Seorang lelaki tua berpakaian serba putih tampak bergerak tergesa-gesa di dalam sebuah rumah. Beberapa kali ini pandangannya menatap pada komputer jinjing yang ada di meja. Dia mengamati serius grafik gambar gunung berapi yang tampak di monitor. Matanya lantas terbelalak ketika bagian dalam gunung tersebut berubah warna menjadi merah. Diikuti dengan indikator angka yang meningkat cepat.
"Suhu ini.... suhu Groudon?" ujarnya pelan.
Scene 53: Continent Magmarine
Keenam helikopter Tim Magma mendarat di sebuah kapal selam besar yang tengah merapat di pantai utara Kota Fallarbor. Segera setelah mendarat, semua anggota tim masuk ke dalam kapal selam dan berkumpul di ruangan luas yang ada di tengah kapal selam. Tak butuh waktu lama bagi kami semua untuk membentuk barisan seperti yang kami lakukan di Magstadium.
”Semuanya, izinkan aku memperkenalkan sahabat baru kita.... Continent Magmarine!” Maxie membuka pertemuan itu setelah barisan terbentuk. Dia melihat barisan lantas melanjutkan, ”Mulai saat ini kita akan bermarkas di kapal selam Magmarine ini. Semua koordinasi tim dimulai dari meja kalian masing-masing. Jadi anggap saja kapal selam ini sebagai rumah kalian sendiri.”
Usai mengatakan itu Maxie berbalik dan berjalan meninggalkan mimbar diikuti Courtney. Sementara Tabitha menggantikannya maju ke mimbar.
”Baiklah, seperti yang kalian dengar tadi, mulai sekarang kapal inilah pusat komando kita,” ujar Tabitha. ”Ruangan kabin kalian telah dipersiapkan, jadi sekarang silakan melihat-lihat ruangan baru kalian. Pertemuan ini selesai dan menunggu perintah selanjutnya. Khusus untuk Elite Grunt, setelah pertemuan ini, harap datang ke ruangan Maxie. Cukup disini dulu dan bubar!”
Barisan rapi yang terbentuk dari kumpulan warna merah itu kemudian berantakan tak karuan. Para grunt segera berhamburan menjelajahi kapal selam besar itu mencari ruangan mereka masing-masing. Sementara aku, Flame dan Clown masih berdiri di tengah aula tersebut.
”Kira-kira apa yang akan dikatakan Maxie ya?” tanya Clown. ”Sepertinya dia akan marah besar setelah kegagalan kita ini dan akan menghukum kita.”
”Entahlah, aku tak tahu. Semoga saja dia tak memecat kita,” sahutku.
”Kurasa tidak. Paman orang yang baik dan dia pasti akan memikirkan semua jasa kita,” Flame ikut bicara.
”Jasa? Baru tugas pertama yang berhasil kita kerjakan,” ucap Clown melengos. ”Lagipula kalau Flame pasti takkan dipecat bukan? Kamu kan keponakannya Maxie.”
”Sudahlah, tak usah berspekulasi lagi. Yang penting sekarang kita temui dulu Maxie dan memastikan kalau kita masih di regu elit,” saranku mengakhiri perdebatan kecil ini.
Kami bertiga kemudian melangkahkan kaki ke ruangan Maxie dengan berbekal peta kapal selam yang diberikan sebelum kami keluar dari helikopter. Kami menyusuri lorong kapal selam yang berukuran besar tersebut. Kapal tersebut memiliki desain yang modern, dilengkapi teknologi canggih. Aku penasaran siapa yang merancang kapal selam yang begitu artistik ini. Aku pernah melihat kapal selam sebelum ini, yaitu Explorer 1, kapal selam yang dirancang oleh Kapten Stern, seorang pelaut terkenal di Kota Slateport. Dulu aku dan kak Lydia pernah berkunjung ke museum bahari yang ada di kota tersebut dan melihat replika serta kapal selam buatan Kapten Stern yang bernama Explorer 1. Namun kapal selam itu masih dalam pengerjaan dan belum terwujud. Tapi mungkin sekarang kapal selam itu sudah jadi, mengingat aku sudah cukup lama mengunjungi museum tersebut.
Setelah melalui lorong-lorong biru yang panjang, kami akhirnya mencapai sebuah pintu yang bertuliskan Magma Leader. Aku pun mengetuk pintu itu perlahan.
”Masuk,” terdengar sebuah suara menjawab dari dalam ruangan tersebut. Aku lalu membuka pintu dan kami bertiga masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan itu cukup luas dengan sebuah meja kerja. Tampak Maxie duduk membelakangi kami bertiga sementara Tabitha dan Courtney berdiri menghadap kami.
”Anda memanggil kami, tuan Maxie,” sapaku mencoba hangat. Bila nantinya Maxie akan memarahi kami bertiga, kuharap kemarahannya akan berkurang dengan sikap ramahku.
”Ya, tentu saja,” jawab Maxie. Dia kemudian membalik kursinya, kini bisa melihat wajah kami bertiga dengan jelas. ”Aku tak suka berbasa-basi, lebih baik langsung pada pokok permasalahan.” Maxie berhenti sejenak. Dia mengambil nafas panjang dan kemudian membuangnya. Dia lalu menatap wajah kami satu-persatu. ”Kalian memang bekerja dengan baik pada tugas pertama kalian. Tapi terus terang aku kecewa dengan kinerja kalian dalam tugas kedua. Kegagalan kalian berakibat kita harus meninggalkan gunung Chimney, tempat yang kuduga di dalamnya tengah tertidur Groudon, tujuan kita selama ini. Tapi aku tak bisa menyalahkan kalian semua, karena cepat atau lambat markas gunung Chimney kita pasti akan jatuh juga. Lagipula peluang gagalnya tugas kalian itu adalah 75 persen, cukup banyak.....
”Oke, anggap aku melupakan kegagalan kalian tersebut. Karena di luar itu kalian mampu membuka jalan dengan baik untuk kepergian kita dari Gunung Chimney. Sekarang kita telah bertempat di markas baru dengan pusat komando yang tentunya baru. Kapal selam ini tentunya tak buruk, bahkan memiliki nilai lebih bila dibandingkan Gunung Chimney. Karena kita bisa bergerak dan berpindah cepat bila terdeteksi oleh musuh.
Nah, sekarang aku ingin kalian memperbaiki kesalahan kalian ini dengan menyelesaikan tugas baru atau tugas ketiga kalian. Kuharap kalian bisa melakukannya seperti saat kalian melakukan tugas pertama di kota Mauville. Tabitha yang akan menjelaskan tugas kalian berikutnya. Tabitha, jelaskan tugas baru mereka...” Maxie memberi perintah pada Tabitha dan setelah itu dia memutar kursinya kembali membelakangi kami bertiga.
Huff... aku bisa bernafas lega sekarang. Kami memang mendapat tantangan tugas baru yang mungkin lebih sulit, tapi paling tidak kami tidak jadi mendapat hukuman atau dipecat.
”Semuanya, izinkan aku memperkenalkan sahabat baru kita.... Continent Magmarine!” Maxie membuka pertemuan itu setelah barisan terbentuk. Dia melihat barisan lantas melanjutkan, ”Mulai saat ini kita akan bermarkas di kapal selam Magmarine ini. Semua koordinasi tim dimulai dari meja kalian masing-masing. Jadi anggap saja kapal selam ini sebagai rumah kalian sendiri.”
Usai mengatakan itu Maxie berbalik dan berjalan meninggalkan mimbar diikuti Courtney. Sementara Tabitha menggantikannya maju ke mimbar.
”Baiklah, seperti yang kalian dengar tadi, mulai sekarang kapal inilah pusat komando kita,” ujar Tabitha. ”Ruangan kabin kalian telah dipersiapkan, jadi sekarang silakan melihat-lihat ruangan baru kalian. Pertemuan ini selesai dan menunggu perintah selanjutnya. Khusus untuk Elite Grunt, setelah pertemuan ini, harap datang ke ruangan Maxie. Cukup disini dulu dan bubar!”
Barisan rapi yang terbentuk dari kumpulan warna merah itu kemudian berantakan tak karuan. Para grunt segera berhamburan menjelajahi kapal selam besar itu mencari ruangan mereka masing-masing. Sementara aku, Flame dan Clown masih berdiri di tengah aula tersebut.
”Kira-kira apa yang akan dikatakan Maxie ya?” tanya Clown. ”Sepertinya dia akan marah besar setelah kegagalan kita ini dan akan menghukum kita.”
”Entahlah, aku tak tahu. Semoga saja dia tak memecat kita,” sahutku.
”Kurasa tidak. Paman orang yang baik dan dia pasti akan memikirkan semua jasa kita,” Flame ikut bicara.
”Jasa? Baru tugas pertama yang berhasil kita kerjakan,” ucap Clown melengos. ”Lagipula kalau Flame pasti takkan dipecat bukan? Kamu kan keponakannya Maxie.”
”Sudahlah, tak usah berspekulasi lagi. Yang penting sekarang kita temui dulu Maxie dan memastikan kalau kita masih di regu elit,” saranku mengakhiri perdebatan kecil ini.
Kami bertiga kemudian melangkahkan kaki ke ruangan Maxie dengan berbekal peta kapal selam yang diberikan sebelum kami keluar dari helikopter. Kami menyusuri lorong kapal selam yang berukuran besar tersebut. Kapal tersebut memiliki desain yang modern, dilengkapi teknologi canggih. Aku penasaran siapa yang merancang kapal selam yang begitu artistik ini. Aku pernah melihat kapal selam sebelum ini, yaitu Explorer 1, kapal selam yang dirancang oleh Kapten Stern, seorang pelaut terkenal di Kota Slateport. Dulu aku dan kak Lydia pernah berkunjung ke museum bahari yang ada di kota tersebut dan melihat replika serta kapal selam buatan Kapten Stern yang bernama Explorer 1. Namun kapal selam itu masih dalam pengerjaan dan belum terwujud. Tapi mungkin sekarang kapal selam itu sudah jadi, mengingat aku sudah cukup lama mengunjungi museum tersebut.
Setelah melalui lorong-lorong biru yang panjang, kami akhirnya mencapai sebuah pintu yang bertuliskan Magma Leader. Aku pun mengetuk pintu itu perlahan.
”Masuk,” terdengar sebuah suara menjawab dari dalam ruangan tersebut. Aku lalu membuka pintu dan kami bertiga masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan itu cukup luas dengan sebuah meja kerja. Tampak Maxie duduk membelakangi kami bertiga sementara Tabitha dan Courtney berdiri menghadap kami.
”Anda memanggil kami, tuan Maxie,” sapaku mencoba hangat. Bila nantinya Maxie akan memarahi kami bertiga, kuharap kemarahannya akan berkurang dengan sikap ramahku.
”Ya, tentu saja,” jawab Maxie. Dia kemudian membalik kursinya, kini bisa melihat wajah kami bertiga dengan jelas. ”Aku tak suka berbasa-basi, lebih baik langsung pada pokok permasalahan.” Maxie berhenti sejenak. Dia mengambil nafas panjang dan kemudian membuangnya. Dia lalu menatap wajah kami satu-persatu. ”Kalian memang bekerja dengan baik pada tugas pertama kalian. Tapi terus terang aku kecewa dengan kinerja kalian dalam tugas kedua. Kegagalan kalian berakibat kita harus meninggalkan gunung Chimney, tempat yang kuduga di dalamnya tengah tertidur Groudon, tujuan kita selama ini. Tapi aku tak bisa menyalahkan kalian semua, karena cepat atau lambat markas gunung Chimney kita pasti akan jatuh juga. Lagipula peluang gagalnya tugas kalian itu adalah 75 persen, cukup banyak.....
”Oke, anggap aku melupakan kegagalan kalian tersebut. Karena di luar itu kalian mampu membuka jalan dengan baik untuk kepergian kita dari Gunung Chimney. Sekarang kita telah bertempat di markas baru dengan pusat komando yang tentunya baru. Kapal selam ini tentunya tak buruk, bahkan memiliki nilai lebih bila dibandingkan Gunung Chimney. Karena kita bisa bergerak dan berpindah cepat bila terdeteksi oleh musuh.
Nah, sekarang aku ingin kalian memperbaiki kesalahan kalian ini dengan menyelesaikan tugas baru atau tugas ketiga kalian. Kuharap kalian bisa melakukannya seperti saat kalian melakukan tugas pertama di kota Mauville. Tabitha yang akan menjelaskan tugas kalian berikutnya. Tabitha, jelaskan tugas baru mereka...” Maxie memberi perintah pada Tabitha dan setelah itu dia memutar kursinya kembali membelakangi kami bertiga.
Huff... aku bisa bernafas lega sekarang. Kami memang mendapat tantangan tugas baru yang mungkin lebih sulit, tapi paling tidak kami tidak jadi mendapat hukuman atau dipecat.
Scene 54: Berita Gunung Kanon
”Baiklah, aku akan menjelaskan tugas kalian berikutnya,” Tabitha mulai berbicara. Layar putih di belakang Tabitha sekarang mengeluarkan visual sebuah gunung berapi, tapi jelas gunung itu bukan Chimney. Tekstur gunung itu memanjang dan menyerupai sebuah meriam yang mengarah ke langit. ”Gunung berapi ini adalah gunung Kanon, sebuah gunung berapi yang terletak di region Poinesia, region yang pernah kalian datangi dulu saat menyelamatkan Flareon milik Flame. Tapi gunung ini terletak jauh dari Pulau Hitam. Gunung ini terletak di Pulau Merah, sebuah pulau di barat daya pulau utama Poinesia.
”Beberapa waktu lalu gunung ini menjadi aktif dan menunjukkan gejala akan meletus. Ilmuwan kita telah mengukur tingkat panas di sekitar gunung tersebut dan menemukan tanda-tanda keberadaan Groudon. Mereka memperkirakan disana terdapat Groudon. Perkiraan ini cukup beralasan karena didukung dengan kesaksian warga setempat yang menyatakan melihat Pokemon bertubuh raksasa di dalam gunung tersebut. Tapi tentu saja perkiraan tersebut masih belum pasti karena kita semua, Tim Magma, mempercayai kalau Groudon adalah legenda Hoenn. Dan tentunya di Hoennlah Pokemon tersebut tertidur usai pertarungan besar raksasa purba bertahun-tahun yang lalu.....
”Kita bisa saja mengirimkan pasukan dalam jumlah yang banyak ke gunung tersebut, sebagaimana yang kita lakukan di Gunung Chimney. Namun tentu saja akan memakan biaya yang besar. Lagipula aktivitas gunung tersebut telah mencapai tingkat darurat yang tentunya hanya akan membahayakan keberadaan kita semua. Ditambah lagi keberadaan Groudon tersebut masih merupakan perkiraan. Karena itulah kami bermaksud mengirim kalian kesana untuk membuktikan keberadaan Groudon. Tugas kalian adalah masuk ke dalam gunung tersebut dan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Setelah kalian memastikan keberadaan Groudon ada atau tidak disana, kalian segera kembali kesini. Kalian mengerti?”
”Mengerti!” Kami bertiga mengangguk hampir bersamaan.
Tabitha tersenyum. Dia lalu melanjutkan, ”Disana nanti kalian akan bertemu salah seorang ilmuwan kita. Instruksi manual lainnya telah aku persiapkan dalam paket, jadi kalian bisa mempelajarinya dalam perjalanan ke gunung tersebut. Kalian akan punya waktu banyak mempelajarinya, karena jarak gunung Kanon terbilang jauh bila menggunakan helikopter.” Tabitha kemudian mengambil tiga paket dan menyerahkannya satu-persatu kepada kami. ”Ini instruksi dasar, kalian bisa mengatur rencana semau kalian asal tidak melanggar instruksi dasar ini.” Tabitha berhenti bicara dan menatap kami satu-persatu lalu melanjutkan. ”Apa ada pertanyaan?” Kami bertiga terdiam tak menjawab. ”Kalau begitu segera laksanakan!”
”Siap laksanakan!” jawab kami bertiga berbarengan. Kami kemudian mohon izin dan keluar dari ruangan Maxie.
----------------------------
Setelah pemberitahuan tugas tersebut, kami bertiga masuk ke kabin masing-masing. Aku dan Clown berada satu kabin sementara Flame berada di kabin yang terpisah khusus wanita. Ruanganku cukup sempit, kalau tak mau dibilang sempit. Di dalam kabin kami hanya ada satu tempat tidur bertingkat dan satu meja belajar. Meskipun sempit, tapi cukup layak untuk tempat istirahat. Clown saja langsung terlelap tatkala berbaring di tempat tidurnya sementara aku belum juga bisa memejamkan mata.
Aku memandangi langit-langit kabin. Teringat semua yang pernah terjadi selama aku bergabung dengan Tim Magma. Kurang lebih empat bulan sudah aku bergabung dengan tim ini dan selama itu aku mengalami pengalaman yang seru. Entah apa yang akan aku alami nanti. Aku lalu menengok pada jendela bulat di dinding kabin. Terlihat birunya lautan, sepertinya kapal ini mulai menyelam ke dasar laut. Aku memandanginya tenang hingga kemudian tertidur.
--------------------------
Alarm berbunyi keras sekali di dalam kabinku. Aku dan Clown terbangun. Rupanya hari baru telah menjelang. Dan hari ini adalah hari keberangkatan kami ke gunung Kanon.
”Kudengar misi kita kali ini penuh resiko,” kata Clown menyambut paginya. ”Maxie sengaja ingin menghukum kita dengan cara lain.”
”Oh, ya?” sahutku. ”Kurasa tidak, dia bilang sudah memaafkan kita.”
”Kamu jangan langsung percaya dengan apa yang kau dengar.”
”Clown, Flame ada dalam tim kita. Kau pikir Maxie ingin keponakannya dalam bahaya?”
Clown tak menjawab. Dia memakai seragam grunt-nya dan melangkah ke pintu. Aku pun segera memakai seragamku dan bersiap pergi keluar.
Setelah kami berdua siap, kami segera ke kabin perintah. Disana Flame telah menunggu kedatangan kami.
”Kalian siap?” tanyanya menyambut kedatangan kami.
”Kami selalu siap,” jawab Clown. ”Kuharap Lunar tidak berbuat kesalahan lagi.”
”Hei,” protesku. ”Kau pikir itu kesalahanku?”
”Ya, karena kamu berpikiran yang buruk. Kepalamu itu sepertinya harus dibersihkan.”
”Otakmu itu yang harus dibersihkan!” balasku tak terima dengan ucapannya.
”Hei, sudahlah,” lerai Flame. ”Kalian tak bisa bertengkar seperti ini terus. Ada misi yang harus kita lakukan, dan aku tak mau pertengkaran kalian membuat kita kembali gagal.”
”Baiklah, kita akan bersatu kali ini,” sahut Clown.
”Ya, kali ini kita pasti berhasil!”
”Beberapa waktu lalu gunung ini menjadi aktif dan menunjukkan gejala akan meletus. Ilmuwan kita telah mengukur tingkat panas di sekitar gunung tersebut dan menemukan tanda-tanda keberadaan Groudon. Mereka memperkirakan disana terdapat Groudon. Perkiraan ini cukup beralasan karena didukung dengan kesaksian warga setempat yang menyatakan melihat Pokemon bertubuh raksasa di dalam gunung tersebut. Tapi tentu saja perkiraan tersebut masih belum pasti karena kita semua, Tim Magma, mempercayai kalau Groudon adalah legenda Hoenn. Dan tentunya di Hoennlah Pokemon tersebut tertidur usai pertarungan besar raksasa purba bertahun-tahun yang lalu.....
”Kita bisa saja mengirimkan pasukan dalam jumlah yang banyak ke gunung tersebut, sebagaimana yang kita lakukan di Gunung Chimney. Namun tentu saja akan memakan biaya yang besar. Lagipula aktivitas gunung tersebut telah mencapai tingkat darurat yang tentunya hanya akan membahayakan keberadaan kita semua. Ditambah lagi keberadaan Groudon tersebut masih merupakan perkiraan. Karena itulah kami bermaksud mengirim kalian kesana untuk membuktikan keberadaan Groudon. Tugas kalian adalah masuk ke dalam gunung tersebut dan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Setelah kalian memastikan keberadaan Groudon ada atau tidak disana, kalian segera kembali kesini. Kalian mengerti?”
”Mengerti!” Kami bertiga mengangguk hampir bersamaan.
Tabitha tersenyum. Dia lalu melanjutkan, ”Disana nanti kalian akan bertemu salah seorang ilmuwan kita. Instruksi manual lainnya telah aku persiapkan dalam paket, jadi kalian bisa mempelajarinya dalam perjalanan ke gunung tersebut. Kalian akan punya waktu banyak mempelajarinya, karena jarak gunung Kanon terbilang jauh bila menggunakan helikopter.” Tabitha kemudian mengambil tiga paket dan menyerahkannya satu-persatu kepada kami. ”Ini instruksi dasar, kalian bisa mengatur rencana semau kalian asal tidak melanggar instruksi dasar ini.” Tabitha berhenti bicara dan menatap kami satu-persatu lalu melanjutkan. ”Apa ada pertanyaan?” Kami bertiga terdiam tak menjawab. ”Kalau begitu segera laksanakan!”
”Siap laksanakan!” jawab kami bertiga berbarengan. Kami kemudian mohon izin dan keluar dari ruangan Maxie.
----------------------------
Setelah pemberitahuan tugas tersebut, kami bertiga masuk ke kabin masing-masing. Aku dan Clown berada satu kabin sementara Flame berada di kabin yang terpisah khusus wanita. Ruanganku cukup sempit, kalau tak mau dibilang sempit. Di dalam kabin kami hanya ada satu tempat tidur bertingkat dan satu meja belajar. Meskipun sempit, tapi cukup layak untuk tempat istirahat. Clown saja langsung terlelap tatkala berbaring di tempat tidurnya sementara aku belum juga bisa memejamkan mata.
Aku memandangi langit-langit kabin. Teringat semua yang pernah terjadi selama aku bergabung dengan Tim Magma. Kurang lebih empat bulan sudah aku bergabung dengan tim ini dan selama itu aku mengalami pengalaman yang seru. Entah apa yang akan aku alami nanti. Aku lalu menengok pada jendela bulat di dinding kabin. Terlihat birunya lautan, sepertinya kapal ini mulai menyelam ke dasar laut. Aku memandanginya tenang hingga kemudian tertidur.
--------------------------
Alarm berbunyi keras sekali di dalam kabinku. Aku dan Clown terbangun. Rupanya hari baru telah menjelang. Dan hari ini adalah hari keberangkatan kami ke gunung Kanon.
”Kudengar misi kita kali ini penuh resiko,” kata Clown menyambut paginya. ”Maxie sengaja ingin menghukum kita dengan cara lain.”
”Oh, ya?” sahutku. ”Kurasa tidak, dia bilang sudah memaafkan kita.”
”Kamu jangan langsung percaya dengan apa yang kau dengar.”
”Clown, Flame ada dalam tim kita. Kau pikir Maxie ingin keponakannya dalam bahaya?”
Clown tak menjawab. Dia memakai seragam grunt-nya dan melangkah ke pintu. Aku pun segera memakai seragamku dan bersiap pergi keluar.
Setelah kami berdua siap, kami segera ke kabin perintah. Disana Flame telah menunggu kedatangan kami.
”Kalian siap?” tanyanya menyambut kedatangan kami.
”Kami selalu siap,” jawab Clown. ”Kuharap Lunar tidak berbuat kesalahan lagi.”
”Hei,” protesku. ”Kau pikir itu kesalahanku?”
”Ya, karena kamu berpikiran yang buruk. Kepalamu itu sepertinya harus dibersihkan.”
”Otakmu itu yang harus dibersihkan!” balasku tak terima dengan ucapannya.
”Hei, sudahlah,” lerai Flame. ”Kalian tak bisa bertengkar seperti ini terus. Ada misi yang harus kita lakukan, dan aku tak mau pertengkaran kalian membuat kita kembali gagal.”
”Baiklah, kita akan bersatu kali ini,” sahut Clown.
”Ya, kali ini kita pasti berhasil!”
Scene 55: Tiba di Pulau Merah
Kami sudah berada di hanggar kapal selam untuk keberangkatan kami ke pulau Merah. Tabitha telah ada disana sebagai pembekalan terakhir.
”Baiklah, kuharap kalian berhasil dalam misi kali ini. Buktikan kalau kami tak salah memilih kalian,” ujar Tabitha. ”Paket yang kalian terima kemarin adalah perlengkapan yang kalian perlukan dalam misi ini. Manfaatkan sebaik-baiknya.”
”Baik!”
Kami bertiga masuk ke dalam helikopter kecil yang telah dipersiapkan. Dengan helikopter ini kami akan berangkat ke Pulau Merah, sebuah pulau di barat daya daratan utama Poinesia. Di pulau itulah terletak gunung yang kabarnya terdapat tanda-tanda keberadaan Groudon.
Helikopter dikemudikan Flame, sementara aku dan Clown di kursi belakang menyusun rencana. Dalam paket disebutkan kalau Gunung Kanon adalah gunung paling aktif di Poinesia. Tercatat gunung ini telah meletus sebanyak lebih dari seratus kali. Meskipun begitu, penduduk di sekitar gunung tersebut enggan untuk pergi karena tanah di sekitar gunung tersebut subur dan bagus untuk pertanian. Mereka hanya akan mengungsi apabila gunung menunjukkan tanda-tanda akan meletus dan kembali ke desa mereka bila gunung itu telah tenang.
Perjalanan menuju Pulau Merah memakan waktu cukup lama, hampir sama dengan perjalanan kami ke Pulau Hitam. Selama itu aku mencoba untuk menenangkan perasaan gugupku. Entah mengapa aku memiliki firasat buruk mengenai misi ini. Aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, tapi aku tak bisa mengatakan kegelisahanku ini pada Clown atau Flame. Clown tentunya akan marah padaku dan menganggap perkataanku sebagai kutukan setelah peristiwa jatuhnya Gunung Chimney saat itu.
Setelah cukup lama akhirnya kami melihat pulau yang dimaksud. Wajar saja kalau pulau itu disebut Pulau Merah, karena memang warna itu yang tampak dominan dari pulau itu. Pulau itu terlihat merah menyala dengan gunung besar berbentuk meriam yang tampak membara dengan asap hitam keluar dari dalamnya. Aku penasaran seperti apa pulau itu dari dekat.
”Kita sampai.” Flame mendaratkan helikopter di sebuah tanah lapang yang ada di tepi pulau. Aku dan Clown segera keluar dari helikopter dan menapak tanah merah di bawah kaki kami. Flame lalu keluar menyusul kami.
”Jadi ini pulau Merah?” komentar Clown. ”Tak heran bila pulau ini disebut pulau Merah.”
”Sekarang kita harus segera menemui peneliti yang dimaksud Tabitha,” gagasku. Clown dan Flame menggangguk. Kami bertiga kemudian berjalan memasuki desa kecil yang ada di pulau itu.
Kami memasuki desa dan menemukan rumah-rumah yang terbuat dari kayu di sekitar kami. Tapi kami tak melihat seorang pun yang tinggal di desa itu. Jangankan manusia, Pokemon pun tak nampak sama sekali. Sepertinya saat ini desa itu... bukan, tapi pulau ini tak berpenghuni.
”Mereka mungkin sudah mengungsi,” simpul Flame. ”Rumah peneliti itu ada di sebelah sana,” tunjuknya kemudian. Kami mengikuti Flame dan tiba di sebuah rumah kecil.
Aku mengetuk pintu perlahan dan tiba-tiba saja pintu rumah terbuka dengan sangat keras. Seorang lelaki tua dengan kacamata bulat menyambut kedatangan kami.
”Ah, akhirnya kalian datang juga,” sambut lelaki itu tampak ketakutan. ”Kalau begitu aku bisa pergi sekarang.” Lelaki itu kemudian mengambil sebuah tas dan pergi keluar rumah. Dia berjalan menuju sebuah helikopter kecil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.
”Hei, mau kemana kau?” teriak Clown kesal. ”Kami ini baru datang, paling tidak kau buatkan kami minuman.”
”Kalau kalian mau minum ambil saja di dalam rumah,” jawab lelaki itu dari kejauhan. ”Semuanya sudah tersedia di dalam rumah itu.”
”Kau mau kemana? Apa kau akan meninggalkan kami begitu saja?” tanyaku dengan suara nyaring.
”Aku harus pergi. Sama seperti penduduk di desa ini. Kalau aku tak cepat pergi nyawaku dalam bahaya. Gunung itu akan segera meletus,” jawab lelaki itu. Dia menjawab dengan suara keras sehingga kami semua bisa mendengarnya. Lelaki itu kemudian masuk ke dalam helikopternya dan mulai menerbangkannya meninggalkan pulau.
”Dasar pengecut!” umpat Clown. ”Tak kusangka Tim Magma memiliki anggota seperti itu. Sekarang apa yang akan kita lakukan?”
”Lebih baik kita masuk ke dalam dulu,” saranku. Kami bertiga kemudian masuk ke dalam rumah peneliti itu.
”Tapi kuharap kita tak berlama-lama di pulau ini, seperti yang dikatakan orang itu,” sahut Flame tampak khawatir.
”Kau takut, Flame?”
”Bukannya takut, tapi... ” Flame terdiam. Dia lalu menengok ke arah gunung besar di seberang sana. Aku dan Clown ikut menengok dan segera menemukan apa yang membuat Flame tampak ketakutan. Gunung itu memerah, terdengar suara gemuruh yang keras dari dalam gunung, dan sedetik kemudian... api besar keluar dari kawah gunung itu!
"Kau benar Flame, tapi ini misi kita sekarang," jawab Clown melihat ketakutan di wajah gadis itu. "Kita akan segera menyelesaikannya dan segera pergi sebelum gunung itu meluapkan kemarahannya.”
”Baiklah, kuharap kalian berhasil dalam misi kali ini. Buktikan kalau kami tak salah memilih kalian,” ujar Tabitha. ”Paket yang kalian terima kemarin adalah perlengkapan yang kalian perlukan dalam misi ini. Manfaatkan sebaik-baiknya.”
”Baik!”
Kami bertiga masuk ke dalam helikopter kecil yang telah dipersiapkan. Dengan helikopter ini kami akan berangkat ke Pulau Merah, sebuah pulau di barat daya daratan utama Poinesia. Di pulau itulah terletak gunung yang kabarnya terdapat tanda-tanda keberadaan Groudon.
Helikopter dikemudikan Flame, sementara aku dan Clown di kursi belakang menyusun rencana. Dalam paket disebutkan kalau Gunung Kanon adalah gunung paling aktif di Poinesia. Tercatat gunung ini telah meletus sebanyak lebih dari seratus kali. Meskipun begitu, penduduk di sekitar gunung tersebut enggan untuk pergi karena tanah di sekitar gunung tersebut subur dan bagus untuk pertanian. Mereka hanya akan mengungsi apabila gunung menunjukkan tanda-tanda akan meletus dan kembali ke desa mereka bila gunung itu telah tenang.
Perjalanan menuju Pulau Merah memakan waktu cukup lama, hampir sama dengan perjalanan kami ke Pulau Hitam. Selama itu aku mencoba untuk menenangkan perasaan gugupku. Entah mengapa aku memiliki firasat buruk mengenai misi ini. Aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, tapi aku tak bisa mengatakan kegelisahanku ini pada Clown atau Flame. Clown tentunya akan marah padaku dan menganggap perkataanku sebagai kutukan setelah peristiwa jatuhnya Gunung Chimney saat itu.
Setelah cukup lama akhirnya kami melihat pulau yang dimaksud. Wajar saja kalau pulau itu disebut Pulau Merah, karena memang warna itu yang tampak dominan dari pulau itu. Pulau itu terlihat merah menyala dengan gunung besar berbentuk meriam yang tampak membara dengan asap hitam keluar dari dalamnya. Aku penasaran seperti apa pulau itu dari dekat.
”Kita sampai.” Flame mendaratkan helikopter di sebuah tanah lapang yang ada di tepi pulau. Aku dan Clown segera keluar dari helikopter dan menapak tanah merah di bawah kaki kami. Flame lalu keluar menyusul kami.
”Jadi ini pulau Merah?” komentar Clown. ”Tak heran bila pulau ini disebut pulau Merah.”
”Sekarang kita harus segera menemui peneliti yang dimaksud Tabitha,” gagasku. Clown dan Flame menggangguk. Kami bertiga kemudian berjalan memasuki desa kecil yang ada di pulau itu.
Kami memasuki desa dan menemukan rumah-rumah yang terbuat dari kayu di sekitar kami. Tapi kami tak melihat seorang pun yang tinggal di desa itu. Jangankan manusia, Pokemon pun tak nampak sama sekali. Sepertinya saat ini desa itu... bukan, tapi pulau ini tak berpenghuni.
”Mereka mungkin sudah mengungsi,” simpul Flame. ”Rumah peneliti itu ada di sebelah sana,” tunjuknya kemudian. Kami mengikuti Flame dan tiba di sebuah rumah kecil.
Aku mengetuk pintu perlahan dan tiba-tiba saja pintu rumah terbuka dengan sangat keras. Seorang lelaki tua dengan kacamata bulat menyambut kedatangan kami.
”Ah, akhirnya kalian datang juga,” sambut lelaki itu tampak ketakutan. ”Kalau begitu aku bisa pergi sekarang.” Lelaki itu kemudian mengambil sebuah tas dan pergi keluar rumah. Dia berjalan menuju sebuah helikopter kecil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.
”Hei, mau kemana kau?” teriak Clown kesal. ”Kami ini baru datang, paling tidak kau buatkan kami minuman.”
”Kalau kalian mau minum ambil saja di dalam rumah,” jawab lelaki itu dari kejauhan. ”Semuanya sudah tersedia di dalam rumah itu.”
”Kau mau kemana? Apa kau akan meninggalkan kami begitu saja?” tanyaku dengan suara nyaring.
”Aku harus pergi. Sama seperti penduduk di desa ini. Kalau aku tak cepat pergi nyawaku dalam bahaya. Gunung itu akan segera meletus,” jawab lelaki itu. Dia menjawab dengan suara keras sehingga kami semua bisa mendengarnya. Lelaki itu kemudian masuk ke dalam helikopternya dan mulai menerbangkannya meninggalkan pulau.
”Dasar pengecut!” umpat Clown. ”Tak kusangka Tim Magma memiliki anggota seperti itu. Sekarang apa yang akan kita lakukan?”
”Lebih baik kita masuk ke dalam dulu,” saranku. Kami bertiga kemudian masuk ke dalam rumah peneliti itu.
”Tapi kuharap kita tak berlama-lama di pulau ini, seperti yang dikatakan orang itu,” sahut Flame tampak khawatir.
”Kau takut, Flame?”
”Bukannya takut, tapi... ” Flame terdiam. Dia lalu menengok ke arah gunung besar di seberang sana. Aku dan Clown ikut menengok dan segera menemukan apa yang membuat Flame tampak ketakutan. Gunung itu memerah, terdengar suara gemuruh yang keras dari dalam gunung, dan sedetik kemudian... api besar keluar dari kawah gunung itu!
"Kau benar Flame, tapi ini misi kita sekarang," jawab Clown melihat ketakutan di wajah gadis itu. "Kita akan segera menyelesaikannya dan segera pergi sebelum gunung itu meluapkan kemarahannya.”
Scene 56: Memasuki Gunung Kanon
Kami bertiga sudah berada di dalam rumah peneliti tersebut. Kami membuka paket kami dan mengeluarkan pakaian anti panas dari dalamnya. Kami pun segera memakainya tanpa melepas seragam kami, karena hanya pakaian inilah jaminan hidup kami di dalam gunung itu. Pakaian itu tampak seperti pakaian yang sering dipakai oleh para pekerja nuklir.
”Baiklah, seperti yang kita rencanakan,” pimpin Clown. ”Mari kita taklukkan gunung itu, dan buktikan kalau kita memang pantas menjadi Elite Grunt!”
”Ya!” aku dan Flame menjawab bersamaan. Entah mengapa kami sudah tak merasa takut lagi. Mungkin perkataan Clown telah menumbuhkan keberanian di hati kami masing-masing. Dia memang selalu optimis, sangat berbeda denganku.
Dengan pakaian anti panas yang menutupi seluruh tubuh, kami bertiga berjalan menuju gunung. Kami memanjat gunung dengan susah payah hingga akhirnya tiba di bibir kawah tersebut. Suhu di sekitar kami saat ini terasa sangat panas, namun rasa panas itu tidak begitu kami rasakan karena pakaian yang kami pakai.
Kawah gunung itu sangat besar sementara asap hitam legam keluar dari dalamnya dengan jumlah yang sangat banyak. Tampak lahar panas membara di bawah kami. Kami seolah sedang mengantarkan nyawa kami kesana.
”Anggap saja ini Gunung Chimney yang lain,” kata Clown memberi semangat. Suara gemuruh dari gunung mengganggu komunikasi kami sehingga kami harus berbicara agak keras agar terdengar oleh yang lain. ”Bukankah kita pernah tinggal di dalam gunung berapi sebelumnya?”
Flame menggangguk. ”Ya, dan kita pasti bisa menaklukkannya seperti saat kita menaklukkan Gunung Chimney.”
”Clown, kita tak mungkin masuk dari atas sini, terlalu berbahaya,” simpulku melihat keadaan lahar panas yang membara. ”Tak adakah jalan lain?”
”Kamu benar, kita akan masuk melalui jalan lain.” Clown kemudian menuruni gunung itu perlahan dan menemukan sebuah celah terbuka di bawahnya. ”Hei, kita bisa masuk lewat sini!”
Aku dan Flame lalu mendekati Clown dan melihat celah kecil yang dia maksud. Kami baru saja hendak masuk melalui celah itu namun tiba-tiba cairan panas berwarna merah keluar dari dalam celah tersebut. Letusan gunung ini telah dimulai!
”Berbahaya! Kita tak bisa masuk melalui jalan ini,” ujarku memperingatkan.
Clown terdiam. Dia tampak berpikir. Dia lalu mengintip pada celah tersebut. “Aku punya cara,” ujarnya kemudian. “Dia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah pokeball. Dilemparkannya Pokeball itu dan keluarlah Abra. “Aku sudah melihat ke dalam gunung itu dan mengingat lokasinya. Dengan begitu Abra bisa mengantarkan kita masuk ke dalam.”
”Baiklah, kita coba,” jawabku. ”Semoga kita mendarat di tempat yang tepat.”
Kami bertiga kemudian memegang Abra. ”Teleport!” Clown memberi perintah dan kemudian kami sudah berada di dalam Gunung Kanon.
”Arrgh!” Flame mengerang. Rupanya kakinya menyentuh lahar panas.
”Kau tak apa-apa Flame?” tanyaku khawatir.
“Untunglah aku memakai pakaian ini, sehingga terasa tak terlalu panas.”
Clown menarik nafas panjang. ”Maaf kawan-kawan... ” desahnya pelan. ”Tapi kita mendarat di tempat yang salah...”
Tiba-tiba kami semua menyadari dimana kami berdiri sekarang. Kami berdiri di sebuah bongkahan tanah yang dikelilingi lahar panas mendidih!
”Abra, kembalilah!” Clown mengembalikan Abra ke dalam pokeball. Pilihan yang tepat mengingat suhu yang begitu panas dan Abra tak memakai pakaian anti panas. ”Sekarang kita mulai mencari keberadaan Groudon.”
”Tapi bagaimana caranya kita ke....” perkataan Flame terputus saat tiba-tiba terdengar suara raungan yang keras dari dalam gunung. Raungan Pokemonkah?
”Apa itu Groudon?” tanyaku penasaran.
”Entahlah, tapi kita akan mencari tahu,” sahut Clown tenang. ”Kita akan melompat perlahan-lahan ke tengah gunung mengikuti asal suara itu. Perhatikan langkah kalian dan hati-hati terhadap lahar panas di sekitar kalian. Lahar itu bisa saja menyembur ke atas dan mengenai kita.”
Aku dan Flame mengangguk. Kami bertiga mulai untuk melangkah. Persis seperti yang dikatakan Clown, kami melompat pelan ke setiap bongkahan tanah yang kami temui. Semakin jauh kami melangkah, semakin masuk kami ke pusat gunung. Dan tentunya, semakin berbahaya misi ini.
”Ahh!” tiba-tiba tanah yang diinjak Flame amblas ke tanah. Flame hampir saja terjatuh masuk ke lahar yang mendidih kalau saja aku tak cepat memegang tangannya. Aku lalu menariknya ke atas.
”Kau tidak apa-apa Flame?”
”Untunglah, terima kasih Lunar.”
”Kau harus lebih berhati-hati lagi. Bagaimanapun gunung ini akan meletus dan setiap tanah yang ada di dalam gunung ini akan segera hancur termakan lahar. Kita harus cepat menemukan sumber suara itu.”
Kami kini berada di sebuah pijakan yang cukup aman. Di samping kami memang lahar panas yang mendidih, namun tanah yang kami pijak tampaknya cukup keras dan luas.
”Sepertinya raungan itu berasal dari tempat ini,” tebak Clown. ”Tapi kenapa suara itu sekarang tak terdengar?”
Kami bertiga terdiam. Entah mengapa tiba-tiba suasana menjadi begitu mencekam. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menemukan penyebabnya, karena tiba-tiba saja lahar panas di kanan dan kiri kami menyembur deras ke atas. Kami bertiga saling merapatkan diri menghindari semburan itu. Bagaimanapun pakaian anti panas kami takkan mempu menahan panas lebih lama. Kami pun harus berpacu dengan waktu karena oksigen dalam pakaian kami mulai menipis.
Semburan lahar panas tiba-tiba saja berhenti, namun di kejauhan tampak beberapa semburan yang membentuk lingkaran. Semburan itu tampaknya mengelilingi sesuatu.
”I...itukah.... Groudon?” tunjuk Flame histeris. Dari sela-sela semburan lahar itu memang tampak seekor Pokemon berwarna kemerahan. Dan Pokemon itu tampak marah.
”Baiklah, seperti yang kita rencanakan,” pimpin Clown. ”Mari kita taklukkan gunung itu, dan buktikan kalau kita memang pantas menjadi Elite Grunt!”
”Ya!” aku dan Flame menjawab bersamaan. Entah mengapa kami sudah tak merasa takut lagi. Mungkin perkataan Clown telah menumbuhkan keberanian di hati kami masing-masing. Dia memang selalu optimis, sangat berbeda denganku.
Dengan pakaian anti panas yang menutupi seluruh tubuh, kami bertiga berjalan menuju gunung. Kami memanjat gunung dengan susah payah hingga akhirnya tiba di bibir kawah tersebut. Suhu di sekitar kami saat ini terasa sangat panas, namun rasa panas itu tidak begitu kami rasakan karena pakaian yang kami pakai.
Kawah gunung itu sangat besar sementara asap hitam legam keluar dari dalamnya dengan jumlah yang sangat banyak. Tampak lahar panas membara di bawah kami. Kami seolah sedang mengantarkan nyawa kami kesana.
”Anggap saja ini Gunung Chimney yang lain,” kata Clown memberi semangat. Suara gemuruh dari gunung mengganggu komunikasi kami sehingga kami harus berbicara agak keras agar terdengar oleh yang lain. ”Bukankah kita pernah tinggal di dalam gunung berapi sebelumnya?”
Flame menggangguk. ”Ya, dan kita pasti bisa menaklukkannya seperti saat kita menaklukkan Gunung Chimney.”
”Clown, kita tak mungkin masuk dari atas sini, terlalu berbahaya,” simpulku melihat keadaan lahar panas yang membara. ”Tak adakah jalan lain?”
”Kamu benar, kita akan masuk melalui jalan lain.” Clown kemudian menuruni gunung itu perlahan dan menemukan sebuah celah terbuka di bawahnya. ”Hei, kita bisa masuk lewat sini!”
Aku dan Flame lalu mendekati Clown dan melihat celah kecil yang dia maksud. Kami baru saja hendak masuk melalui celah itu namun tiba-tiba cairan panas berwarna merah keluar dari dalam celah tersebut. Letusan gunung ini telah dimulai!
”Berbahaya! Kita tak bisa masuk melalui jalan ini,” ujarku memperingatkan.
Clown terdiam. Dia tampak berpikir. Dia lalu mengintip pada celah tersebut. “Aku punya cara,” ujarnya kemudian. “Dia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah pokeball. Dilemparkannya Pokeball itu dan keluarlah Abra. “Aku sudah melihat ke dalam gunung itu dan mengingat lokasinya. Dengan begitu Abra bisa mengantarkan kita masuk ke dalam.”
”Baiklah, kita coba,” jawabku. ”Semoga kita mendarat di tempat yang tepat.”
Kami bertiga kemudian memegang Abra. ”Teleport!” Clown memberi perintah dan kemudian kami sudah berada di dalam Gunung Kanon.
”Arrgh!” Flame mengerang. Rupanya kakinya menyentuh lahar panas.
”Kau tak apa-apa Flame?” tanyaku khawatir.
“Untunglah aku memakai pakaian ini, sehingga terasa tak terlalu panas.”
Clown menarik nafas panjang. ”Maaf kawan-kawan... ” desahnya pelan. ”Tapi kita mendarat di tempat yang salah...”
Tiba-tiba kami semua menyadari dimana kami berdiri sekarang. Kami berdiri di sebuah bongkahan tanah yang dikelilingi lahar panas mendidih!
”Abra, kembalilah!” Clown mengembalikan Abra ke dalam pokeball. Pilihan yang tepat mengingat suhu yang begitu panas dan Abra tak memakai pakaian anti panas. ”Sekarang kita mulai mencari keberadaan Groudon.”
”Tapi bagaimana caranya kita ke....” perkataan Flame terputus saat tiba-tiba terdengar suara raungan yang keras dari dalam gunung. Raungan Pokemonkah?
”Apa itu Groudon?” tanyaku penasaran.
”Entahlah, tapi kita akan mencari tahu,” sahut Clown tenang. ”Kita akan melompat perlahan-lahan ke tengah gunung mengikuti asal suara itu. Perhatikan langkah kalian dan hati-hati terhadap lahar panas di sekitar kalian. Lahar itu bisa saja menyembur ke atas dan mengenai kita.”
Aku dan Flame mengangguk. Kami bertiga mulai untuk melangkah. Persis seperti yang dikatakan Clown, kami melompat pelan ke setiap bongkahan tanah yang kami temui. Semakin jauh kami melangkah, semakin masuk kami ke pusat gunung. Dan tentunya, semakin berbahaya misi ini.
”Ahh!” tiba-tiba tanah yang diinjak Flame amblas ke tanah. Flame hampir saja terjatuh masuk ke lahar yang mendidih kalau saja aku tak cepat memegang tangannya. Aku lalu menariknya ke atas.
”Kau tidak apa-apa Flame?”
”Untunglah, terima kasih Lunar.”
”Kau harus lebih berhati-hati lagi. Bagaimanapun gunung ini akan meletus dan setiap tanah yang ada di dalam gunung ini akan segera hancur termakan lahar. Kita harus cepat menemukan sumber suara itu.”
Kami kini berada di sebuah pijakan yang cukup aman. Di samping kami memang lahar panas yang mendidih, namun tanah yang kami pijak tampaknya cukup keras dan luas.
”Sepertinya raungan itu berasal dari tempat ini,” tebak Clown. ”Tapi kenapa suara itu sekarang tak terdengar?”
Kami bertiga terdiam. Entah mengapa tiba-tiba suasana menjadi begitu mencekam. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menemukan penyebabnya, karena tiba-tiba saja lahar panas di kanan dan kiri kami menyembur deras ke atas. Kami bertiga saling merapatkan diri menghindari semburan itu. Bagaimanapun pakaian anti panas kami takkan mempu menahan panas lebih lama. Kami pun harus berpacu dengan waktu karena oksigen dalam pakaian kami mulai menipis.
Semburan lahar panas tiba-tiba saja berhenti, namun di kejauhan tampak beberapa semburan yang membentuk lingkaran. Semburan itu tampaknya mengelilingi sesuatu.
”I...itukah.... Groudon?” tunjuk Flame histeris. Dari sela-sela semburan lahar itu memang tampak seekor Pokemon berwarna kemerahan. Dan Pokemon itu tampak marah.
Scene 57: Groudon atau Bukan?
”Kalian tetaplah tenang,” ujar Clown menenangkan. Kami semua memang terkejut melihat Pokemon yang dikelilingi semburan lahar panas itu. Kami tak tahu apa yang kami hadapi, wajar bila kami mulai ketakutan dan Clown menenangkan kami. ”Lunar, sebaiknya mulailah merekam.”
”Baik,” jawabku tegas. Aku mengeluarkan sebuah kamera dan mulai membidik Pokemon tersebut. Kulihat Pokemon itu berdiri dengan keempat kakinya. Kepalanya berwarna putih mengkilat dan kukira kepalanya terbuat dari besi, sementara tubuh Pokemon itu berwarna kemerah-merahan mirip dengan warna lahar yang mendidih. Benar-benar kamuflase yang hebat.
”Lunar, awas!” aku baru saja menemukan sudut bidikan yang bagus saat tiba-tiba Flame mendorong tubuhku. Kami berdua kemudian terjatuh ke tanah. Rupanya Flame menyelamatkanku dari serangan api Pokemon tersebut.
”Sial!” umpat Clown keras. Dia terlihat panik. Aku menoleh dan melihat apa yang membuat Clown panik. Rupanya Pokemon itu mulai melakukan serangan. Dan serangan pertamanya adalah Lava Plume! ”Kalian semua menyingkir!”
Lahar panas melayang mengarah ke arah kami. Aku dan Flame terlambat bergerak dan sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Namun tak terjadi apa-apa. Aku menoleh. Rupanya Magmar milik Clown menahan serangan itu.
Flame bangkit berdiri dan kemudian mengeluarkan Flareon miliknya. Flareon ikut menahan serangan Pokemon itu.
”Sandslash, bantu mereka!” Aku melemparkan Pokeballku dan kemudian Sandslash muncul di hadapan kami. Mungkin Sandslash bukan tipe Fire, tapi dia sudah terbiasa berada di tempat yang panas.
”Kita takkan bisa menahan Pokemon ini lebih lama lagi,” geram Clown. ”Lunar, selesaikan rekamanmu dan kita akan segera keluar dari sini.”
Mendengar itu aku pun kembali merekam pergerakan Pokemon itu. Pokemon itu mulai bergerak dengan tak beraturan. Kusadari dia bergerak menuju ke arah kami!
”Aku sudah selesai!” teriakku setelah merasa cukup mengambil gambar. ”Kita pergi sekarang!”
Kami bertiga, serta Pokemon kami kemudian berlari menjauhi amukan Pokemon misterius itu. Tapi tampaknya Pokemon itu telah mengincar kami dan tak membiarkan kami lari.
Pokemon itu mengeluarkan suara keras diikuti hujan lahar yang beterbangan dari berbagai arah. Kami bertiga berusaha menghindari tetesan-tetesan lahar panas yang mengarah ke arah kami, tapi terlambat. Kami telah terjebak dalam badai Magma dan kumpulan cairan panas itu siap membakar tubuh kami.
”Sekarang bagaimana?” tanyaku mulai panik.
Cairan magma telah menyentuh bajuku dan tak lama lagi baju anti panasku akan terbakar. Tetesan-tetesan lahar itu pun mulai terasa panas membakar tubuhku. Kulihat Sandslash berusaha keras menahan gumpalan-gumpalan lahar itu agar tak mengenai tubuhku. Hal yang sama juga dilakukan oleh Flareon dan Magmar pada pelatih mereka. Tapi Sandslash tak bisa menahan lebih lama. Dia terlihat kesakitan. Aku tak tega membiarkannya berkorban lebih lama. Aku pun mengembalikannya ke dalam Pokeball. Flame melakukan hal yang sama sementara Magmar milik Clown tetap bertahan menangkis semua hujan lahar yang menerpa kami
”Kita terjebak sekarang, dan semoga pakaian anti panas ini bisa bertahan lebih lama dari yang kita harapkan.”
”Aku... aku takut...” ujar Flame ketakutan. Wajahnya benar-benar terlihat ketakutan. ”Kita...kita akan mati...”
”Tidak Flame, kita tidak akan mati,” aku mencoba menenangkan Flame. Ketakutan Flame membuatku hilang konsentrasi sehingga tak menyadari api yang cukup besar datang menerjangku. Aku terjatuh dan pakaian anti panasku mulai terbakar.
”Lunar!” jerit Flame.
“Lunar, kamu tak apa-apa?” Clown menghampiriku. Aku meringis kesakitan. Semburan api itu begitu panas dan aku bisa merasakannya membakar tubuhku sekarang. Panas sekali.
”Lunar! Clown!” Flame kembali menjerit. Aku dan Clown menoleh. Sebuah gumpalan lahar besar melayang ke arah kami dan....
”ARGH!” Flame terhempas ke tanah. Rupanya dia menahan gumpalan lahar itu dengan tubuhnya sendiri. Kini dia terbaring di tanah dengan cairan lahar menyelimuti tubuhnya.
”FLAME!!!” Aku berteriak sangat kencang dan segera bangkit berlari mendekati Flame. Rasa panas masih menyengatku, tapi aku berusaha keras menahannya sekarang. Flame dalam bahaya!
”Apa yang kamu lakukan?” tanya Clown melihatku menyingkirkan lahar panas dari tubuh Flame yang tak sadarkan diri. ”Kamu akan membakar tanganmu sendiri.”
”Aku tak peduli,” jawabku tanpa menghentikan apa yang aku lakukan. ”Hanya ini yang bisa kulakukan saat ini untuk menyelamatkannya.”
”Lunar....”
Aku terus menyingkirkan cairan lahar di tubuh Flame dengan tanganku hingga tanpa kusadari sarung tangan anti panasku telah habis terbakar. Aku pun merasakan panas yang sangat pada kedua tanganku dan berhenti menyingkirkan lahar dari tubuh Flame.
”Lunar, kamu tidak apa-apa?”
”Aku... aku tidak apa-apa..... tapi Flame...”
”Biar aku yang melanjutkan.” Clown mendekati tubuh Flame dan mulai menyingkirkan cairan lahar dari tubuh Flame. Dengan susah payah akhirnya Clown berhasil menyingkirkan semua lahar itu dari tubuh Flame. Setelah semua lahar itu tersingkir dari tubuh Flame, kulihat pakaian anti panas Flame mulai terkikis menyisakan seragam Tim Magma yang dipakainya. Kulihat tubuh Flame menghitam dan kulitnya terkelupas akibat luka bakar. Aku takut keadaannya akan semakin parah.
Ketakutanku bertambah saat tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Aku dan Clown menoleh ke asal suara itu dan melihat luapan lahar yang bergerak cepat ke arah kami. Sebuah tsunami lahar!
”Clown, kita harus segera pergi dari sini!” teriakku histeris. ”Kita harus segera pergi dari sini atau kita semua akan mati!”
”Baik,” jawabku tegas. Aku mengeluarkan sebuah kamera dan mulai membidik Pokemon tersebut. Kulihat Pokemon itu berdiri dengan keempat kakinya. Kepalanya berwarna putih mengkilat dan kukira kepalanya terbuat dari besi, sementara tubuh Pokemon itu berwarna kemerah-merahan mirip dengan warna lahar yang mendidih. Benar-benar kamuflase yang hebat.
”Lunar, awas!” aku baru saja menemukan sudut bidikan yang bagus saat tiba-tiba Flame mendorong tubuhku. Kami berdua kemudian terjatuh ke tanah. Rupanya Flame menyelamatkanku dari serangan api Pokemon tersebut.
”Sial!” umpat Clown keras. Dia terlihat panik. Aku menoleh dan melihat apa yang membuat Clown panik. Rupanya Pokemon itu mulai melakukan serangan. Dan serangan pertamanya adalah Lava Plume! ”Kalian semua menyingkir!”
Lahar panas melayang mengarah ke arah kami. Aku dan Flame terlambat bergerak dan sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Namun tak terjadi apa-apa. Aku menoleh. Rupanya Magmar milik Clown menahan serangan itu.
Flame bangkit berdiri dan kemudian mengeluarkan Flareon miliknya. Flareon ikut menahan serangan Pokemon itu.
”Sandslash, bantu mereka!” Aku melemparkan Pokeballku dan kemudian Sandslash muncul di hadapan kami. Mungkin Sandslash bukan tipe Fire, tapi dia sudah terbiasa berada di tempat yang panas.
”Kita takkan bisa menahan Pokemon ini lebih lama lagi,” geram Clown. ”Lunar, selesaikan rekamanmu dan kita akan segera keluar dari sini.”
Mendengar itu aku pun kembali merekam pergerakan Pokemon itu. Pokemon itu mulai bergerak dengan tak beraturan. Kusadari dia bergerak menuju ke arah kami!
”Aku sudah selesai!” teriakku setelah merasa cukup mengambil gambar. ”Kita pergi sekarang!”
Kami bertiga, serta Pokemon kami kemudian berlari menjauhi amukan Pokemon misterius itu. Tapi tampaknya Pokemon itu telah mengincar kami dan tak membiarkan kami lari.
Pokemon itu mengeluarkan suara keras diikuti hujan lahar yang beterbangan dari berbagai arah. Kami bertiga berusaha menghindari tetesan-tetesan lahar panas yang mengarah ke arah kami, tapi terlambat. Kami telah terjebak dalam badai Magma dan kumpulan cairan panas itu siap membakar tubuh kami.
”Sekarang bagaimana?” tanyaku mulai panik.
Cairan magma telah menyentuh bajuku dan tak lama lagi baju anti panasku akan terbakar. Tetesan-tetesan lahar itu pun mulai terasa panas membakar tubuhku. Kulihat Sandslash berusaha keras menahan gumpalan-gumpalan lahar itu agar tak mengenai tubuhku. Hal yang sama juga dilakukan oleh Flareon dan Magmar pada pelatih mereka. Tapi Sandslash tak bisa menahan lebih lama. Dia terlihat kesakitan. Aku tak tega membiarkannya berkorban lebih lama. Aku pun mengembalikannya ke dalam Pokeball. Flame melakukan hal yang sama sementara Magmar milik Clown tetap bertahan menangkis semua hujan lahar yang menerpa kami
”Kita terjebak sekarang, dan semoga pakaian anti panas ini bisa bertahan lebih lama dari yang kita harapkan.”
”Aku... aku takut...” ujar Flame ketakutan. Wajahnya benar-benar terlihat ketakutan. ”Kita...kita akan mati...”
”Tidak Flame, kita tidak akan mati,” aku mencoba menenangkan Flame. Ketakutan Flame membuatku hilang konsentrasi sehingga tak menyadari api yang cukup besar datang menerjangku. Aku terjatuh dan pakaian anti panasku mulai terbakar.
”Lunar!” jerit Flame.
“Lunar, kamu tak apa-apa?” Clown menghampiriku. Aku meringis kesakitan. Semburan api itu begitu panas dan aku bisa merasakannya membakar tubuhku sekarang. Panas sekali.
”Lunar! Clown!” Flame kembali menjerit. Aku dan Clown menoleh. Sebuah gumpalan lahar besar melayang ke arah kami dan....
”ARGH!” Flame terhempas ke tanah. Rupanya dia menahan gumpalan lahar itu dengan tubuhnya sendiri. Kini dia terbaring di tanah dengan cairan lahar menyelimuti tubuhnya.
”FLAME!!!” Aku berteriak sangat kencang dan segera bangkit berlari mendekati Flame. Rasa panas masih menyengatku, tapi aku berusaha keras menahannya sekarang. Flame dalam bahaya!
”Apa yang kamu lakukan?” tanya Clown melihatku menyingkirkan lahar panas dari tubuh Flame yang tak sadarkan diri. ”Kamu akan membakar tanganmu sendiri.”
”Aku tak peduli,” jawabku tanpa menghentikan apa yang aku lakukan. ”Hanya ini yang bisa kulakukan saat ini untuk menyelamatkannya.”
”Lunar....”
Aku terus menyingkirkan cairan lahar di tubuh Flame dengan tanganku hingga tanpa kusadari sarung tangan anti panasku telah habis terbakar. Aku pun merasakan panas yang sangat pada kedua tanganku dan berhenti menyingkirkan lahar dari tubuh Flame.
”Lunar, kamu tidak apa-apa?”
”Aku... aku tidak apa-apa..... tapi Flame...”
”Biar aku yang melanjutkan.” Clown mendekati tubuh Flame dan mulai menyingkirkan cairan lahar dari tubuh Flame. Dengan susah payah akhirnya Clown berhasil menyingkirkan semua lahar itu dari tubuh Flame. Setelah semua lahar itu tersingkir dari tubuh Flame, kulihat pakaian anti panas Flame mulai terkikis menyisakan seragam Tim Magma yang dipakainya. Kulihat tubuh Flame menghitam dan kulitnya terkelupas akibat luka bakar. Aku takut keadaannya akan semakin parah.
Ketakutanku bertambah saat tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Aku dan Clown menoleh ke asal suara itu dan melihat luapan lahar yang bergerak cepat ke arah kami. Sebuah tsunami lahar!
”Clown, kita harus segera pergi dari sini!” teriakku histeris. ”Kita harus segera pergi dari sini atau kita semua akan mati!”
Scene 58: Melarikan Diri dari Gunung Kanon
”Lunar, cepat! Sebelah sini!” teriak Clown. Kami berdua bergerak melewati hujan lahar yang menjebak kami dan berhasil menghindar dari ombak lahar itu. Clown memimpin di depan sementara aku menggendong Flame yang tak sadarkan diri. Semoga Flame baik-baik saja, batinku.
Kami berhasil melewati badai magma yang menjebak kami, namun Pokemon itu rupanya masih mengejar. Pokemon itu beberapa kali menyemburkan api yang cukup besar ke arah kami. Beruntung kami bisa menghindari serangan itu. Magmar milik Clown sangat membantu mengalihkan perhatian Pokemon itu.
Flame, bertahanlah....
”Clown, lakukan sesuatu!” teriakku panik.
”Iya,” jawab Clown. ”Aku akan melakukan teleport, tapi tidak disini. Terlalu beresiko. Kita cari dulu tempat yang aman.”
”Gunung ini akan meledak! Kau takkan pernah menemukan tempat yang aman dimanapun!”
Memang benar gunung itu akan segera meletus. Bola-bola lahar mulai beterbangan dimana-mana. Ditambah lagi semburan lahar yang mengganas dan sungai lahar yang mulai meluap naik menelan tanah yang ada di sekitarnya. Tanah tempat kami berpijak tadi bahkan sekarang sama sekali tak terlihat. Lama-lama sungai lahar itu akan segera berubah menjadi lautan lahar panas yang siap melelehkan tubuh kami. Hal ini diperburuk dengan keberadaan Pokemon misterius yang mengejar kami. Beruntung Pokemon itu sekarang tak lagi terlihat mengejar kami.
”Kamu benar Lunar, aku tak menemukan tempat yang aman dimanapun. Magmar, terima kasih atas bantuanmu. Sekarang kembalilah!” Clown lalu mengembalikan Magmar ke dalam pokeball dan kemudian melemparkan pokeball dan Abra langsung keluar dari dalamnya. ”Lunar, cepat pegang Abra!”
Aku berlari mengejar Clown. Tubuh Flame menjadikanku lebih lambat dari Clown dan aku harus berusaha keras untuk mengejarnya. Aku hampir saja tiba di tempat Clown dan Abra menunggu ketika tiba-tiba tanah di depanku tenggelam terendam lahar.
”Oh, tidak!” teriakku panik. Lahar itu segera merendam tanah di depanku dan perlahan menjalar merendam tanah tempatku berpijak. Aku kini berdiri tak bergerak menunggu sungai lahar itu merendam kakiku.
”Lunar, cepat lompat!”
Aku sangsi untuk melakukan lompatan. Mustahil bagiku untuk bisa melompat dengan tubuh Flame di punggungku. Bila aku gagal, maka kami berdua akan jatuh tenggelam ke sungai lahar yang mendidih itu.
”Lunar, ayolah!”
”Kau takkan mengatakan hal itu kalau berada dalam posisiku!”
”Kamu tak punya pilihan!”
Clown benar, aku tak punya pilihan. Kalau aku tak melompat sekarang, maka lahar akan segera menelan kami berdua mentah-mentah. Akhirnya aku pun melompat ke tanah yang ada di seberangku. Namun sayang lompatanku tak terlalu jauh sehingga aku terjatuh dan kakiku masuk ke dalam sungai lahar. Aku menjerit sejadi-jadinya merasakan panas yang sangat itu. Beruntung tubuh Flame masih berada di punggungku dan tidak kenapa-napa.
”Clown, cepat ambil Flame!”
Clown bergerak cepat menghampiriku dan mengangkat tubuh Flame dari punggungku. Setelah meletakkan Flame di tempat yang aman, dia membantku bangkit. Aku langsung memegang kakiku yang kesakitan. Celana anti panasku bahkan telah terbakar akibat masuk ke dalam sungai lahar. Sisanya melekat pada kakiku dan menimbulkan rasa sakit yang sangat.
”Lunar, kamu tidak apa-apa?”
”Kurasa aku tak bisa menggerakkan kakiku,” jawabku sambil meringis kesakitan.
”Cepatlah pegang Abra. Kita akan pergi dari sini.” Baru saja Clown berkata seperti itu, sebuah bola api kecil melayang dan mengenai Abra. Abra kemudian terjatuh tak sadarkan diri. ”Oh, tidak... Abra! Abra pingsan!”
”Bagus, dan sekarang kita terjebak di dalam gunung berapi yang akan segera meletus ini,” sahutku pasrah. Tampaknya gunung ini tak mengizinkan kami untuk pergi. Dan itu berarti gunung ini akan menjadi kuburan kami. Tak adakah jalan lain?
”Sial! Kenapa pada saat seperti ini?” Clown tampak gusar. Dia lalu mengguncang-guncangkan tubuh Abra keras. “Abra, bangunlah! Apa kamu mau membiarkanku mati disini begitu saja?”
“Kau membuang waktumu percuma Clown,” ujarku melihat tindakannya. “Kau takkan bisa membangunkannya kecuali kamu memiliki revive.”
“Ayolah Abra... bantu aku sekali ini saja....” Clown tampaknya tak mendengarkanku. Dia masih saja mengguncang-guncangkan tubuh Abra. “Abra, kumohon... bangunlah dan bawa kami keluar....”
Clown berhenti mengguncang Abra. Tampaknya dia sudah menyerah. Saat itulah keajaiban datang. Tiba-tiba Abra mengeluarkan sinar menyilaukan dan dia kemudian.....berevolusi menjadi Kadabra!
“Abra berevolusi menjadi Kadabra!” teriak Clown girang. Tapi sekarang bukan waktunya untuk senang. Abra kecil milik Clown telah berubah menjadi lebih besar, namun dia masih saja pingsan. Aku baru tahu kalau Pokemon bisa berevolusi saat mereka sedang pingsan..
”Clown, awas!” sebuah bola api kecil kembali melayang dan kali ini menuju ke arah Clown. Clown segera menghindar setelah mendengar peringatanku. Tapi tidak Kadabra. Bola api itu mengenainya dan membakar ekor Kadabra. Tiba-tiba saja Kadabra terbangun dan berlari tunggang-langgang kesana-kemari sambil memegangi ekornya yang terbakar.
”Cape deh... ”celetukku melihat tingkah konyol Kadabra itu.
Clown sendiri tampak menggaruk-garuk kepala melihat tingkah Pokemonnya itu. Dia lalu menjulurkan kakinya menjegal Kadabra. Kadabra tersandung kaki Clown dan kemudian terjatuh. Clown menghampiri Kadabra dan kemudian.....
”WOI! BURUAN BAWA KAMI SEMUA KELUAR DARI SINI!”
Kadabra bangun, memegang tangan Clown dan tanganku, sementara aku memegang tangan Flame. Dan kemudian sebuah cahaya mengirim kami pergi dari dalam perut gunung Kanon.
Kami berhasil melewati badai magma yang menjebak kami, namun Pokemon itu rupanya masih mengejar. Pokemon itu beberapa kali menyemburkan api yang cukup besar ke arah kami. Beruntung kami bisa menghindari serangan itu. Magmar milik Clown sangat membantu mengalihkan perhatian Pokemon itu.
Flame, bertahanlah....
”Clown, lakukan sesuatu!” teriakku panik.
”Iya,” jawab Clown. ”Aku akan melakukan teleport, tapi tidak disini. Terlalu beresiko. Kita cari dulu tempat yang aman.”
”Gunung ini akan meledak! Kau takkan pernah menemukan tempat yang aman dimanapun!”
Memang benar gunung itu akan segera meletus. Bola-bola lahar mulai beterbangan dimana-mana. Ditambah lagi semburan lahar yang mengganas dan sungai lahar yang mulai meluap naik menelan tanah yang ada di sekitarnya. Tanah tempat kami berpijak tadi bahkan sekarang sama sekali tak terlihat. Lama-lama sungai lahar itu akan segera berubah menjadi lautan lahar panas yang siap melelehkan tubuh kami. Hal ini diperburuk dengan keberadaan Pokemon misterius yang mengejar kami. Beruntung Pokemon itu sekarang tak lagi terlihat mengejar kami.
”Kamu benar Lunar, aku tak menemukan tempat yang aman dimanapun. Magmar, terima kasih atas bantuanmu. Sekarang kembalilah!” Clown lalu mengembalikan Magmar ke dalam pokeball dan kemudian melemparkan pokeball dan Abra langsung keluar dari dalamnya. ”Lunar, cepat pegang Abra!”
Aku berlari mengejar Clown. Tubuh Flame menjadikanku lebih lambat dari Clown dan aku harus berusaha keras untuk mengejarnya. Aku hampir saja tiba di tempat Clown dan Abra menunggu ketika tiba-tiba tanah di depanku tenggelam terendam lahar.
”Oh, tidak!” teriakku panik. Lahar itu segera merendam tanah di depanku dan perlahan menjalar merendam tanah tempatku berpijak. Aku kini berdiri tak bergerak menunggu sungai lahar itu merendam kakiku.
”Lunar, cepat lompat!”
Aku sangsi untuk melakukan lompatan. Mustahil bagiku untuk bisa melompat dengan tubuh Flame di punggungku. Bila aku gagal, maka kami berdua akan jatuh tenggelam ke sungai lahar yang mendidih itu.
”Lunar, ayolah!”
”Kau takkan mengatakan hal itu kalau berada dalam posisiku!”
”Kamu tak punya pilihan!”
Clown benar, aku tak punya pilihan. Kalau aku tak melompat sekarang, maka lahar akan segera menelan kami berdua mentah-mentah. Akhirnya aku pun melompat ke tanah yang ada di seberangku. Namun sayang lompatanku tak terlalu jauh sehingga aku terjatuh dan kakiku masuk ke dalam sungai lahar. Aku menjerit sejadi-jadinya merasakan panas yang sangat itu. Beruntung tubuh Flame masih berada di punggungku dan tidak kenapa-napa.
”Clown, cepat ambil Flame!”
Clown bergerak cepat menghampiriku dan mengangkat tubuh Flame dari punggungku. Setelah meletakkan Flame di tempat yang aman, dia membantku bangkit. Aku langsung memegang kakiku yang kesakitan. Celana anti panasku bahkan telah terbakar akibat masuk ke dalam sungai lahar. Sisanya melekat pada kakiku dan menimbulkan rasa sakit yang sangat.
”Lunar, kamu tidak apa-apa?”
”Kurasa aku tak bisa menggerakkan kakiku,” jawabku sambil meringis kesakitan.
”Cepatlah pegang Abra. Kita akan pergi dari sini.” Baru saja Clown berkata seperti itu, sebuah bola api kecil melayang dan mengenai Abra. Abra kemudian terjatuh tak sadarkan diri. ”Oh, tidak... Abra! Abra pingsan!”
”Bagus, dan sekarang kita terjebak di dalam gunung berapi yang akan segera meletus ini,” sahutku pasrah. Tampaknya gunung ini tak mengizinkan kami untuk pergi. Dan itu berarti gunung ini akan menjadi kuburan kami. Tak adakah jalan lain?
”Sial! Kenapa pada saat seperti ini?” Clown tampak gusar. Dia lalu mengguncang-guncangkan tubuh Abra keras. “Abra, bangunlah! Apa kamu mau membiarkanku mati disini begitu saja?”
“Kau membuang waktumu percuma Clown,” ujarku melihat tindakannya. “Kau takkan bisa membangunkannya kecuali kamu memiliki revive.”
“Ayolah Abra... bantu aku sekali ini saja....” Clown tampaknya tak mendengarkanku. Dia masih saja mengguncang-guncangkan tubuh Abra. “Abra, kumohon... bangunlah dan bawa kami keluar....”
Clown berhenti mengguncang Abra. Tampaknya dia sudah menyerah. Saat itulah keajaiban datang. Tiba-tiba Abra mengeluarkan sinar menyilaukan dan dia kemudian.....berevolusi menjadi Kadabra!
“Abra berevolusi menjadi Kadabra!” teriak Clown girang. Tapi sekarang bukan waktunya untuk senang. Abra kecil milik Clown telah berubah menjadi lebih besar, namun dia masih saja pingsan. Aku baru tahu kalau Pokemon bisa berevolusi saat mereka sedang pingsan..
”Clown, awas!” sebuah bola api kecil kembali melayang dan kali ini menuju ke arah Clown. Clown segera menghindar setelah mendengar peringatanku. Tapi tidak Kadabra. Bola api itu mengenainya dan membakar ekor Kadabra. Tiba-tiba saja Kadabra terbangun dan berlari tunggang-langgang kesana-kemari sambil memegangi ekornya yang terbakar.
”Cape deh... ”celetukku melihat tingkah konyol Kadabra itu.
Clown sendiri tampak menggaruk-garuk kepala melihat tingkah Pokemonnya itu. Dia lalu menjulurkan kakinya menjegal Kadabra. Kadabra tersandung kaki Clown dan kemudian terjatuh. Clown menghampiri Kadabra dan kemudian.....
”WOI! BURUAN BAWA KAMI SEMUA KELUAR DARI SINI!”
Kadabra bangun, memegang tangan Clown dan tanganku, sementara aku memegang tangan Flame. Dan kemudian sebuah cahaya mengirim kami pergi dari dalam perut gunung Kanon.
Scene 59: Gunung Kanon Meletus
Kami bertiga sudah berada di luar gunung Kanon sekarang. Tapi itu bukan berarti kami sudah aman sekarang. Karena tiba-tiba tanah di bawah kami bergetar sangat keras. Ini gempa bumi, dan itu tandanya.... gunung itu akan meletus!
”Clown, cepat bawa bawa Flame ke helikopter!” teriakku panik. Kakiku tak bisa bergerak akibat terjatuh di sungai lahar tadi dan tentunya aku tak bisa menggendong Flame. Clown mengangguk dan meletakkan Flame di punggungnya setelah sebelumnya memasukkan Kadabra ke dalam pokeball.
”Aku akan kembali!” Clown berkata cepat dan sedetik kemudian dia berlari menggendong Flame ke helikopter yang berada tak jauh dari tempat kami keluar. Aku menunggu dengan cemas mengingat getaran gempa semakin keras. Aku menoleh ke arah gunung Kanon dan kulihat luapan lahar merah membara keluar dari kawah gunung tersebut. Letusan gunung Kanon telah dimulai!
Luapan lahar itu semakin lama semakin banyak dan mulai menuruni kaki gunung hingga kemudian mengaliri desa. Apapun yang dilewatinya langsung hancur meleleh. Memang mengungsi adalah pilihan paling baik untuk saat ini. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Masalahnya adalah... kenapa Clown belum juga kembali untuk menolongku?
Aliran lahar itu semakin cepat dan mulai melelehkan pedesaan. Rumah-rumah yang kami lewati sekarang sudah tidak ada lagi. Dan bila Clown belum juga kembali untuk menolongku, maka aku akan bernasib sama dengan rumah-rumah itu.
Gunung Kanon telah meletus. Ratusan bara api keluar dari mulut kawah gunung itu. Untunglah kami telah keluar dari dalam gunung itu karena kalau tidak kami pasti sudah mati sekarang. Asap hitam legam pun berkobar menantang langit, menawarkan bau gas panas beracun. Aku harus cepat pergi sebelum menghirup gas tersebut lebih lama lagi.
Akhirnya kulihat Clown berlari ke arahku. Dia lalu menghampiriku dan menggendongku.
”Maaf Lunar, aku tadi terjatuh saat terjadi gempa,” ujarnya mulai berlari.
”Tak apa-apa, tapi kusarankan kau untuk agak cepat,” sahutku. ”Dan jangan menoleh ke belakang.”
”Memangnya kenapa?” Clown kemudian menoleh ke belakang dan tiba-tiba dia mempercepat langkahnya. Ombak lahar tengah mengejar kami!
”Ngobrol dong!”
”Sudah kubilang agak cepat bukan?”
Kami berdua berpacu dengan lahar yang mengejar kami. Bukan hanya itu, kami juga harus lincah menghindari bola-bola api yang mulai berjatuhan. Ini seperti lomba lari maraton, tapi bedanya bila kami tak mampu memimpin di depan, kami akan mati.
Kami akhirnya tiba di helikopter. Clown meletakkanku di kursi depan samping pilot sementara dia langsung mengambil alih kemudi. Kulihat Flame terbaring tak sadarkan diri di kursi belakang.
”Tak ada waktu untuk mengobrol, kita harus segera pergi dari pulau ini!”
Clown dengan cepat menerbangkan helikopter. Kami kini terbang di atas pulau Merah yang tengah membara. Terlihat jelas suasana letusan gunung Kanon yang mengerikan dari atas helikopter. Asap membumbung memenuhi langit sementara bola-bola api berjatuhan dari kawah Gunung Kanon. Tempat helikopter kami mendarat tadi sekarang telah tertupi dengan lautan lahar yang panas. Untunglah kami berhasil pergi tepat waktu.
”Ini,” ujar Clown melemparkan dua botol Burn Heal, obat anti bakar padaku. ”Obati luka di kakimu dan setelah itu obati Flame.”
”Ya.” Aku menyemprotkan obat itu ke sekujur kakiku setelah sebelumnya membuka pakaian anti panasku yang terbakar disana-sini. Clown juga telah melepaskan pakaian anti panasnya dan membuangnya begitu saja di udara.
Setelah merasakan efek di kakiku, aku segera berpindah ke kursi belakang. Kubuka pakaian anti panas Flame yang masih tersisa dan mulai mengobati luka bakar di tubuh Flame. Lukanya begitu parah dan obat yang diberikan Clown tidak cukup untuknya. Flame membutuhkan perawatan yang intensif. Kulihat dia tampak kesakitan dan aku tak tega melihatnya seperti ini.
”Clown, kita harus ke rumah sakit untuk mengobati Flame. Lukanya bisa saja semakin parah.”
”Kamu pikir aku ini mau kemana? Rekreasi?”
Aku memandang keluar. Kami masih ada di atas lautan luas. Setelah ini kami akan langsung kembali ke Hoenn, kembali ke Continent Magmarine. Tapi mampukah Flame bertahan selama perjalanan ini?
Flame, bertahanlah.... batinku sedih. Aku memang sudah mendapat firasat buruk mengenai misi ini, dan hal itu menjadi kenyataan sekarang. Flame sekarat, dan kami harus segera mengobatinya.
”Lunar, kita kehabisan bahan bakar,” kata Clown tiba-tiba. ”Kita akan mendarat untuk mengisi bensin.”
”Oh, kenapa hari kita bisa begitu berat? Ini pasti akan memakan waktu,” keluhku. ”Baiklah, kota apa yang terdekat dari posisi kita saat ini? Kuharap kita bisa menemukan rumah sakit disana.”
”Kita di pantai utara Hoenn sekarang. Kota yang paling dekat adalah Kota Fortree. Namun bahan bakar kita tak memungkinkan untuk mencapai kota itu. Kita mungkin hanya akan mencapai wilayah di dekat kota itu saja,” jelas Clown.
”Tak apa, kita akan turun dan pergi ke kota itu. Kakiku sudah membaik sekarang dan aku bisa membawa Flame ke rumah sakit sementara kau mencarikan bahan bakar untuk helikopter kita. Bagaimana?”
”Itu juga tak apa-apa,” jawab Clown. ”Aku akan melaporkan hal ini pada Tabitha.”
Tak lama kemudian kami mendaratkan helikopter di daratan yang penuh dengan ilalang. Kami turun dari helikopter dan bergegas menuju kota. Tapi belum jauh melangkah, tampak kobaran api besar menghadang kami. Rupanya padang ilalang di depan kami tengah terbakar hebat.
”Sial! Sepertinya ini bukan hari keberuntungan kita....Kenapa hari ini kita bisa begitu sial?” umpat Clown kesal.
”Clown, cepat bawa bawa Flame ke helikopter!” teriakku panik. Kakiku tak bisa bergerak akibat terjatuh di sungai lahar tadi dan tentunya aku tak bisa menggendong Flame. Clown mengangguk dan meletakkan Flame di punggungnya setelah sebelumnya memasukkan Kadabra ke dalam pokeball.
”Aku akan kembali!” Clown berkata cepat dan sedetik kemudian dia berlari menggendong Flame ke helikopter yang berada tak jauh dari tempat kami keluar. Aku menunggu dengan cemas mengingat getaran gempa semakin keras. Aku menoleh ke arah gunung Kanon dan kulihat luapan lahar merah membara keluar dari kawah gunung tersebut. Letusan gunung Kanon telah dimulai!
Luapan lahar itu semakin lama semakin banyak dan mulai menuruni kaki gunung hingga kemudian mengaliri desa. Apapun yang dilewatinya langsung hancur meleleh. Memang mengungsi adalah pilihan paling baik untuk saat ini. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Masalahnya adalah... kenapa Clown belum juga kembali untuk menolongku?
Aliran lahar itu semakin cepat dan mulai melelehkan pedesaan. Rumah-rumah yang kami lewati sekarang sudah tidak ada lagi. Dan bila Clown belum juga kembali untuk menolongku, maka aku akan bernasib sama dengan rumah-rumah itu.
Gunung Kanon telah meletus. Ratusan bara api keluar dari mulut kawah gunung itu. Untunglah kami telah keluar dari dalam gunung itu karena kalau tidak kami pasti sudah mati sekarang. Asap hitam legam pun berkobar menantang langit, menawarkan bau gas panas beracun. Aku harus cepat pergi sebelum menghirup gas tersebut lebih lama lagi.
Akhirnya kulihat Clown berlari ke arahku. Dia lalu menghampiriku dan menggendongku.
”Maaf Lunar, aku tadi terjatuh saat terjadi gempa,” ujarnya mulai berlari.
”Tak apa-apa, tapi kusarankan kau untuk agak cepat,” sahutku. ”Dan jangan menoleh ke belakang.”
”Memangnya kenapa?” Clown kemudian menoleh ke belakang dan tiba-tiba dia mempercepat langkahnya. Ombak lahar tengah mengejar kami!
”Ngobrol dong!”
”Sudah kubilang agak cepat bukan?”
Kami berdua berpacu dengan lahar yang mengejar kami. Bukan hanya itu, kami juga harus lincah menghindari bola-bola api yang mulai berjatuhan. Ini seperti lomba lari maraton, tapi bedanya bila kami tak mampu memimpin di depan, kami akan mati.
Kami akhirnya tiba di helikopter. Clown meletakkanku di kursi depan samping pilot sementara dia langsung mengambil alih kemudi. Kulihat Flame terbaring tak sadarkan diri di kursi belakang.
”Tak ada waktu untuk mengobrol, kita harus segera pergi dari pulau ini!”
Clown dengan cepat menerbangkan helikopter. Kami kini terbang di atas pulau Merah yang tengah membara. Terlihat jelas suasana letusan gunung Kanon yang mengerikan dari atas helikopter. Asap membumbung memenuhi langit sementara bola-bola api berjatuhan dari kawah Gunung Kanon. Tempat helikopter kami mendarat tadi sekarang telah tertupi dengan lautan lahar yang panas. Untunglah kami berhasil pergi tepat waktu.
”Ini,” ujar Clown melemparkan dua botol Burn Heal, obat anti bakar padaku. ”Obati luka di kakimu dan setelah itu obati Flame.”
”Ya.” Aku menyemprotkan obat itu ke sekujur kakiku setelah sebelumnya membuka pakaian anti panasku yang terbakar disana-sini. Clown juga telah melepaskan pakaian anti panasnya dan membuangnya begitu saja di udara.
Setelah merasakan efek di kakiku, aku segera berpindah ke kursi belakang. Kubuka pakaian anti panas Flame yang masih tersisa dan mulai mengobati luka bakar di tubuh Flame. Lukanya begitu parah dan obat yang diberikan Clown tidak cukup untuknya. Flame membutuhkan perawatan yang intensif. Kulihat dia tampak kesakitan dan aku tak tega melihatnya seperti ini.
”Clown, kita harus ke rumah sakit untuk mengobati Flame. Lukanya bisa saja semakin parah.”
”Kamu pikir aku ini mau kemana? Rekreasi?”
Aku memandang keluar. Kami masih ada di atas lautan luas. Setelah ini kami akan langsung kembali ke Hoenn, kembali ke Continent Magmarine. Tapi mampukah Flame bertahan selama perjalanan ini?
Flame, bertahanlah.... batinku sedih. Aku memang sudah mendapat firasat buruk mengenai misi ini, dan hal itu menjadi kenyataan sekarang. Flame sekarat, dan kami harus segera mengobatinya.
”Lunar, kita kehabisan bahan bakar,” kata Clown tiba-tiba. ”Kita akan mendarat untuk mengisi bensin.”
”Oh, kenapa hari kita bisa begitu berat? Ini pasti akan memakan waktu,” keluhku. ”Baiklah, kota apa yang terdekat dari posisi kita saat ini? Kuharap kita bisa menemukan rumah sakit disana.”
”Kita di pantai utara Hoenn sekarang. Kota yang paling dekat adalah Kota Fortree. Namun bahan bakar kita tak memungkinkan untuk mencapai kota itu. Kita mungkin hanya akan mencapai wilayah di dekat kota itu saja,” jelas Clown.
”Tak apa, kita akan turun dan pergi ke kota itu. Kakiku sudah membaik sekarang dan aku bisa membawa Flame ke rumah sakit sementara kau mencarikan bahan bakar untuk helikopter kita. Bagaimana?”
”Itu juga tak apa-apa,” jawab Clown. ”Aku akan melaporkan hal ini pada Tabitha.”
Tak lama kemudian kami mendaratkan helikopter di daratan yang penuh dengan ilalang. Kami turun dari helikopter dan bergegas menuju kota. Tapi belum jauh melangkah, tampak kobaran api besar menghadang kami. Rupanya padang ilalang di depan kami tengah terbakar hebat.
”Sial! Sepertinya ini bukan hari keberuntungan kita....Kenapa hari ini kita bisa begitu sial?” umpat Clown kesal.