatuhkan Tim Magma yang tersisa!” perintah Bima kemudian. Namun Pokemon menyerupai kura-kura yang dipanggil Blastoise itu tak bergerak. Dia seperti sedang mengumpulkan tenaga. ”Oh, aku lupa,” sambung Bima saat melihat Pokemonnya tersebut. ”Aku lupa kalau Blastoise harus mengisi ulang tenaganya setelah hydro canon tadi. Hidro canon memang hebat, tapi cukup merepotkan juga, butuh waktu untuk melakukan serangan kembali setelah serangan pertama.”
Blastoise sedang melakukan isi ulang tenaga? Kalau begitu ini kesempatanku untuk melakukan serangan balasan.
”Sandslash, serang dia!” teriakku tak mau kalah memberi perintah. Namun Sandslash tak bergerak maju. Aku lalu menoleh dan kulihat Pokemon berwarna cokelat itu tengah terdiam menatap Flareon yang tergolek lemas di samping Flame. Aku pun ikut melihat Flame yang pingsan, wajahnya terlihat kesakitan. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat perkataan Maxie saat itu, sebelum kami pergi ke gua Granit ini. Dan mengingat hal itu, membuatku menjadi sangat marah.
”Kurang ajar!” umpatku kasar dengan mata mendelik ke arah Bima. ”Bima atau siapapun kau, kau tak seharusnya menyerang Flame?”
”Oh ya? Lalu maksudmu kalian pantas membunuh induk Blastoise ini dan merusak kotaku?” balas Bima. ”Tak butuh waktu lama bagi Blastoise untuk mengisi ulang tenaga sementara Sandslash milikmu tidak menuruti perintahmu, kau juga akan menyusul pacarmu itu. Siapa namanya tadi? Flame?”
”Dia bukan pacarku... dia itu sahabatku!” geramku semakin marah dengan jawaban enteng lelaki yang mengaku sebagai admin Tim Rocket di Hoenn itu. Kutaksir umurnya lebih muda dariku dan entah mengapa aku merasa pernah bertemu dengan lelaki ini sebelumnya.
Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat. Emosiku telah memuncak, aku tak bisa menahannya lagi. Bila perkataan Maxie benar, maka Flame bisa....
”Sandslash! Apa kamu mau diam saja?” teriakku kembali memberi perintah. “Buktikan kekuatanmu dan balas serangan kura-kura itu!”
Kali ini Sandslash mendengar perintahku. Dia melompat dan berdiri sejajar denganku. Pandangan matanya menatap Blastoise dengan penuh kebencian. Apakah Sandslash juga ikut merasakan kemarahanku?
“Sandslash... HAJAR!”
“Percuma saja, serangan dari tipe tanah Sandslash tidak akan mempan....” ucapan meremehkan dari Bima terhenti saat tiba-tiba tanah di bawah kami bergetar keras. Kulihat getaran itu bersumber dari tanah di bawah Sandslash dan kini untuk pertama kalinya kulihat Sandslash terdiam seperti melakukan konsentrasi. Tiba-tiba saja Pokemon andalanku itu melompat pada poisisi yang sama dan kakinya menghujam tanah dengan sangat keras.
Bersamaan dengan itu tanah di depannya bergetar keras hingga mencapai tempat Bima dan Blastoise berdiri, membuat keduanya terguncang dan terhempas jatuh. Langit-langit gua pun bergetar keras dengan guncangan itu dan bebatuan serta stalaktit mulai runtuh dari atap gua menghujam ke tanah. Sebuah batu besar kemudian jatuh dan akan menimpa Bima yang terbaring di tanah kalau saja Blastoise tidak bangkit dan melindungi tuannya tersebut. Blastoise kesakitan dan langsung pingsan tertindih batu besar itu.
”Blastoise!” teriak Bima melihat Pokemonnya tertimpa sebuah batu besar. Dia bangkit dan menghampiri Blastoise seraya berusaha menyingkirkan batu besar yang menindih tubuh Pokemon kura-kura tersebut sementara langit-langit gua mulai runtuh.
”Kalau seperti ini aku harus memasukkannya ke dalam PokeBall, dan mengeluarkan Pokemon lain,” Bima berkata sendiri. Dia terlihat panik melihat Pokemonnya terluka.
Bima baru saja akan mengeluarkan PokeBall saat sesuatu yang dingin dan tajam menyentuh lehernya.
”Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya,” cegahku kemudian. Kini aku telah berdiri di dekat lelaki berseragam hitam itu sementara Sandslash berada tepat di sampingnya sambil menghunus cakar yang tajam ke leher sang pemilik Blastoise. ”Bila kamu melakukannya, aku tak segan-segan memerintahkan Sandslash untuk memotong kepalamu... setelah apa yang kamu lakukan pada Flame!”
”Huh... kenapa kau begitu khawatir? Pacarmu itu akan segera tersadar, dia hanya terkena hydro canon, itu tidak fatal,” bela Bima mulai ketakutan. ”Apa hanya karena itu kau mau membunuhku?”
”Kamu salah!” bentakku kasar. Aku sudah tidak peduli dengan perangaiku karena memang aku telah dikuasai amarah yang sangat besar. Bilapun harus mengotori tanganku dengan darah, aku takkan menyesal. Hal ini dikarenakan.... ”Flame tidak akan semudah itu sadar dari hydro canon! Dia bahkan bisa terbunuh hanya karena serangan tololmu itu!”
Scene 109: Perkataan Maxie
Sebelumnya, di Magmarine, tepatnya di ruangan Maxie.
Aku berdiri menghadap Maxie yang duduk di kursinya. Beliau tampak mengamati Blue Orb yang kuberikan waktu itu dengan sangat seksama. Sudah sepuluh menit aku berdiri di depannya dan Maxie belum juga mengucapkan sepatah katapun. Sepertinya beliau begitu tertarik dengan Blue Orb di tangannya sehingga tak memedulikan keberadaanku.
”Ada apa Tuan Maxie memanggilku?” tanyaku memecah kebuntuan.
”Oh, maafkan aku Lunar,” jawab Maxie. ”Aku memang pernah memegang Red Orb, tapi aku tak menyangka Blue Orb ini begitu indah. Aku patut berterima kasih padamu dan Flame karena sudah membawakan bola yang sangat berharga ini padaku. Kita sudah mendapatkan Kyogre, dan ditambah Blue Orb ini, Tim Aqua sudah bukan penghalang lagi bagi kita.”
”Tapi Tuan Maxie,” selaku tiba-tiba. ”Melon mengatakan kalau Tim Aqua berniat menyerang kapal selam kita untuk merebut Kyogre. Beruntung dia berhasil merusak kapal selam mereka. Kupikir mereka akan terus berusaha merebut Kyogre.”
”Tenang saja Lunar, tak perlu takut dengan itu,” jawab Maxie santai. ”Kita tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan Groudon, dan tentu saja itu berarti kita tinggal selangkah lagi menggapai tujuan kita. Karena itulah, aku akan kembali menugaskanmu bersama Flame untuk menyelidiki gua Terra.”
”Tugas lagi?” aku terperangah. Maxie kembali memberikan tugas padaku dan Flame? Bukankah kami baru saja kembali dari tugas di rute 103?
”Iya, maafkan aku Lunar bila terkesan membebani kalian. Tapi kalianlah yang terbaik yang bisa melakukan hal ini. Kuharap kalian mau melakukannya.”
”Te...tentu saja!” jawabku menutupi keenggananku. ”Demi Groudon, kami akan berjuang keras.”
”Baiklah, aku suka melihat semangatmu itu,” sahut Maxie sambil tersenyum. ”Tujuan kalian berikutnya adalah gua Granit yang ada di kota Dewford. Selidiki gua itu.”
”Siap laksanakan!” jawabku mantap.
”Tapi Lunar,” ujar Maxie kemudian. ”Aku memanggilmu kesini bukan hanya karena tugas itu, melainkan aku ingin membicarakan mengenai Flame.”
”Flame? Ada apa dengan Flame?” tanyaku penasaran.
”Itulah kenapa aku hanya memanggilmu saja, kupikir Flame tak usah mendengar hal ini,” jawab Maxie menarik nafas panjang. ”Ini terkait insiden di gunung Kanon.”
”Insiden?”
Maxie mengangguk. ”Ya, saat kalian bertugas menyelidiki keberadaan Groudon di gunung tersebut. Bukankah katamu Flame terkena gumpalan lahar api yang besar hingga pingsan dan kau menggotongnya keluar dari gunung tersebut?”
”Ya, dia memang melindungi kami dari serangan Pokemon merah besar itu, namun sebagai akibatnya serangan tersebut mengenai tubuhnya dan melukainya hingga pingsan. Aku sangat khawatir mengenai luka yang dideritanya dan aku takut dia akan meninggal apabila pakaiannya...”
”Berhenti sampai disitu,” potong Maxie membuatku langsung terdiam. ”Kamu bilang lukanya parah kan?” aku mengangguk. ”Apa kau tak curiga?” tanya Maxie lagi.
”Curiga?”
”Iya, aku ingat kau mengatakan dia sempat dirawat selama sehari di kota Fortree. Apa kau tak heran mengapa lukanya bisa begitu cepat sembuh?”
Aku terkejut. Aku memikirkan pertanyaan tersebut. Entah mengapa aku baru memikirkannya. Kalau menurut Winona, luka yang dialami oleh Flame cukup serius, tapi bukannya Winona pintar dalam hal pengobatan jadi bisa saja wajar kalau Flame bisa sembuh hanya dalam waktu sehari.
”Lunar, kamu harus tahu satu hal,” Maxie meneruskan perkataannya tanpa memedulikan kebingunganku. ”Saat kalian kembali dari gunung Kanon, kami memeriksa tubuh Flame. Kamu tahu apa yang kami temukan?”
Aku menggeleng. Aku memang tidak tahu. Sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan oleh Maxie? Aku semakin penasaran dibuatnya.
”Kami menemukan.... tak ada satu pun bekas luka bakar!”
Apa? Apa benar yang dikatakan Maxie? Hal itu mustahil terjadi. Bila memang sekembalinya kami dari gunung Kanon Flame diperiksa, pasti akan ditemukan bekas luka bakar di tubuhnya. Mana mungkin bekas luka itu bisa hilang dalam sehari?
”Kalau hal yang dialami Flame terjadi padamu,” Maxie meneruskan, ”kamu mungkin akan koma selama satu bulan lebih dengan meninggalkan bekas luka bakar yang mengerikan. Bahkan, kamu bisa saja mati. Panas gunung berapi macam gunung Kanon melebihi seratus derajat celcius. Apabila tersentuh laharnya dan kemudian langsung menyelamatkan diri mungkin tidak akan terjadi luka kritis. Namun apabila lahar itu bertahan pada tubuhmu, tentu saja tubuhmu akan melepuh dan bahkan hancur. Bukankah kamu bilang kamu berusaha keras menyingkirkan gumpalan lahar yang menempel di tubuh Flame? Bila itu benar, maka seharusnya Flame sudah mati.”
”Tuan Maxie, tolong hentikan... ” aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku. ”Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada Flame?”
Maxie terdiam. Sepertinya dia terkejut melihat keberanianku. ”Baiklah, kupikir aku terlalu bertele-tele, lebih baik aku langsung ke pokok permasalahan,” jawab Maxie tenang. ”Apa Flame pernah bercerita padamu mengenai pengalaman buruknya saat kecil?”
”Mengenai Flareon?” aku mencoba menebak.
”Bukan, tapi mengenai dia pernah membakar seorang anak di pulau Cinnabar.”
”Mak...maksud Tuan... Flame benar-benar...”
”Aku tak yakin…” sela Maxie pelan. ”Yang jelas tubuhnya berbeda dengan tubuh orang-orang normal. Dulunya dia adalah objek penelitian.”
Objek… penelitian?
Aku berdiri menghadap Maxie yang duduk di kursinya. Beliau tampak mengamati Blue Orb yang kuberikan waktu itu dengan sangat seksama. Sudah sepuluh menit aku berdiri di depannya dan Maxie belum juga mengucapkan sepatah katapun. Sepertinya beliau begitu tertarik dengan Blue Orb di tangannya sehingga tak memedulikan keberadaanku.
”Ada apa Tuan Maxie memanggilku?” tanyaku memecah kebuntuan.
”Oh, maafkan aku Lunar,” jawab Maxie. ”Aku memang pernah memegang Red Orb, tapi aku tak menyangka Blue Orb ini begitu indah. Aku patut berterima kasih padamu dan Flame karena sudah membawakan bola yang sangat berharga ini padaku. Kita sudah mendapatkan Kyogre, dan ditambah Blue Orb ini, Tim Aqua sudah bukan penghalang lagi bagi kita.”
”Tapi Tuan Maxie,” selaku tiba-tiba. ”Melon mengatakan kalau Tim Aqua berniat menyerang kapal selam kita untuk merebut Kyogre. Beruntung dia berhasil merusak kapal selam mereka. Kupikir mereka akan terus berusaha merebut Kyogre.”
”Tenang saja Lunar, tak perlu takut dengan itu,” jawab Maxie santai. ”Kita tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan Groudon, dan tentu saja itu berarti kita tinggal selangkah lagi menggapai tujuan kita. Karena itulah, aku akan kembali menugaskanmu bersama Flame untuk menyelidiki gua Terra.”
”Tugas lagi?” aku terperangah. Maxie kembali memberikan tugas padaku dan Flame? Bukankah kami baru saja kembali dari tugas di rute 103?
”Iya, maafkan aku Lunar bila terkesan membebani kalian. Tapi kalianlah yang terbaik yang bisa melakukan hal ini. Kuharap kalian mau melakukannya.”
”Te...tentu saja!” jawabku menutupi keenggananku. ”Demi Groudon, kami akan berjuang keras.”
”Baiklah, aku suka melihat semangatmu itu,” sahut Maxie sambil tersenyum. ”Tujuan kalian berikutnya adalah gua Granit yang ada di kota Dewford. Selidiki gua itu.”
”Siap laksanakan!” jawabku mantap.
”Tapi Lunar,” ujar Maxie kemudian. ”Aku memanggilmu kesini bukan hanya karena tugas itu, melainkan aku ingin membicarakan mengenai Flame.”
”Flame? Ada apa dengan Flame?” tanyaku penasaran.
”Itulah kenapa aku hanya memanggilmu saja, kupikir Flame tak usah mendengar hal ini,” jawab Maxie menarik nafas panjang. ”Ini terkait insiden di gunung Kanon.”
”Insiden?”
Maxie mengangguk. ”Ya, saat kalian bertugas menyelidiki keberadaan Groudon di gunung tersebut. Bukankah katamu Flame terkena gumpalan lahar api yang besar hingga pingsan dan kau menggotongnya keluar dari gunung tersebut?”
”Ya, dia memang melindungi kami dari serangan Pokemon merah besar itu, namun sebagai akibatnya serangan tersebut mengenai tubuhnya dan melukainya hingga pingsan. Aku sangat khawatir mengenai luka yang dideritanya dan aku takut dia akan meninggal apabila pakaiannya...”
”Berhenti sampai disitu,” potong Maxie membuatku langsung terdiam. ”Kamu bilang lukanya parah kan?” aku mengangguk. ”Apa kau tak curiga?” tanya Maxie lagi.
”Curiga?”
”Iya, aku ingat kau mengatakan dia sempat dirawat selama sehari di kota Fortree. Apa kau tak heran mengapa lukanya bisa begitu cepat sembuh?”
Aku terkejut. Aku memikirkan pertanyaan tersebut. Entah mengapa aku baru memikirkannya. Kalau menurut Winona, luka yang dialami oleh Flame cukup serius, tapi bukannya Winona pintar dalam hal pengobatan jadi bisa saja wajar kalau Flame bisa sembuh hanya dalam waktu sehari.
”Lunar, kamu harus tahu satu hal,” Maxie meneruskan perkataannya tanpa memedulikan kebingunganku. ”Saat kalian kembali dari gunung Kanon, kami memeriksa tubuh Flame. Kamu tahu apa yang kami temukan?”
Aku menggeleng. Aku memang tidak tahu. Sebenarnya apa sih yang ingin dikatakan oleh Maxie? Aku semakin penasaran dibuatnya.
”Kami menemukan.... tak ada satu pun bekas luka bakar!”
Apa? Apa benar yang dikatakan Maxie? Hal itu mustahil terjadi. Bila memang sekembalinya kami dari gunung Kanon Flame diperiksa, pasti akan ditemukan bekas luka bakar di tubuhnya. Mana mungkin bekas luka itu bisa hilang dalam sehari?
”Kalau hal yang dialami Flame terjadi padamu,” Maxie meneruskan, ”kamu mungkin akan koma selama satu bulan lebih dengan meninggalkan bekas luka bakar yang mengerikan. Bahkan, kamu bisa saja mati. Panas gunung berapi macam gunung Kanon melebihi seratus derajat celcius. Apabila tersentuh laharnya dan kemudian langsung menyelamatkan diri mungkin tidak akan terjadi luka kritis. Namun apabila lahar itu bertahan pada tubuhmu, tentu saja tubuhmu akan melepuh dan bahkan hancur. Bukankah kamu bilang kamu berusaha keras menyingkirkan gumpalan lahar yang menempel di tubuh Flame? Bila itu benar, maka seharusnya Flame sudah mati.”
”Tuan Maxie, tolong hentikan... ” aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku. ”Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada Flame?”
Maxie terdiam. Sepertinya dia terkejut melihat keberanianku. ”Baiklah, kupikir aku terlalu bertele-tele, lebih baik aku langsung ke pokok permasalahan,” jawab Maxie tenang. ”Apa Flame pernah bercerita padamu mengenai pengalaman buruknya saat kecil?”
”Mengenai Flareon?” aku mencoba menebak.
”Bukan, tapi mengenai dia pernah membakar seorang anak di pulau Cinnabar.”
”Mak...maksud Tuan... Flame benar-benar...”
”Aku tak yakin…” sela Maxie pelan. ”Yang jelas tubuhnya berbeda dengan tubuh orang-orang normal. Dulunya dia adalah objek penelitian.”
Objek… penelitian?
Scene 110: Objek Penelitian
”Aku tak yakin…” sela Maxie pelan. ”Yang jelas tubuhnya berbeda dengan tubuh orang-orang normal. Dulunya dia adalah objek penelitian.”
“Objek penelitian? Apa maksudnya?” tanyaku terkejut.
”Ya, kamu tak salah dengar, dia objek penelitian,” sahut Maxie. ”Aku tak tahu persis bagaimana kejadiannya, karena aku baru bertemu dengannya lagi ketika dia sudah remaja...
”Dia sangat cantik, dia begitu manis, persis seperti ibunya,” kenang Maxie seraya menatap bingkai kecil di mejanya, fotonya bersama keponakannya tersebut. Lelaki itu menghela napas panjang dan mulai bercerita…
“Pulau Cinnabar awalnya adalah pulau terpencil di selatan Kanto. Pulau ini awalnya tak berpenghuni karena berada tepat di kaki Gunung Cinnabar, gunung berapi aktif yang bisa meletus kapan saja.
Melihat kondisi tersebut, sekelompok ilmuwan dan peneliti menjadikan pulau ini sebagai lokasi penelitian mereka, yang berkaitan dengan kemampuan genetik Pokemon. Pulau ini juga menjadi salah satu pusat penelitian Pokemon api, mengingat di sana ada Gunung Cinnabar.
Penelitian yang berlangsung di pulau ini menciptakan kehidupan baru bagi pulau yang awalnya tak berpenghuni tersebut. Pemukiman pun terbentuk di Cinnabar, yang mayoritas didominasi oleh para ilmuwan dan peneliti. Pulau ini menjadi terkenal sebagai pusat penelitian Pokemon.
Salah satu penelitian yang dilakukan adalah penelitian mengenai regenerasi sel, dengan mengambil sampel dari Pokemon api. Tujuannya untuk menemukan pengobatan dari dalam sel, sehingga proses penyembuhan pada manusia terjadi lebih cepat.”
“Dan Flame menjadi objek penelitian itu?” tebakku menyela.
Maxie mengangguk. “Benar,” jawabnya. Dia lalu melanjutkan ceritanya. “Saat itu Flame masih bayi. Dia lahir dalam kondisi sakit-sakitan, bahkan beberapa dokter menyebut Flame takkan bertahan lama.
Para ilmuwan lantas memutuskan untuk menjadikan Flame sebagai bahan eksperimen mereka. Saat itu otoritas ilmu pengetahuan menentang rencana tersebut. Mengingat percobaan pada manusia merupakan hal terlarang.
Namun para ilmuwan berhasil meyakinkan otoritas dengan menyebut eksperimen itu juga dilakukan demi menyelamatkan nyawa Flame. Eksperimen yang disebut dengan nama Project Flame itu pun dilakukan, dengan dikepalai langsung oleh adikku, ayahnya Flame.
Eksperimen itu berhasil, tapi menghasilkan efek yang mengerikan. Laboratorium meledak dan terbakar, semua peneliti di dalam meninggal, termasuk ayah Flame. Anehnya, Flame ditemukan selamat di tengah reruntuhan, tanpa sedikit pun luka di tubuhnya.”
“Efek yang mengerikan? Apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
Maxie menggeleng. “Aku tidak tahu pasti. Karena semua orang di sana meninggal dalam ledakan tersebut. Hanya Flame yang selamat.”
“Namun,” sambung Maxie, “Profesor Blaine, salah seorang petinggi otoritas yang menyelidiki insiden itu menemukan kenyataan yang mengerikan tentang kondisi Flame.”
“Kenyataan apa?” tanyaku lagi.
“Kenyataan bahwa tubuh Flame bisa mengeluarkan api secara tak terduga,” jawab Maxie. “Dia memiliki kemampuan seperti pyrokinesis.”
“Seperti saat dia membakar kota seperti yang diceritakannya?” terkaku.
Maxie mengangguk dan berkata, “Karena itulah, Blaine memutuskan merawat Flame, dan meneliti tubuhnya. Rupanya, eksperimen waktu itu membuat tubuh Flame dapat menyesuaikan diri terhadap panas, serta api bahkan magma sekalipun. Sel tubuhnya dapat meregenerasi sendiri terhadap luka-luka bakar. Biarpun begitu tubuh manusia normalnya masih tidak terbiasa sehingga dia pingsan tak sadarkan diri saat di gunung Kanon.
“Aku menganggap ini sebagai kelebihan khusus yang membuatku tak ragu mengajaknya bergabung dengan Tim Magma. Aku bahkan tak ragu mengirimkannya bersamamu dan Clown ke gunung Kanon, padahal sudah jelas gunung itu akan meletus. Logikanya, sebagai seorang paman yang menyayangi keponakannya, aku takkan melakukan hal yang bisa mencelakakan Flame seperti.
“Aku tak peduli dengan dirimu dan juga Clown, karena kalian telah melakukan kesalahan yang membuat kita semua terpaksa pergi dari gunung Chimney. Anggap saja tugas itu sebagai hukuman dariku, tapi ternyata kalian berhasil melaksanakannya dengan baik. Aku menjadi salut dan bangga pada kalian dan memutuskan memberikan liburan yang indah. Namun, ternyata Clown adalah keponakan Archie yang menjadi mata-mata disini. Aku mulai ragu, bahkan padamu...”
Aku terdiam mendengarkan uraian panjang dari Maxie. Jadi itulah yang terjadi sebenarnya? Jadi benar ucapan Volta yang mengatakan kalau Maxie menghukum kami bertiga dengan cara lain?
”Lunar,” panggil Maxie pelan, ”Flame adalah satu-satunya keponakanku. Dia satu-satunya keluargaku. Aku ingin kamu bisa menjaganya dengan baik selama dalam tugas. Kamu harus tahu satu hal, biarpun Flame hampir kebal terhadap serangan api dan panas, tetapi dia juga memiliki kelemahan. Kelemahannya itu adalah... air dingin ataupun serangan bertipe air lainnya.”
”Air dingin?”
”Kamu tahu kan kalau api bisa dipadamkan dengan air bahkan yang tidak dingin sekalipun. Karena itulah, usahakan agar Flame tidak terkena serangan bertipe air apapun itu. Aku takut itu bisa mematikan sel-sel-nya yang unik, dan dia bisa meninggal. Bahkan oleh serangan kecil sekalipun... dia hanya bertahan pada air-air yang tenang.”
“Objek penelitian? Apa maksudnya?” tanyaku terkejut.
”Ya, kamu tak salah dengar, dia objek penelitian,” sahut Maxie. ”Aku tak tahu persis bagaimana kejadiannya, karena aku baru bertemu dengannya lagi ketika dia sudah remaja...
”Dia sangat cantik, dia begitu manis, persis seperti ibunya,” kenang Maxie seraya menatap bingkai kecil di mejanya, fotonya bersama keponakannya tersebut. Lelaki itu menghela napas panjang dan mulai bercerita…
“Pulau Cinnabar awalnya adalah pulau terpencil di selatan Kanto. Pulau ini awalnya tak berpenghuni karena berada tepat di kaki Gunung Cinnabar, gunung berapi aktif yang bisa meletus kapan saja.
Melihat kondisi tersebut, sekelompok ilmuwan dan peneliti menjadikan pulau ini sebagai lokasi penelitian mereka, yang berkaitan dengan kemampuan genetik Pokemon. Pulau ini juga menjadi salah satu pusat penelitian Pokemon api, mengingat di sana ada Gunung Cinnabar.
Penelitian yang berlangsung di pulau ini menciptakan kehidupan baru bagi pulau yang awalnya tak berpenghuni tersebut. Pemukiman pun terbentuk di Cinnabar, yang mayoritas didominasi oleh para ilmuwan dan peneliti. Pulau ini menjadi terkenal sebagai pusat penelitian Pokemon.
Salah satu penelitian yang dilakukan adalah penelitian mengenai regenerasi sel, dengan mengambil sampel dari Pokemon api. Tujuannya untuk menemukan pengobatan dari dalam sel, sehingga proses penyembuhan pada manusia terjadi lebih cepat.”
“Dan Flame menjadi objek penelitian itu?” tebakku menyela.
Maxie mengangguk. “Benar,” jawabnya. Dia lalu melanjutkan ceritanya. “Saat itu Flame masih bayi. Dia lahir dalam kondisi sakit-sakitan, bahkan beberapa dokter menyebut Flame takkan bertahan lama.
Para ilmuwan lantas memutuskan untuk menjadikan Flame sebagai bahan eksperimen mereka. Saat itu otoritas ilmu pengetahuan menentang rencana tersebut. Mengingat percobaan pada manusia merupakan hal terlarang.
Namun para ilmuwan berhasil meyakinkan otoritas dengan menyebut eksperimen itu juga dilakukan demi menyelamatkan nyawa Flame. Eksperimen yang disebut dengan nama Project Flame itu pun dilakukan, dengan dikepalai langsung oleh adikku, ayahnya Flame.
Eksperimen itu berhasil, tapi menghasilkan efek yang mengerikan. Laboratorium meledak dan terbakar, semua peneliti di dalam meninggal, termasuk ayah Flame. Anehnya, Flame ditemukan selamat di tengah reruntuhan, tanpa sedikit pun luka di tubuhnya.”
“Efek yang mengerikan? Apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
Maxie menggeleng. “Aku tidak tahu pasti. Karena semua orang di sana meninggal dalam ledakan tersebut. Hanya Flame yang selamat.”
“Namun,” sambung Maxie, “Profesor Blaine, salah seorang petinggi otoritas yang menyelidiki insiden itu menemukan kenyataan yang mengerikan tentang kondisi Flame.”
“Kenyataan apa?” tanyaku lagi.
“Kenyataan bahwa tubuh Flame bisa mengeluarkan api secara tak terduga,” jawab Maxie. “Dia memiliki kemampuan seperti pyrokinesis.”
“Seperti saat dia membakar kota seperti yang diceritakannya?” terkaku.
Maxie mengangguk dan berkata, “Karena itulah, Blaine memutuskan merawat Flame, dan meneliti tubuhnya. Rupanya, eksperimen waktu itu membuat tubuh Flame dapat menyesuaikan diri terhadap panas, serta api bahkan magma sekalipun. Sel tubuhnya dapat meregenerasi sendiri terhadap luka-luka bakar. Biarpun begitu tubuh manusia normalnya masih tidak terbiasa sehingga dia pingsan tak sadarkan diri saat di gunung Kanon.
“Aku menganggap ini sebagai kelebihan khusus yang membuatku tak ragu mengajaknya bergabung dengan Tim Magma. Aku bahkan tak ragu mengirimkannya bersamamu dan Clown ke gunung Kanon, padahal sudah jelas gunung itu akan meletus. Logikanya, sebagai seorang paman yang menyayangi keponakannya, aku takkan melakukan hal yang bisa mencelakakan Flame seperti.
“Aku tak peduli dengan dirimu dan juga Clown, karena kalian telah melakukan kesalahan yang membuat kita semua terpaksa pergi dari gunung Chimney. Anggap saja tugas itu sebagai hukuman dariku, tapi ternyata kalian berhasil melaksanakannya dengan baik. Aku menjadi salut dan bangga pada kalian dan memutuskan memberikan liburan yang indah. Namun, ternyata Clown adalah keponakan Archie yang menjadi mata-mata disini. Aku mulai ragu, bahkan padamu...”
Aku terdiam mendengarkan uraian panjang dari Maxie. Jadi itulah yang terjadi sebenarnya? Jadi benar ucapan Volta yang mengatakan kalau Maxie menghukum kami bertiga dengan cara lain?
”Lunar,” panggil Maxie pelan, ”Flame adalah satu-satunya keponakanku. Dia satu-satunya keluargaku. Aku ingin kamu bisa menjaganya dengan baik selama dalam tugas. Kamu harus tahu satu hal, biarpun Flame hampir kebal terhadap serangan api dan panas, tetapi dia juga memiliki kelemahan. Kelemahannya itu adalah... air dingin ataupun serangan bertipe air lainnya.”
”Air dingin?”
”Kamu tahu kan kalau api bisa dipadamkan dengan air bahkan yang tidak dingin sekalipun. Karena itulah, usahakan agar Flame tidak terkena serangan bertipe air apapun itu. Aku takut itu bisa mematikan sel-sel-nya yang unik, dan dia bisa meninggal. Bahkan oleh serangan kecil sekalipun... dia hanya bertahan pada air-air yang tenang.”
Scene 111: Pertanyaan dan Empati
Di rumah sakit kota Dewford
Aku terduduk di samping sebuah tempat tidur. Di tempat tidur itu terbaring seorang gadis yang sangat kusayangi. Namanya Flame, dan dia sekarang sedang sekarat. Sudah seminggu lebih aku berada di kota ini setia menemani dalam ketidaksadarannya. Ini semua memang salahku, andai saja aku bisa lebih waspada, pasti serangan hydro canon dari Blastoise tidak akan mengenai Flame dan membuatnya koma. Maafkan aku Tuan Maxie, aku gagal menjaga keponakanmu tersayang.
”Kak Lunar, makanlah dulu,” terdengar suara perempuan di belakangku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri di ambang pintu. Dia adalah Rose, rekan Bima, admin Tim Rocket yang telah mencelakai Flame.
”Aku tidak berselera makan,” jawabku datar. ”Makan saja duluan...”
”Tapi kak Lunar sudah tiga hari tidak makan...
”Aku bilang tidak mau ya tidak mau!” bentakku keras. Rose tampak terkejut mendapati sahutanku yang begitu kasar itu.
”Ba... baiklah...” jawabnya ketakutan. ”Kalau kakak mau makan bilang saja ya?” Setelah mengatakan itu Rose lalu pergi meninggalkan ruangan.
Aku terdiam. Kuamati wajah manis Flame yang belum juga membuka matanya. Kugenggam erat telapak tangannya yang dingin, berharap dia akan segera bangun. Dokter mengatakan kalau keadaan Flame sangat membahayakan. Beruntung aku segera membawanya ke rumah sakit. Dokter sendiri menyatakan keheranannya dengan keadaan yang dialami oleh Flame. Melalui pemeriksaan laboratorium, diketahui bahwa sel tubuh Flame berbeda dengan sel tubuh manusia biasa. Ya, itu mungkin benar, mengingat eksperimen saat dia bayi dulu telah mengubah selnya.
Kini aku tahu kenapa Flame sangat suka meminum Soda Pop. Aku pun tahu kenapa dia mengatakan tidak pernah merasakan panas saat berada di dalam gunung Chimney yang penuh lava mendidih serta kenapa dia tidak berenang di pantai Lilycove. Eksperimen itu, kemampuan itu yang menjadikannya seperti ini. Entah itu anugerah... atau kutukan.
”Fla...Fla...” seekor Pokemon kecil mirip kucing bergerak-gerak menggosokkan tubuhnya di kakiku. Tampaknya Flareon milik Flame itu ingin segera bisa bermain dengan majikannya lagi. Aku lalu membelai leher Flareon yang berbulu mengembang dengan lembut. Kuangkat dia dan kuletakkan di pangkuanku. Flareon menurut dan saat dia melihat Flame terbaring di tempat tidur, matanya langsung menatap sahabat manusianya itu lekat.
”Flame akan segera sadar, aku yakin itu,” ujarku menenangkan Flareon yang mulai berkaca-kaca. ”Dia akan kembali bermain denganmu.”
”Kak Lunar, maafkan aku,” tiba-tiba terdengar suara laki-laki dibelakangku. Aku menoleh dan mendapati lelaki yang mengklaim sebagai admin Tim Rocket Hoenn berdiri disana. ”Aku tak menyangka kalau seranganku itu fatal dan bisa membunuh temanmu,” sesal Bima.
”Sudahlah, tak ada yang perlu kau sesali,” sahutku pelan. ”Bukan salahmu bila kamu mau membalas dendam. Wajar bila kamu melakukan hal itu. Aku pernah bertemu dengan seseorang yang menaruh dendam pada Tim Aqua dan dia bisa melakukan apa saja bahkan mempermainkan perasaan orang lain untuk itu. Kupikir yang kamu lakukan adalah hal yang wajar, meskipun Flame yang menjadi korbannya.”
”Maafkan aku kak Lunar, harusnya aku tak menyerang kalian begitu saja.”
”Kamu ingin membalaskan kematian Blastoise yang telah menolongmu bukan?” tanyaku kemudian. Bima mengangguk. Aku menarik nafas panjang. ”Kutanyakan padamu, apakah Blastoise itu menginginkanmu untuk melakukan balas dendam atas kematiannya?”
Bima terdiam. Dia menundukkan kepalanya lama, seperti sedang berpikir. ”Aku tidak tahu,” jawabnya sambil mendongakkan kepala. ”Kupikir dia tidak mau...”
”Benar, aku juga memikirkan hal itu,” sahutku lirih. ”Blastoise menolongmu pasti karena ingin agar kau tetap hidup dan menjalani hidupmu dengan baik, menjadi orang yang berguna, bukan untuk membalaskan dendam yang sama sekali tak ada gunanya ini. Entahlah, aku bukan orang yang bijak, aku hanya mencoba menempatkan diriku pada posisi Blastoise... dan tentunya pada posisimu. Aku mencoba berempati.”
”Empati?” Bima bertanya.
Aku mengangguk. “Iya, itulah yang disebut dengan empati, menempatkan diri pada posisi orang lain, berusaha merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain untuk memahami orang tersebut.”
Bima terdiam. Sepertinya dia berusaha mencerna kata-kataku. Terus terang saja, aku sendiri tidak begitu mengerti dengan apa yang kukatakan.
”Tak seharusnya Tim Magma membunuh Blastoise milikmu, hal seperti itu tak seharusnya dilakukan. Itulah yang menjadikan Tim Magma disebut sebagai tim penjahat, walaupun mereka memiliki tujuan menciptakan perdamaian.” Aku berhenti bicara lalu menatap wajah Bima. ”Bima, atas nama Tim Magma, aku meminta maaf kepadamu. Maafkan bila kami telah berlaku jahat padamu.”
“Kak Lunar....” Bima terlihat terharu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dialah Bima, warga kota Dewford yang menjadi admin Tim Rocket di Hoenn demi membalaskan dendamnya atas kematian Blastoise sahabatnya yang dibunuh oleh Tim Magma saat dia kecil. Blastoise itu meninggalkan telur yang kemudian menetas dan menjadi Blastoise miliknya sekarang, yang telah menyerang Flame.
Karena dendam, manusia bisa melakukan apa saja. Karena dendam, manusia bisa menjadi lupa dan mengabaikan orang lain. Disini aku bisa menyimpulkan, bahwa dendam hanya akan melahirkan dendam.
Aku juga menyimpulkan satu hal, yaitu tentang ambisi. Demi sebuah ambisi yang ingin diraih, terkadang segala cara ditempuh, termasuk mengorbankan kepentingan orang lain, merugikan orang lain, bahkan melukai orang lain. Sampai disini aku mulai memikirkan kembali keputusanku bergabung dengan Tim Magma. Entah mengapa kemudian timbul keinginan di hatiku untuk... meninggalkan Tim Magma.
Aku terduduk di samping sebuah tempat tidur. Di tempat tidur itu terbaring seorang gadis yang sangat kusayangi. Namanya Flame, dan dia sekarang sedang sekarat. Sudah seminggu lebih aku berada di kota ini setia menemani dalam ketidaksadarannya. Ini semua memang salahku, andai saja aku bisa lebih waspada, pasti serangan hydro canon dari Blastoise tidak akan mengenai Flame dan membuatnya koma. Maafkan aku Tuan Maxie, aku gagal menjaga keponakanmu tersayang.
”Kak Lunar, makanlah dulu,” terdengar suara perempuan di belakangku. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri di ambang pintu. Dia adalah Rose, rekan Bima, admin Tim Rocket yang telah mencelakai Flame.
”Aku tidak berselera makan,” jawabku datar. ”Makan saja duluan...”
”Tapi kak Lunar sudah tiga hari tidak makan...
”Aku bilang tidak mau ya tidak mau!” bentakku keras. Rose tampak terkejut mendapati sahutanku yang begitu kasar itu.
”Ba... baiklah...” jawabnya ketakutan. ”Kalau kakak mau makan bilang saja ya?” Setelah mengatakan itu Rose lalu pergi meninggalkan ruangan.
Aku terdiam. Kuamati wajah manis Flame yang belum juga membuka matanya. Kugenggam erat telapak tangannya yang dingin, berharap dia akan segera bangun. Dokter mengatakan kalau keadaan Flame sangat membahayakan. Beruntung aku segera membawanya ke rumah sakit. Dokter sendiri menyatakan keheranannya dengan keadaan yang dialami oleh Flame. Melalui pemeriksaan laboratorium, diketahui bahwa sel tubuh Flame berbeda dengan sel tubuh manusia biasa. Ya, itu mungkin benar, mengingat eksperimen saat dia bayi dulu telah mengubah selnya.
Kini aku tahu kenapa Flame sangat suka meminum Soda Pop. Aku pun tahu kenapa dia mengatakan tidak pernah merasakan panas saat berada di dalam gunung Chimney yang penuh lava mendidih serta kenapa dia tidak berenang di pantai Lilycove. Eksperimen itu, kemampuan itu yang menjadikannya seperti ini. Entah itu anugerah... atau kutukan.
”Fla...Fla...” seekor Pokemon kecil mirip kucing bergerak-gerak menggosokkan tubuhnya di kakiku. Tampaknya Flareon milik Flame itu ingin segera bisa bermain dengan majikannya lagi. Aku lalu membelai leher Flareon yang berbulu mengembang dengan lembut. Kuangkat dia dan kuletakkan di pangkuanku. Flareon menurut dan saat dia melihat Flame terbaring di tempat tidur, matanya langsung menatap sahabat manusianya itu lekat.
”Flame akan segera sadar, aku yakin itu,” ujarku menenangkan Flareon yang mulai berkaca-kaca. ”Dia akan kembali bermain denganmu.”
”Kak Lunar, maafkan aku,” tiba-tiba terdengar suara laki-laki dibelakangku. Aku menoleh dan mendapati lelaki yang mengklaim sebagai admin Tim Rocket Hoenn berdiri disana. ”Aku tak menyangka kalau seranganku itu fatal dan bisa membunuh temanmu,” sesal Bima.
”Sudahlah, tak ada yang perlu kau sesali,” sahutku pelan. ”Bukan salahmu bila kamu mau membalas dendam. Wajar bila kamu melakukan hal itu. Aku pernah bertemu dengan seseorang yang menaruh dendam pada Tim Aqua dan dia bisa melakukan apa saja bahkan mempermainkan perasaan orang lain untuk itu. Kupikir yang kamu lakukan adalah hal yang wajar, meskipun Flame yang menjadi korbannya.”
”Maafkan aku kak Lunar, harusnya aku tak menyerang kalian begitu saja.”
”Kamu ingin membalaskan kematian Blastoise yang telah menolongmu bukan?” tanyaku kemudian. Bima mengangguk. Aku menarik nafas panjang. ”Kutanyakan padamu, apakah Blastoise itu menginginkanmu untuk melakukan balas dendam atas kematiannya?”
Bima terdiam. Dia menundukkan kepalanya lama, seperti sedang berpikir. ”Aku tidak tahu,” jawabnya sambil mendongakkan kepala. ”Kupikir dia tidak mau...”
”Benar, aku juga memikirkan hal itu,” sahutku lirih. ”Blastoise menolongmu pasti karena ingin agar kau tetap hidup dan menjalani hidupmu dengan baik, menjadi orang yang berguna, bukan untuk membalaskan dendam yang sama sekali tak ada gunanya ini. Entahlah, aku bukan orang yang bijak, aku hanya mencoba menempatkan diriku pada posisi Blastoise... dan tentunya pada posisimu. Aku mencoba berempati.”
”Empati?” Bima bertanya.
Aku mengangguk. “Iya, itulah yang disebut dengan empati, menempatkan diri pada posisi orang lain, berusaha merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain untuk memahami orang tersebut.”
Bima terdiam. Sepertinya dia berusaha mencerna kata-kataku. Terus terang saja, aku sendiri tidak begitu mengerti dengan apa yang kukatakan.
”Tak seharusnya Tim Magma membunuh Blastoise milikmu, hal seperti itu tak seharusnya dilakukan. Itulah yang menjadikan Tim Magma disebut sebagai tim penjahat, walaupun mereka memiliki tujuan menciptakan perdamaian.” Aku berhenti bicara lalu menatap wajah Bima. ”Bima, atas nama Tim Magma, aku meminta maaf kepadamu. Maafkan bila kami telah berlaku jahat padamu.”
“Kak Lunar....” Bima terlihat terharu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dialah Bima, warga kota Dewford yang menjadi admin Tim Rocket di Hoenn demi membalaskan dendamnya atas kematian Blastoise sahabatnya yang dibunuh oleh Tim Magma saat dia kecil. Blastoise itu meninggalkan telur yang kemudian menetas dan menjadi Blastoise miliknya sekarang, yang telah menyerang Flame.
Karena dendam, manusia bisa melakukan apa saja. Karena dendam, manusia bisa menjadi lupa dan mengabaikan orang lain. Disini aku bisa menyimpulkan, bahwa dendam hanya akan melahirkan dendam.
Aku juga menyimpulkan satu hal, yaitu tentang ambisi. Demi sebuah ambisi yang ingin diraih, terkadang segala cara ditempuh, termasuk mengorbankan kepentingan orang lain, merugikan orang lain, bahkan melukai orang lain. Sampai disini aku mulai memikirkan kembali keputusanku bergabung dengan Tim Magma. Entah mengapa kemudian timbul keinginan di hatiku untuk... meninggalkan Tim Magma.
Scene 112: Mimpi Flame
”Lunar... Lunar....”
Terdengar suara lirih seorang wanita yang sangat kukenal. Tetapi kenapa semuanya gelap?
”Lunar...Lunar...”
Suara itu kembali terdengar dan kali ini aku terbangun. Rupanya aku tertidur sambil terduduk di atas kursi sementara kepalaku bersandar pada tepi tempat tidur tempat Flame berbaring. Sepertinya aku terlalu lelah hingga tak menyadari kalau aku tertidur.
”Lunar...Lunar...” Flame mengeluarkan suara pelan. Dia... dia sudah sadar?
”Flame! Kau sudah sadar?” aku berseru girang. Kedua tanganku langsung bergerak menggenggam tangan kanannya erat.
Perlahan tapi pasti Flame mulai membuka matanya. Dia melihat sekeliling sampai kemudian pandangannya berhenti padaku.
”Lunar... aku ada dimana?” tanyanya lemah. “Kenapa aku bisa ada disini?”
“Kau... kau ada di rumah sakit....” jawabku tak kuasa menahan haru. Satu tetes air meluncur di pipiku. ”Kau sudah tak sadarkan diri selama seminggu lebih, tak tahukah kau betapa aku dan Flareon merindukanmu?”
Flame tersenyum lemah. Tangan kirinya bergerak perlahan dan menggenggam kedua tanganku yang menggenggam tangan kanannya.
”Lunar, apa aku merepotkanmu?” tanyanya lirih.
Aku menggeleng cepat. ”Ten... tentu saja tidak! Aku sangat senang kau akhirnya sadar.”
”Benarkah?” tanyanya lagi. Aku lalu mengangguk mengiyakan. ”Lunar, tahukah kau, aku bermimpi.”
”Mimpi? Apa yang kau impikan?”
”Aku bermimpi berada di sebuah taman bunga yang sangat indah bersamamu dan juga Volta. Kita berlarian bersama, bermain dengan Pokemon kita, dan menikmati indahnya alam sekitar.”
”Lalu?” tanyaku mencoba tertarik.
”Tapi... tapi tiba-tiba Volta pergi,” lanjut Flame. ”Tiba-tiba Volta pergi menjauh dan dia benar-benar pergi, meninggalkan kita berdua saja.”
Volta? Kalau Volta ada dalam mimpi Flame, itu berarti dia masih memikirkannya. Aku tak menyangka dia masih saja memikirkan pengkhianat itu.
Tiba-tiba saja genggaman tangan Flame bertambah kuat pada kedua tanganku. “Lunar, kamu tidak akan pergi meninggalkanku juga bukan?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja tidak, memangnya kenapa?”
”Karena...” Flame terdiam sejenak, lalu melanjutkan, ”karena dalam mimpiku itu kamu juga pergi meninggalkanku. Kamu pergi begitu saja dan meninggalkanku seorang diri. Aku menangis karena kesepian sampai aku menyadari aku telah terbaring disini.”
Benarkah? Benarkah apa yang ada dalam mimpi Flame?
Aku lalu tersenyum. Kulepaskan genggaman tangannya lalu kebelai rambut merahnya dengan lembut. ”Flame, mimpi hanya bunga tidur semata. Lagipula kau tak sadarkan diri sudah cukup lama, wajar bila bermimpi yang aneh-aneh. Yang pasti, aku takkan meninggalkanmu seorang diri. Kita bersahabat bukan?”
Flame mengangguk pelan. ”Ya, kita selalu bersahabat. Terima kasih atas pengertianmu selama ini. Kamu adalah salah satu sahabat terbaik yang pernah kumiliki.”
“Kau pun demikian Flame, kau sahabat terbaik yang pernah kumiliki.”
Aku menatap wajah Flame lekat. Kurasakan perasaan yang sangat menyenangkan di dadaku. Kurasakan kegembiraan tiada tara setelah melihat Flame siuman. Aku merasa bahagia dan tidak ingin kehilangan dia lagi. Aku tak ingin berpisah dengannya, aku ingin selalu bersamanya. Melihat senyumannya, memandang wajah manisnya, mendengarkan tawa renyahnya.... tunggu dulu, apa maksud perkataanku ini? Kenapa aku bisa merasakan perasaan ini? Apakah mungkin aku telah... jatuh cinta kepadanya?
*
Aku dan Flame telah berdiri di depan helikopter kami. Hari ini kami memang akan kembali ke Magmarine. Sudah dua minggu kami berada disini dan pastinya kami telah membuat Maxie khawatir mengingat aku mematikan Magmavonku serta tidak memberi kabar kepada Tabitha. Aku memang sengaja melakukan hal itu karena aku takut mereka akan khawatir bila mengetahui keadaan Flame.
”Maafkan kami, kak Lunar... kak Flame,” ujar Bima yang bersama dengan Rose mengantarkan kepergian kami berdua. ”Kami benar-benar menyesal.”
”Sudahlah, lupakan hal itu. Lagipula Flame sudah sadar,” sahutku. ”Saranku, lupakanlah dendammu dan mulailah lakukan hal-hal berguna yang kamu inginkan. Itu saja.”
”Tentu kak Lunar,” jawab Bima. ”Aku sudah melupakan dendamku pada Tim Magma dan sekarang aku akan berusaha untuk menjadi admin Tim Rocket yang baik.” Bima kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah benda kecil menyerupai lencana dengan gambar sarung tinju. Dia lalu mengulurkan benda itu padaku. ”Kak Lunar, kumohon terimalah lencana ini.”
”Lencana apa ini?” tanyaku penasaran. ”Dan... kenapa kamu memberikannya kepadaku?”
”Ini adalah lencana gym kota ini. Aku mencurinya dari Brawly. Dengan lencana ini kak Lunar bisa dengan mudah mengendalikan Pokemon nantinya. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf dan juga kenang-kenangan dari kami.”
”Kamu mencurinya?” tanyaku heran. Bima mengangguk dengan wajah polos.
”Wah, bakal ada penadah barang curian baru nih...” goda Flame.
Mendengar itu kami berempat kemudian tertawa bersamaan. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Flame, melihat wajahnya yang begitu ceria, wajahnya yang selalu kunantikan....
Terdengar suara lirih seorang wanita yang sangat kukenal. Tetapi kenapa semuanya gelap?
”Lunar...Lunar...”
Suara itu kembali terdengar dan kali ini aku terbangun. Rupanya aku tertidur sambil terduduk di atas kursi sementara kepalaku bersandar pada tepi tempat tidur tempat Flame berbaring. Sepertinya aku terlalu lelah hingga tak menyadari kalau aku tertidur.
”Lunar...Lunar...” Flame mengeluarkan suara pelan. Dia... dia sudah sadar?
”Flame! Kau sudah sadar?” aku berseru girang. Kedua tanganku langsung bergerak menggenggam tangan kanannya erat.
Perlahan tapi pasti Flame mulai membuka matanya. Dia melihat sekeliling sampai kemudian pandangannya berhenti padaku.
”Lunar... aku ada dimana?” tanyanya lemah. “Kenapa aku bisa ada disini?”
“Kau... kau ada di rumah sakit....” jawabku tak kuasa menahan haru. Satu tetes air meluncur di pipiku. ”Kau sudah tak sadarkan diri selama seminggu lebih, tak tahukah kau betapa aku dan Flareon merindukanmu?”
Flame tersenyum lemah. Tangan kirinya bergerak perlahan dan menggenggam kedua tanganku yang menggenggam tangan kanannya.
”Lunar, apa aku merepotkanmu?” tanyanya lirih.
Aku menggeleng cepat. ”Ten... tentu saja tidak! Aku sangat senang kau akhirnya sadar.”
”Benarkah?” tanyanya lagi. Aku lalu mengangguk mengiyakan. ”Lunar, tahukah kau, aku bermimpi.”
”Mimpi? Apa yang kau impikan?”
”Aku bermimpi berada di sebuah taman bunga yang sangat indah bersamamu dan juga Volta. Kita berlarian bersama, bermain dengan Pokemon kita, dan menikmati indahnya alam sekitar.”
”Lalu?” tanyaku mencoba tertarik.
”Tapi... tapi tiba-tiba Volta pergi,” lanjut Flame. ”Tiba-tiba Volta pergi menjauh dan dia benar-benar pergi, meninggalkan kita berdua saja.”
Volta? Kalau Volta ada dalam mimpi Flame, itu berarti dia masih memikirkannya. Aku tak menyangka dia masih saja memikirkan pengkhianat itu.
Tiba-tiba saja genggaman tangan Flame bertambah kuat pada kedua tanganku. “Lunar, kamu tidak akan pergi meninggalkanku juga bukan?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja tidak, memangnya kenapa?”
”Karena...” Flame terdiam sejenak, lalu melanjutkan, ”karena dalam mimpiku itu kamu juga pergi meninggalkanku. Kamu pergi begitu saja dan meninggalkanku seorang diri. Aku menangis karena kesepian sampai aku menyadari aku telah terbaring disini.”
Benarkah? Benarkah apa yang ada dalam mimpi Flame?
Aku lalu tersenyum. Kulepaskan genggaman tangannya lalu kebelai rambut merahnya dengan lembut. ”Flame, mimpi hanya bunga tidur semata. Lagipula kau tak sadarkan diri sudah cukup lama, wajar bila bermimpi yang aneh-aneh. Yang pasti, aku takkan meninggalkanmu seorang diri. Kita bersahabat bukan?”
Flame mengangguk pelan. ”Ya, kita selalu bersahabat. Terima kasih atas pengertianmu selama ini. Kamu adalah salah satu sahabat terbaik yang pernah kumiliki.”
“Kau pun demikian Flame, kau sahabat terbaik yang pernah kumiliki.”
Aku menatap wajah Flame lekat. Kurasakan perasaan yang sangat menyenangkan di dadaku. Kurasakan kegembiraan tiada tara setelah melihat Flame siuman. Aku merasa bahagia dan tidak ingin kehilangan dia lagi. Aku tak ingin berpisah dengannya, aku ingin selalu bersamanya. Melihat senyumannya, memandang wajah manisnya, mendengarkan tawa renyahnya.... tunggu dulu, apa maksud perkataanku ini? Kenapa aku bisa merasakan perasaan ini? Apakah mungkin aku telah... jatuh cinta kepadanya?
*
Aku dan Flame telah berdiri di depan helikopter kami. Hari ini kami memang akan kembali ke Magmarine. Sudah dua minggu kami berada disini dan pastinya kami telah membuat Maxie khawatir mengingat aku mematikan Magmavonku serta tidak memberi kabar kepada Tabitha. Aku memang sengaja melakukan hal itu karena aku takut mereka akan khawatir bila mengetahui keadaan Flame.
”Maafkan kami, kak Lunar... kak Flame,” ujar Bima yang bersama dengan Rose mengantarkan kepergian kami berdua. ”Kami benar-benar menyesal.”
”Sudahlah, lupakan hal itu. Lagipula Flame sudah sadar,” sahutku. ”Saranku, lupakanlah dendammu dan mulailah lakukan hal-hal berguna yang kamu inginkan. Itu saja.”
”Tentu kak Lunar,” jawab Bima. ”Aku sudah melupakan dendamku pada Tim Magma dan sekarang aku akan berusaha untuk menjadi admin Tim Rocket yang baik.” Bima kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah benda kecil menyerupai lencana dengan gambar sarung tinju. Dia lalu mengulurkan benda itu padaku. ”Kak Lunar, kumohon terimalah lencana ini.”
”Lencana apa ini?” tanyaku penasaran. ”Dan... kenapa kamu memberikannya kepadaku?”
”Ini adalah lencana gym kota ini. Aku mencurinya dari Brawly. Dengan lencana ini kak Lunar bisa dengan mudah mengendalikan Pokemon nantinya. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf dan juga kenang-kenangan dari kami.”
”Kamu mencurinya?” tanyaku heran. Bima mengangguk dengan wajah polos.
”Wah, bakal ada penadah barang curian baru nih...” goda Flame.
Mendengar itu kami berempat kemudian tertawa bersamaan. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Flame, melihat wajahnya yang begitu ceria, wajahnya yang selalu kunantikan....