Seorang lelaki berbaju merah berjalan cepat mendaki Gunung Chimney. Lelaki itu menerabas semak belukar dan rerumputan yang menghalanginya, seolah tak memedulikan kondisi yang ada di sekelilingnya. Nafas terdengar memburu dari mulutnya.
“Hah… hah… melelahkan sekali…” ujar lelaki itu terengah-engah. Dia lalu menatap jauh ke atas dan melihat sebuah batu besar di seberang sana lalu tersenyum seraya menghembuskan nafas lega. “Ah… akhirnya tiba juga di markas…”
Scene 14: Pendakian Gunung Chimney
Aku melanjutkan perjalanan setelah mendapat badge pertamaku. Sekarang, aku telah berada di gunung berapi satu-satunya di Hoenn, Gunung Chimney. Kuputuskan untuk mendaki gunung ini menuju kota berikutnya. Sembari melatih diri melawan para trainer yang kujumpai di sepanjang pendakian ini. Salah satunya yaitu Eric, seorang hiker atau pendaki yang menantangku bertarung.
“Sandshrew, Scratch!” perintahku keras.
Sandshrew pun mencakar Geodude yang ada di depannya. Tantangan dari Eric memang tak kusia-siakan. Karena aku butuh pertarungan ini untuk melatih Sandshrewku untuk menambah experience atau pengalaman bertarungnya. Semakin banyak experience atau exp yang didapatkan, semakin kuat pula Pokemon kita. Dan, bila mencapai level tertentu, Pokemon kita bisa berevolusi menjadi bentuk baru yang lebih kuat dan keren!
Geodude terdesak terkena cakaran dari Sandshrew. Meski begitu tampaknya serangan Sandshrew tadi tidak begitu melukai Geodude.
“Geodude, Tackle!” perintah Eric membalas seranganku. Geodude bergerak cepat ke arah Sandshrew, berniat menubruknya dengan keras. Haha... klasik sekali rupanya. Kalau begitu...
”Sandshrew, Sand-attack!”
Sandshrew menendang pasir ke arah Geodude sehingga Pokemon batu dengan dua lengan itu tampak kesulitan mengendalikan tubuhnya. Meski begitu, tubuh Geodude tepat mengenai wajah Sandshrew. Kini ganti Sandshrew yang terpukul mundur.
”Geodude, Rock Throw!” Eric langsung memberi perintah baru, seolah tidak mau terlewat momen di depannya. Geodude pun langsung melemparkan bebatuan ke arah Sandshrew. Namun kali ini serangannya meleset. Sekarang, inilah kesempatanku!
”Sandshrew, Rock Smash!”
Sandshrew bergerak cepat melayangkan pukulannya ke arah Geodude. Pukulan itu mendarat telak dan menghempaskan Geodude jatuh ke tanah. Geodude pingsan.
”Geodude, kembali!” teriak Eric memasukkan kembali Pokemonnya ke dalam PokeBall. Dia lalu melihat ke arahkuk. ”Kamu hebat Lunar, aku salut padamu,” pujinya.
”Ah, itu biasa saja,” sahutku merendah. ”Ini semua berkat Sandshrew,” lanjutku sembari menoleh pada Sandshrew. Saat itulah tiba-tiba kulihat saja tubuh Sandshrew tampak bersinar. ”Sandshrew, ada apa?” tanyaku panik. Cahaya putih itu tampak silau menyelimuti tubuh Sandshrew. Apa... Apa Sandshrew terluka?
”Jangan panik Lunar,” ujar Eric melihat kecemasanku. ”Tenang saja, tampaknya Pokemonmu akan berevolusi,” sambungnya menenangkanku.
”Apa katamu? Berevolusi?”
Oh, iya! Seperti yang kukatakan tadi. Pokemon dapat berevolusi menjadi wujud yang lebih tangguh bila telah sampai pada level tertentu. Dan sepertinya Sandshrew kecilku akan segera berevolusi. Kalau tidak salah evolusi Sandshrew adalah.....
”Sandslash!”
Kulihat dari punggung Sandshrew muncul sisik-sisik berwarna cokelat yang besar dan tajam menyerupai duri raksasa. Tubuhnya pun membesar dua kali lipat dari tubuh sebelumnya, tangan dan cakarnya juga. Sandshrew kecilku telah berevolusi menjadi Sandslash!
”Selamat Lunar, Sandshrew milikmu telah berubah menjadi Sandslash. Kamu pasti telah merawatnya dengan baik,” puji sang Eric melihat kejadian evolusi itu.
”Terima kasih Eric,” sahutku senang. ”Ini juga berkat pertarungan denganmu tadi.”
”Hahaha... Senang bertarung denganmu Lunar. Sepertinya aku harus turun gunung sekarang. Kuharap kita bisa bertarung lagi di pertemuan berikutnya,” kata Eric ramah.
Aku mengangguk mengiyakan. ”Ya, pertarungan ini pasti tidak akan pernah kulupakan,” balasku sumringah.
--------------------------------------
Setelah pamit dari Eric, aku dan Sandhsrew yang kini telah berubah menjadi Sandslash pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung Chimney. Melewati jalan pintas yang terjal dari kota Lavaridge. Tujuanku adalah gunung Chimney, dimana aku ingin berkunjung lagi ke puncaknya sejak kedatanganku terakhir kali di gunung ini saat aku masih kecil dulu.
Jalan mendaki ini cukup susah dilewati dengan sepeda, namun untungnya sepedaku adalah sepeda akrobat sehingga aku bisa melewati bebatuan yang menghadang walaupun aku harus bersusah payah mengatur keseimbangannya. Kalau tahu seperti ini lebih baik kutitipkan sepedaku pada Flannery. Tapi tak apa-apa, lagipula nanti sesampainya di puncak gunung aku bisa dengan mudah menuruni jalan menurun menuju desa ninja Abu. Yeah, desa tempat tinggal kelompok ninja yang kukalahkan waktu itu di Lavaridge.
Semakin ke atas, medan Gunung Chimney semakin sulit saja. Saat tengah berusaha melewati bebatuan cadas yang menghalangi, tanpa sengaja aku melihat seseorang berpakaian serba merah berjalan di dalam rimbunnya pepohonan. Orang itu tampaknya tergesa-gesa. Siapa orang itu ya?
Karena penasaran, aku lalu meletakkan sepedaku, memasukkan Sandslash ke dalam pokeball dan berjalan mengikuti sosok tersebut sambil mengendap-endap. Perlahan tapi pasti aku mengikutinya hingga sosok berbaju merah tersebut berhenti di depan sebuah jalan buntu. Hanya ada dinding gunung yang terjal di depannya. Sosok itu lalu mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti medali dari dalam sakunya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Tiba-tiba sebuah pintu pada dinding gunung itu bergerak terbuka ke atas. Sosok itu pun masuk ke dalamnya setelah melihat sekilas ke kanan dan kiri. Setelah lelaki itu masuk, pintu besar itu kembali menutup.
Hmm, seperti cerita Alibaba saja, pikirku. Tapi siapa ya sosok berbaju merah itu? Dan apa yang ada di dalam bukit itu? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku penasaran saja. Aku pun berjalan mendekati dinding yang tadinya terbuka. Kuketok-ketok dinding itu perlahan, namun dinding itu tetaplah dinding gunung yang keras. Apa mungkin aku perlu medali seperti yang dipegang orang tadi untuk membuka pintu rahasia itu? Pasti ada sesuatu dibalik dinding gunung ini. Apakah mungkin isinya harta karun seperti dalam kisah Alibaba? Mungkinkah orang itu adalah salah seorang dari kelompok penyamun? Kalau memang benar, sepertinya aku sedang dalam bahaya. Tentu insting bahaya seharusnya membawaku untuk menyingkir dari tempat itu. Namun rasa penasaran membuatku tetap ingin berada disana. Kenyataannya, seharusnya aku mengikuti instingku mengenai bahaya tempat itu. Karena tiba-tiba saja sesuatu yang menyengat menyerang tubuhku... dan aku pun jatuh pingsan.
“Sandshrew, Scratch!” perintahku keras.
Sandshrew pun mencakar Geodude yang ada di depannya. Tantangan dari Eric memang tak kusia-siakan. Karena aku butuh pertarungan ini untuk melatih Sandshrewku untuk menambah experience atau pengalaman bertarungnya. Semakin banyak experience atau exp yang didapatkan, semakin kuat pula Pokemon kita. Dan, bila mencapai level tertentu, Pokemon kita bisa berevolusi menjadi bentuk baru yang lebih kuat dan keren!
Geodude terdesak terkena cakaran dari Sandshrew. Meski begitu tampaknya serangan Sandshrew tadi tidak begitu melukai Geodude.
“Geodude, Tackle!” perintah Eric membalas seranganku. Geodude bergerak cepat ke arah Sandshrew, berniat menubruknya dengan keras. Haha... klasik sekali rupanya. Kalau begitu...
”Sandshrew, Sand-attack!”
Sandshrew menendang pasir ke arah Geodude sehingga Pokemon batu dengan dua lengan itu tampak kesulitan mengendalikan tubuhnya. Meski begitu, tubuh Geodude tepat mengenai wajah Sandshrew. Kini ganti Sandshrew yang terpukul mundur.
”Geodude, Rock Throw!” Eric langsung memberi perintah baru, seolah tidak mau terlewat momen di depannya. Geodude pun langsung melemparkan bebatuan ke arah Sandshrew. Namun kali ini serangannya meleset. Sekarang, inilah kesempatanku!
”Sandshrew, Rock Smash!”
Sandshrew bergerak cepat melayangkan pukulannya ke arah Geodude. Pukulan itu mendarat telak dan menghempaskan Geodude jatuh ke tanah. Geodude pingsan.
”Geodude, kembali!” teriak Eric memasukkan kembali Pokemonnya ke dalam PokeBall. Dia lalu melihat ke arahkuk. ”Kamu hebat Lunar, aku salut padamu,” pujinya.
”Ah, itu biasa saja,” sahutku merendah. ”Ini semua berkat Sandshrew,” lanjutku sembari menoleh pada Sandshrew. Saat itulah tiba-tiba kulihat saja tubuh Sandshrew tampak bersinar. ”Sandshrew, ada apa?” tanyaku panik. Cahaya putih itu tampak silau menyelimuti tubuh Sandshrew. Apa... Apa Sandshrew terluka?
”Jangan panik Lunar,” ujar Eric melihat kecemasanku. ”Tenang saja, tampaknya Pokemonmu akan berevolusi,” sambungnya menenangkanku.
”Apa katamu? Berevolusi?”
Oh, iya! Seperti yang kukatakan tadi. Pokemon dapat berevolusi menjadi wujud yang lebih tangguh bila telah sampai pada level tertentu. Dan sepertinya Sandshrew kecilku akan segera berevolusi. Kalau tidak salah evolusi Sandshrew adalah.....
”Sandslash!”
Kulihat dari punggung Sandshrew muncul sisik-sisik berwarna cokelat yang besar dan tajam menyerupai duri raksasa. Tubuhnya pun membesar dua kali lipat dari tubuh sebelumnya, tangan dan cakarnya juga. Sandshrew kecilku telah berevolusi menjadi Sandslash!
”Selamat Lunar, Sandshrew milikmu telah berubah menjadi Sandslash. Kamu pasti telah merawatnya dengan baik,” puji sang Eric melihat kejadian evolusi itu.
”Terima kasih Eric,” sahutku senang. ”Ini juga berkat pertarungan denganmu tadi.”
”Hahaha... Senang bertarung denganmu Lunar. Sepertinya aku harus turun gunung sekarang. Kuharap kita bisa bertarung lagi di pertemuan berikutnya,” kata Eric ramah.
Aku mengangguk mengiyakan. ”Ya, pertarungan ini pasti tidak akan pernah kulupakan,” balasku sumringah.
--------------------------------------
Setelah pamit dari Eric, aku dan Sandhsrew yang kini telah berubah menjadi Sandslash pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung Chimney. Melewati jalan pintas yang terjal dari kota Lavaridge. Tujuanku adalah gunung Chimney, dimana aku ingin berkunjung lagi ke puncaknya sejak kedatanganku terakhir kali di gunung ini saat aku masih kecil dulu.
Jalan mendaki ini cukup susah dilewati dengan sepeda, namun untungnya sepedaku adalah sepeda akrobat sehingga aku bisa melewati bebatuan yang menghadang walaupun aku harus bersusah payah mengatur keseimbangannya. Kalau tahu seperti ini lebih baik kutitipkan sepedaku pada Flannery. Tapi tak apa-apa, lagipula nanti sesampainya di puncak gunung aku bisa dengan mudah menuruni jalan menurun menuju desa ninja Abu. Yeah, desa tempat tinggal kelompok ninja yang kukalahkan waktu itu di Lavaridge.
Semakin ke atas, medan Gunung Chimney semakin sulit saja. Saat tengah berusaha melewati bebatuan cadas yang menghalangi, tanpa sengaja aku melihat seseorang berpakaian serba merah berjalan di dalam rimbunnya pepohonan. Orang itu tampaknya tergesa-gesa. Siapa orang itu ya?
Karena penasaran, aku lalu meletakkan sepedaku, memasukkan Sandslash ke dalam pokeball dan berjalan mengikuti sosok tersebut sambil mengendap-endap. Perlahan tapi pasti aku mengikutinya hingga sosok berbaju merah tersebut berhenti di depan sebuah jalan buntu. Hanya ada dinding gunung yang terjal di depannya. Sosok itu lalu mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti medali dari dalam sakunya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Tiba-tiba sebuah pintu pada dinding gunung itu bergerak terbuka ke atas. Sosok itu pun masuk ke dalamnya setelah melihat sekilas ke kanan dan kiri. Setelah lelaki itu masuk, pintu besar itu kembali menutup.
Hmm, seperti cerita Alibaba saja, pikirku. Tapi siapa ya sosok berbaju merah itu? Dan apa yang ada di dalam bukit itu? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku penasaran saja. Aku pun berjalan mendekati dinding yang tadinya terbuka. Kuketok-ketok dinding itu perlahan, namun dinding itu tetaplah dinding gunung yang keras. Apa mungkin aku perlu medali seperti yang dipegang orang tadi untuk membuka pintu rahasia itu? Pasti ada sesuatu dibalik dinding gunung ini. Apakah mungkin isinya harta karun seperti dalam kisah Alibaba? Mungkinkah orang itu adalah salah seorang dari kelompok penyamun? Kalau memang benar, sepertinya aku sedang dalam bahaya. Tentu insting bahaya seharusnya membawaku untuk menyingkir dari tempat itu. Namun rasa penasaran membuatku tetap ingin berada disana. Kenyataannya, seharusnya aku mengikuti instingku mengenai bahaya tempat itu. Karena tiba-tiba saja sesuatu yang menyengat menyerang tubuhku... dan aku pun jatuh pingsan.
Scene 15: Tertangkap Tim Magma
Aku terbangun di sebuah ruangan pengap dengan hawa cukup panas. Aku terduduk di atas sebuah kursi keras terbuat dari besi, dengan kedua tangan dan kakiku terikat lempengan besi pada kedua tepian kursi itu. Kulihat seorang gadis manis dengan rambut warna merah berjambul jingga duduk di kursi itu.
”Di...dimana aku?” tanyaku panik menyadari anggota tubuhku terikat ketat di kursi itu. ”Kenapa aku bisa ada disini?”
”Kamu sudah sadar rupanya,” ujar gadis itu memandang ke arahku. ”Kamu sekarang berada di dalam markas rahasia Tim Magma,” kata gadis itu menjawab pertanyaanku.
Tim... Magma?
”Apa katamu?” aku terkejut. ”Di markas Tim Magma? Siapa itu Tim Magma? Dan siapa kamu?” cercaku tak sabar. Gadis itu terdiam dan tak menjawab. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan. ”Hei!” teriakku. ”Kemana kamu? Jawab dulu pertanyaanku!” Tapi gadis itu tetap berjalan keluar ruangan. Kini diia meninggalkanku sendiri di dalam ruangan.
Aku menghela nafas panjang dan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi terakhir kali. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengingatnya. Aku ingat aku mengikuti seseorang dengan pakaian berwarna merah yang masuk ke dalam sebuah dinding gunung. Dan saat itulah aku merasakan sengatan di tubuhku yang kemudian membuatku tak sadar. Itulah hal terakhir yang kuingat. Sampai aku terbangun, terikat di atas kursi dan melihat seragam yang sama yang dikenakan orang itu pada gadis tadi? Hei, kenapa mereka bisa seragam? Apakah mereka itu yang tadi disebut.... Tim Magma?
Ja... Jadi aku tertangkap oleh mereka? Mereka yang disebut Tim Magma? Siapa Tim Magma? Oh, begitu banyak pertanyaan di benakku saat ini. Tapi meski begitu aku terus berusaha berpikir positif dan berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padaku.
Saat tengah berharap itulah, tak lama masuk seorang lelaki berambut merah dengan baju berwarna perpaduan merah dan hitam. Lelaki itu tampaknya seusia dengan ayahku bila ayahku masih hidup. Di belakang lelaki itu ada dua orang lelaki berpakaian merah hitam dengan tudung bertanduk yang menutupi sebagian kepala mereka. Kostum yang sama yang dikenakan lelaki dan gadis tadi.
”Apa kabar Nak?” tanya lelaki berambut merah. ”Tak kusangka kamu berani memata-matai kami. Apa kamu ini mata-mata Tim Aqua?” tanyanya cepat.
Tim Aqua dia bilang? Siapa lagi itu Tim Aqua, pikirku. Aku diam saja, bingung harus menjawab apa karena aku memang tak tahu apa yang dia bicarakan.
”Aku menunggu jawabanmu Nak!” seru lelaki itu dengan nada keras.
”Um...aku tak tahu apa-apa tentang Tim Aqua apalagi tentang kalian. Siapa kalian ini sebenarnya?” jawabku balik bertanya.
“Jangan bercanda Nak,” sahut lelaki itu. Dia memandangku dengan seksama, menatapku dengan penuh curiga. ”Kamu sepertinya tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Baiklah, lebih baik kuperkenalkan diriku dulu. Namaku Maxie, pemimpin Tim Magma.”
Maxie? Pemimpin Tim Magma? Jadi mereka ini...
”Aku....aku benar-benar tak mengenal kalian,” belaku cepat.
”Jangan berlagak bodoh! Kamu mencoba menutupi penyamaranmu ya?” tanya Maxie kasar. Tapi cepat saja perangainya berubah tenang, seolah menyadari sikapnya. ”Sebelumnya aku minta maaf kalau aku agak kasar padamu, aku terlalu banyak masalah saat ini, jadi aku tidak mau menambah masalahku dengan meladenimu,” ujarnya dengan raut muka sedih, berbeda dengan raut muka sebelumnya yang tampak marah. Dia lalu menatap mataku lekat. ”Nak, kalau kamu jujur, kami tak akan melukaimu. Kami hanya butuh kerjasama saja.”
”Aku benar-benar tidak tahu, aku ini cuma trainer Pokemon biasa!” aku berusaha menjawab sejujurnya. Karena memang itu yang sejujurnya.
”Lalu kenapa kamu menguntit anak buahku dan mengendap-endap di depan markasku?”
”Eh? Menguntit?” aku langsung tahu apa yang dibicarakan Maxie. Hmm, jadi begitu... ”Aku hanya penasaran, karena itu aku mengikuti anak buahmu mungkin, dan aku melihat dinding gunung yang terbuka,” kataku mencoba meyakinkan lelaki bernama Maxie itu.
”Apa kamu berkata jujur tentang itu?” tanya Maxie curiga. Cepat saja aku menggangguk menanggapinya. Maxie menghela napas pendek lalu menoleh ke arah lelaki bertudung di sampingnya. ”Baiklah Tabitha, seperti kita perlu melakukan cara itu” ujarnya pada lelaki di sampingnya itu. Lelaki yang dipanggil Tabitha lalu memberikan sebuah benda kecil kepadanya, menyerupai remote. ”Kita lihat apa kau sudah berkata sejujurnya,” kata Maxie menyeringai mengerikan ke arahku.
Aku tak tahu maksud perkataannya, namun saat dia menekan tombol pada benda kecil itu, tiba-tiba kurasakan sengatan aliran listrik dahsyat mengaliri tubuhku. Rasanya sangat menyakitkan hingga aku meronta begitu keras. Rupanya kursi itu adalah kursi listrik. Listrik mengalir melalui besi-besi yang mengikat tangan dan kakiku.
”ARRGHH!” rontaku kesakitan.
Tiba-tiba saja aliran listrik berhenti. Maxie lalu berjalan mendekatiku. ”Sekarang coba katakan siapa dirimu sebenarnya?” tanyanya dengan suara lembut yang dipaksakan. Pertanyaannya benar-benar menakutkan.
”A...aku cuma trainer ..... Pokemon.....” jawabku terengah-engah karena masih merasakan rasa sakit akibat sengatan tadi. Sesaat setelah mengatakan itu tiba-tiba saja aku kembali merasakan sengatan listrik. Kali ini lebih menyakitkan dari yang pertama. ”ARRGHHH!!!” aku meronta sangat keras seolah pita suaraku akan pecah. Dan sedetik kemudian sengatan itu menghilang.
”Aku bisa lebih kasar lagi kalau kamu tak mau bekerjasama,” ujar Maxie sinis. ”Baiklah, darimana asalmu?”
”Ver.....verdan.....turf....” jawabku terbata-bata. Rasa sakit tadi membuatku sulit berbicara.
“Verdanturf? Kamu mencoba mengarang ya? Baiklah, sekarang coba rasakan yang ini.” Maxie hendak menekan benda kecil pengendali tempat tidur listrik itu saat tiba-tiba gadis berambut merah dengan jambul jingga yang tadi duduk di sebelahku masuk ke dalam ruangan.
”Tunggu Paman Maxie!”
”Di...dimana aku?” tanyaku panik menyadari anggota tubuhku terikat ketat di kursi itu. ”Kenapa aku bisa ada disini?”
”Kamu sudah sadar rupanya,” ujar gadis itu memandang ke arahku. ”Kamu sekarang berada di dalam markas rahasia Tim Magma,” kata gadis itu menjawab pertanyaanku.
Tim... Magma?
”Apa katamu?” aku terkejut. ”Di markas Tim Magma? Siapa itu Tim Magma? Dan siapa kamu?” cercaku tak sabar. Gadis itu terdiam dan tak menjawab. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan. ”Hei!” teriakku. ”Kemana kamu? Jawab dulu pertanyaanku!” Tapi gadis itu tetap berjalan keluar ruangan. Kini diia meninggalkanku sendiri di dalam ruangan.
Aku menghela nafas panjang dan mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi terakhir kali. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengingatnya. Aku ingat aku mengikuti seseorang dengan pakaian berwarna merah yang masuk ke dalam sebuah dinding gunung. Dan saat itulah aku merasakan sengatan di tubuhku yang kemudian membuatku tak sadar. Itulah hal terakhir yang kuingat. Sampai aku terbangun, terikat di atas kursi dan melihat seragam yang sama yang dikenakan orang itu pada gadis tadi? Hei, kenapa mereka bisa seragam? Apakah mereka itu yang tadi disebut.... Tim Magma?
Ja... Jadi aku tertangkap oleh mereka? Mereka yang disebut Tim Magma? Siapa Tim Magma? Oh, begitu banyak pertanyaan di benakku saat ini. Tapi meski begitu aku terus berusaha berpikir positif dan berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padaku.
Saat tengah berharap itulah, tak lama masuk seorang lelaki berambut merah dengan baju berwarna perpaduan merah dan hitam. Lelaki itu tampaknya seusia dengan ayahku bila ayahku masih hidup. Di belakang lelaki itu ada dua orang lelaki berpakaian merah hitam dengan tudung bertanduk yang menutupi sebagian kepala mereka. Kostum yang sama yang dikenakan lelaki dan gadis tadi.
”Apa kabar Nak?” tanya lelaki berambut merah. ”Tak kusangka kamu berani memata-matai kami. Apa kamu ini mata-mata Tim Aqua?” tanyanya cepat.
Tim Aqua dia bilang? Siapa lagi itu Tim Aqua, pikirku. Aku diam saja, bingung harus menjawab apa karena aku memang tak tahu apa yang dia bicarakan.
”Aku menunggu jawabanmu Nak!” seru lelaki itu dengan nada keras.
”Um...aku tak tahu apa-apa tentang Tim Aqua apalagi tentang kalian. Siapa kalian ini sebenarnya?” jawabku balik bertanya.
“Jangan bercanda Nak,” sahut lelaki itu. Dia memandangku dengan seksama, menatapku dengan penuh curiga. ”Kamu sepertinya tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Baiklah, lebih baik kuperkenalkan diriku dulu. Namaku Maxie, pemimpin Tim Magma.”
Maxie? Pemimpin Tim Magma? Jadi mereka ini...
”Aku....aku benar-benar tak mengenal kalian,” belaku cepat.
”Jangan berlagak bodoh! Kamu mencoba menutupi penyamaranmu ya?” tanya Maxie kasar. Tapi cepat saja perangainya berubah tenang, seolah menyadari sikapnya. ”Sebelumnya aku minta maaf kalau aku agak kasar padamu, aku terlalu banyak masalah saat ini, jadi aku tidak mau menambah masalahku dengan meladenimu,” ujarnya dengan raut muka sedih, berbeda dengan raut muka sebelumnya yang tampak marah. Dia lalu menatap mataku lekat. ”Nak, kalau kamu jujur, kami tak akan melukaimu. Kami hanya butuh kerjasama saja.”
”Aku benar-benar tidak tahu, aku ini cuma trainer Pokemon biasa!” aku berusaha menjawab sejujurnya. Karena memang itu yang sejujurnya.
”Lalu kenapa kamu menguntit anak buahku dan mengendap-endap di depan markasku?”
”Eh? Menguntit?” aku langsung tahu apa yang dibicarakan Maxie. Hmm, jadi begitu... ”Aku hanya penasaran, karena itu aku mengikuti anak buahmu mungkin, dan aku melihat dinding gunung yang terbuka,” kataku mencoba meyakinkan lelaki bernama Maxie itu.
”Apa kamu berkata jujur tentang itu?” tanya Maxie curiga. Cepat saja aku menggangguk menanggapinya. Maxie menghela napas pendek lalu menoleh ke arah lelaki bertudung di sampingnya. ”Baiklah Tabitha, seperti kita perlu melakukan cara itu” ujarnya pada lelaki di sampingnya itu. Lelaki yang dipanggil Tabitha lalu memberikan sebuah benda kecil kepadanya, menyerupai remote. ”Kita lihat apa kau sudah berkata sejujurnya,” kata Maxie menyeringai mengerikan ke arahku.
Aku tak tahu maksud perkataannya, namun saat dia menekan tombol pada benda kecil itu, tiba-tiba kurasakan sengatan aliran listrik dahsyat mengaliri tubuhku. Rasanya sangat menyakitkan hingga aku meronta begitu keras. Rupanya kursi itu adalah kursi listrik. Listrik mengalir melalui besi-besi yang mengikat tangan dan kakiku.
”ARRGHH!” rontaku kesakitan.
Tiba-tiba saja aliran listrik berhenti. Maxie lalu berjalan mendekatiku. ”Sekarang coba katakan siapa dirimu sebenarnya?” tanyanya dengan suara lembut yang dipaksakan. Pertanyaannya benar-benar menakutkan.
”A...aku cuma trainer ..... Pokemon.....” jawabku terengah-engah karena masih merasakan rasa sakit akibat sengatan tadi. Sesaat setelah mengatakan itu tiba-tiba saja aku kembali merasakan sengatan listrik. Kali ini lebih menyakitkan dari yang pertama. ”ARRGHHH!!!” aku meronta sangat keras seolah pita suaraku akan pecah. Dan sedetik kemudian sengatan itu menghilang.
”Aku bisa lebih kasar lagi kalau kamu tak mau bekerjasama,” ujar Maxie sinis. ”Baiklah, darimana asalmu?”
”Ver.....verdan.....turf....” jawabku terbata-bata. Rasa sakit tadi membuatku sulit berbicara.
“Verdanturf? Kamu mencoba mengarang ya? Baiklah, sekarang coba rasakan yang ini.” Maxie hendak menekan benda kecil pengendali tempat tidur listrik itu saat tiba-tiba gadis berambut merah dengan jambul jingga yang tadi duduk di sebelahku masuk ke dalam ruangan.
”Tunggu Paman Maxie!”
Scene 16: Kesamaan Visi
”Tunggu Paman Maxie!” cegah gadis itu cepat.
Sontak Maxie menoleh pada gadis itu. ”Ada apa kamu menggangguku, Flame?” tanyanya.
Flame? Jadi nama gadis dengan rambut berwarna merah itu Flame?
”Paman harus menghentikan ini. Dia berkata benar. Dia bukan mata-mata Tim Aqua,” jawab gadis bernama Flame seolah membelaku. Kulihat dia membawa tas ranselku ke dalam ruangan.
“Kenapa kamu membela orang ini? Memangnya kamu punya bukti apa dia bukan mata-mata?” tanya Maxie agak kesal.
”Aku memeriksa tas orang ini dan menemukan bukti-bukti seperti ini,” ujar Flame menunjukkan sebuah kartu yang kukenali sebagai kartu trainerku. ”Ini adalah kartu pelatih Pokemon yang menyatakan bahwa dia adalah pelatih Pokemon yang berasal dari kota Verdanturf.” Seusai mengatakan itu, Flame lalu dengan cepat merogoh tasku, mengeluarkan dua buah pokeball dari dalamnya. ”Pokemon yang dimiliki orang ini adalah Sandslash dan Ninjask, keduanya bukan Pokemon yang biasa digunakan Tim Aqua,” sambungnya menunjukkan dua PokeBallku ke arah Maxie.
Maxie tampak tertegun mendengar bukti-bukti itu. Dia lalu menatapku tajam. ”Jadi benar kamu ini bukan mata-mata Tim Aqua?” tanyanya.
“Bukankah sudah berkali-kali kukatakan kalau aku ini tak tahu apa yang kau bicarakan? Aku ini bukan mata-mata!” jawabku dengan nada marah.
Maxie tersenyum sinis. ”Huh, meskipun benar kamu bukan mata-mata Tim Aqua, tapi seorang penyusup sepertimu tidak bisa dibiarkan begitu saja.”
”Aku bukan penyusup, aku bahkan tidak masuk ke dalam markas kalian,” belaku.
Flame mendekati Maxie kemudian berkata, ”Paman Maxie, maafkanlah dia. Mungkin dia hanya seorang pelatih Pokemon yang tertarik dengan bebatuan cadas yang memiliki pintu. Ini bukan kesalahan dia sepenuhnya, bukankah Brodie juga bersalah karena membuka pintu markas tanpa melihat terlebih dahulu keadaan sekitar?”
Mendengar itu Maxie tampak berpikir. Dia tertegun menunduki sejenak, lalu mendongak melihatku. ”Kamu benar Flame, ini tak sepenuhnya kesalahan dia. Brodie juga salah. Wajar kalau anak ini jadi tertarik dengan pintu markas kita.”
Seusai mengatakan itu, Maxie menoleh ke arah dua lelaki yang berada di belakangnya, lalu berbalik membelakangiku. ”Tabitha, lepaskan ikatan besinya,” perintahnya pada Tabitha. Lelaki yang dipanggil Tabitha mendekati sisi kursi yang kududuki dan kemudian melepaskan kedua ikatan besi baik di tanganku maupun di kakiku. ”Kamu bebas sekarang Nak,” kata Maxie. ”Tapi kalau keberadaan markas ini sampai bocor pada pihak ranger ataupun polisi, kami tahu harus mencarimu dimana,” ancamnya padaku.
”Memangnya kalian ini siapa?” tanyaku ingin tahu. ”Kenapa kalian harus bersembunyi dan takut kepada ranger?”
Mendengar itu Maxie langsung berbalik dan menatapku dengan tajam. ”Apa katamu?” sentak Maxie dengan nada tinggi. ”Kamu bilang kami takut pada ranger?” Maxie melotot padaku. Aku tak menyangka pertanyaanku itu bisa membuatnya semarah itu. Harusnya aku bersyukur mereka telah membebaskanku dan mestinya aku berlaku baik agar dapat segera keluar dari ruangan yang sangat panas ini. ”Kami ini tak pernah takut pada ranger atau polisi! Ingat itu baik-baik!” tandasnya.
”Lalu... kenapa kalian bersembunyi? Bukankah itu cara penjahat?” tanyaku semakin penasaran. Padahal kutahu seharusnya aku bersikap baik pada mereka. ”Kalian ini siapa sebenarnya?”
Maxie terlihat geram dengan pertanyaan-pertanyaanku. Dia memandangku dengan penuh amarah. Namun, pandangannya perlahan berubah teduh.
”Oke, Nak, kalau itu bisa membuatmu diam!” sergah Maxie. ”Kami adalah Tim Magma, sebuah organisasi yang secara khusus dibentuk untuk mnciptakan dataran baru di wilayah Hoenn.....menggunakan Groudon!” sambungnya.
Ap... Apa dia bilang tadi? Groudon?
”Dan bila ranger atau polisi mengetahui hal ini, mereka pasti akan mencari kami untuk menggagalkan misi suci kami ini. Di mata mereka kami ini adalah penjahat, namun sebenarnya kami hanya berniat menciptakan dataran baru, benua baru di wilayah Hoenn ini demi mewujudkan perdamaian dunia. Mengertilah itu....
”Tak hanya ranger dan polisi yang berusaha mencegah usaha kami, melainkan juga Tim Aqua, sebuah organisasi yang menginginkan lautan yang luas dengan berusaha menangkap Kyogre. Mereka ini selalu berusaha menggagalkan usaha kami. Jadi pantas kalau kami mencurigaimu sebagai seorang mata-mata. Entah dari ranger, polisi, ataupun Tim Aqua,” kisah Maxie panjang lebar. ”Berterimakasihlah pada keponakanku Flame karena kamu telah dibebaskan. Sebaiknya kamu cepat pergi dari sini.”
”Tunggu dulu, kalau katamu menciptakan dataran baru adalah niat suci, tapi kenapa ranger mengejarmu?” tanyaku sangat ingin tahu.
”Kamu ini bodoh atau apa sih?” Maxie menatapku tajam. ”Groudon adalah Pokemon legenda, dan keberadaannya dilindungi oleh ranger dari setiap usaha-usaha kejahatan. Mereka pikir kami ini penjahat, jadi mereka khawatir bila Groudon jatuh ke tangan kami. Kamu harus tahu, dengan memperluas daratan Hoenn, maka akan tercipta perdamaian di seluruh wilayah Hoenn. Mengertikah kamu?”
Aku mengangguk pelan. ”Jadi begitu....”
Tim Magma ya... Aku baru tahu ada kelompok seperti ini di Hoenn. Dan mereka mengincar Groudon?
”Baiklah, anggap urusan kami denganmu sudah selesai, sekarang Tabitha akan mengantarkanmu keluar.”
”Kalau aku tidak mau bagaimana?” tantangku spontan. Semua yang berada di dalam ruangan itu langsung terhenyak kaget.
”Apa maksudmu? Jadi benar kalau kau ini mata-mata?” tanya Maxie tampak terkejut.
”Bukan, kujelaskan lagi kalau aku ini bukan mata-mata, aku ini hanya seorang Pokemon trainer,” jawabku berusaha menenangkan mereka, padahal seharusnya akulah yang bersikap tenang karena aku masih berada di dalam sarang penyamun, maksudku Tim Magma. ”Hanya saja aku adalah Pokemon trainer yang memiliki misi dan visi yang sama dengan kalian, yaitu menangkap....Groudon!”
”Visi dan misi yang sama? Menangkap Groudon?” Maxie terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapanku. ”Jadi kamu mau bergabung dengan kami?” tanya Maxie kemudian. ”Kamu pikir kami akan tertarik untuk merekrut Pokemon trainer yang lemah sepertimu?”
Aku menggeleng pelan. ”Kau salah bila menganggapku lemah, Tuan Maxie,” jawabku masih mencoba bersikap tenang. Aku lalu menunjuk pada pokeball milikku yang ada di tangan Flame. ”Pokeball yang dibawa oleh nona Flame itu berisi seekor Ninjask, Pokemon yang kudapatkan dari Jiken, pemimpin Ninja desa Abu.... sebagai hadiah karena aku telah berhasil mengalahkannya!”
Sontak Maxie menoleh pada gadis itu. ”Ada apa kamu menggangguku, Flame?” tanyanya.
Flame? Jadi nama gadis dengan rambut berwarna merah itu Flame?
”Paman harus menghentikan ini. Dia berkata benar. Dia bukan mata-mata Tim Aqua,” jawab gadis bernama Flame seolah membelaku. Kulihat dia membawa tas ranselku ke dalam ruangan.
“Kenapa kamu membela orang ini? Memangnya kamu punya bukti apa dia bukan mata-mata?” tanya Maxie agak kesal.
”Aku memeriksa tas orang ini dan menemukan bukti-bukti seperti ini,” ujar Flame menunjukkan sebuah kartu yang kukenali sebagai kartu trainerku. ”Ini adalah kartu pelatih Pokemon yang menyatakan bahwa dia adalah pelatih Pokemon yang berasal dari kota Verdanturf.” Seusai mengatakan itu, Flame lalu dengan cepat merogoh tasku, mengeluarkan dua buah pokeball dari dalamnya. ”Pokemon yang dimiliki orang ini adalah Sandslash dan Ninjask, keduanya bukan Pokemon yang biasa digunakan Tim Aqua,” sambungnya menunjukkan dua PokeBallku ke arah Maxie.
Maxie tampak tertegun mendengar bukti-bukti itu. Dia lalu menatapku tajam. ”Jadi benar kamu ini bukan mata-mata Tim Aqua?” tanyanya.
“Bukankah sudah berkali-kali kukatakan kalau aku ini tak tahu apa yang kau bicarakan? Aku ini bukan mata-mata!” jawabku dengan nada marah.
Maxie tersenyum sinis. ”Huh, meskipun benar kamu bukan mata-mata Tim Aqua, tapi seorang penyusup sepertimu tidak bisa dibiarkan begitu saja.”
”Aku bukan penyusup, aku bahkan tidak masuk ke dalam markas kalian,” belaku.
Flame mendekati Maxie kemudian berkata, ”Paman Maxie, maafkanlah dia. Mungkin dia hanya seorang pelatih Pokemon yang tertarik dengan bebatuan cadas yang memiliki pintu. Ini bukan kesalahan dia sepenuhnya, bukankah Brodie juga bersalah karena membuka pintu markas tanpa melihat terlebih dahulu keadaan sekitar?”
Mendengar itu Maxie tampak berpikir. Dia tertegun menunduki sejenak, lalu mendongak melihatku. ”Kamu benar Flame, ini tak sepenuhnya kesalahan dia. Brodie juga salah. Wajar kalau anak ini jadi tertarik dengan pintu markas kita.”
Seusai mengatakan itu, Maxie menoleh ke arah dua lelaki yang berada di belakangnya, lalu berbalik membelakangiku. ”Tabitha, lepaskan ikatan besinya,” perintahnya pada Tabitha. Lelaki yang dipanggil Tabitha mendekati sisi kursi yang kududuki dan kemudian melepaskan kedua ikatan besi baik di tanganku maupun di kakiku. ”Kamu bebas sekarang Nak,” kata Maxie. ”Tapi kalau keberadaan markas ini sampai bocor pada pihak ranger ataupun polisi, kami tahu harus mencarimu dimana,” ancamnya padaku.
”Memangnya kalian ini siapa?” tanyaku ingin tahu. ”Kenapa kalian harus bersembunyi dan takut kepada ranger?”
Mendengar itu Maxie langsung berbalik dan menatapku dengan tajam. ”Apa katamu?” sentak Maxie dengan nada tinggi. ”Kamu bilang kami takut pada ranger?” Maxie melotot padaku. Aku tak menyangka pertanyaanku itu bisa membuatnya semarah itu. Harusnya aku bersyukur mereka telah membebaskanku dan mestinya aku berlaku baik agar dapat segera keluar dari ruangan yang sangat panas ini. ”Kami ini tak pernah takut pada ranger atau polisi! Ingat itu baik-baik!” tandasnya.
”Lalu... kenapa kalian bersembunyi? Bukankah itu cara penjahat?” tanyaku semakin penasaran. Padahal kutahu seharusnya aku bersikap baik pada mereka. ”Kalian ini siapa sebenarnya?”
Maxie terlihat geram dengan pertanyaan-pertanyaanku. Dia memandangku dengan penuh amarah. Namun, pandangannya perlahan berubah teduh.
”Oke, Nak, kalau itu bisa membuatmu diam!” sergah Maxie. ”Kami adalah Tim Magma, sebuah organisasi yang secara khusus dibentuk untuk mnciptakan dataran baru di wilayah Hoenn.....menggunakan Groudon!” sambungnya.
Ap... Apa dia bilang tadi? Groudon?
”Dan bila ranger atau polisi mengetahui hal ini, mereka pasti akan mencari kami untuk menggagalkan misi suci kami ini. Di mata mereka kami ini adalah penjahat, namun sebenarnya kami hanya berniat menciptakan dataran baru, benua baru di wilayah Hoenn ini demi mewujudkan perdamaian dunia. Mengertilah itu....
”Tak hanya ranger dan polisi yang berusaha mencegah usaha kami, melainkan juga Tim Aqua, sebuah organisasi yang menginginkan lautan yang luas dengan berusaha menangkap Kyogre. Mereka ini selalu berusaha menggagalkan usaha kami. Jadi pantas kalau kami mencurigaimu sebagai seorang mata-mata. Entah dari ranger, polisi, ataupun Tim Aqua,” kisah Maxie panjang lebar. ”Berterimakasihlah pada keponakanku Flame karena kamu telah dibebaskan. Sebaiknya kamu cepat pergi dari sini.”
”Tunggu dulu, kalau katamu menciptakan dataran baru adalah niat suci, tapi kenapa ranger mengejarmu?” tanyaku sangat ingin tahu.
”Kamu ini bodoh atau apa sih?” Maxie menatapku tajam. ”Groudon adalah Pokemon legenda, dan keberadaannya dilindungi oleh ranger dari setiap usaha-usaha kejahatan. Mereka pikir kami ini penjahat, jadi mereka khawatir bila Groudon jatuh ke tangan kami. Kamu harus tahu, dengan memperluas daratan Hoenn, maka akan tercipta perdamaian di seluruh wilayah Hoenn. Mengertikah kamu?”
Aku mengangguk pelan. ”Jadi begitu....”
Tim Magma ya... Aku baru tahu ada kelompok seperti ini di Hoenn. Dan mereka mengincar Groudon?
”Baiklah, anggap urusan kami denganmu sudah selesai, sekarang Tabitha akan mengantarkanmu keluar.”
”Kalau aku tidak mau bagaimana?” tantangku spontan. Semua yang berada di dalam ruangan itu langsung terhenyak kaget.
”Apa maksudmu? Jadi benar kalau kau ini mata-mata?” tanya Maxie tampak terkejut.
”Bukan, kujelaskan lagi kalau aku ini bukan mata-mata, aku ini hanya seorang Pokemon trainer,” jawabku berusaha menenangkan mereka, padahal seharusnya akulah yang bersikap tenang karena aku masih berada di dalam sarang penyamun, maksudku Tim Magma. ”Hanya saja aku adalah Pokemon trainer yang memiliki misi dan visi yang sama dengan kalian, yaitu menangkap....Groudon!”
”Visi dan misi yang sama? Menangkap Groudon?” Maxie terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapanku. ”Jadi kamu mau bergabung dengan kami?” tanya Maxie kemudian. ”Kamu pikir kami akan tertarik untuk merekrut Pokemon trainer yang lemah sepertimu?”
Aku menggeleng pelan. ”Kau salah bila menganggapku lemah, Tuan Maxie,” jawabku masih mencoba bersikap tenang. Aku lalu menunjuk pada pokeball milikku yang ada di tangan Flame. ”Pokeball yang dibawa oleh nona Flame itu berisi seekor Ninjask, Pokemon yang kudapatkan dari Jiken, pemimpin Ninja desa Abu.... sebagai hadiah karena aku telah berhasil mengalahkannya!”
Bab ini disponsori oleh...
Scene 17: Gadis Bernama Flame
”Pokeball yang dibawa oleh nona Flame itu berisi seekor Ninjask, Pokemon yang kudapatkan dari Jiken, pemimpin Ninja desa Abu.... sebagai hadiah karena aku telah berhasil mengalahkannya!”
”Omong kosong!” sanggah Maxie tak percaya. ”Jiken adalah pemimpin Ninja yang hebat, kami tahu itu karena kami pernah berselisih dengannya,” Maxie berargumen. ”Mana mungkin dia kalah begitu saja darimu.”
”Dia benar, Tuan Maxie,” tiba-tiba anak buah Maxie lainnya muncul ke dalan ruangan. Sebuah kain kecil berwarna merah terikat di kepalanya. Dari wajahnya, kutaksir umurnya lebih muda dariku. ”Aku sendiri yang menjadi saksinya. Aku ada disana waktu itu.”
”Benarkah Darko?” tanya Maxie pada lelaki itu.
Pemuda yang dipanggil Darko mengangguk ”Ya. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat aku menyamar menjadi anggota ninja desa abu,” jawab Darko. ”Dia mengalahkan Ninjask milik Jiken hanya dengan seekor Sandshrew.”
”Mengalahkan Ninjask Jiken dengan seekor Sandshrew? Benarkah?” tanya Maxie tak percaya. Dia lalu menoleh cepat ke arahku. ”Jiken yang selama ini sulit dikalahkan pasukan kita, bisa dikalahkan dengan mudah olehnya?” tuding Maxie ke arahku.
”Kalau Tuan tidak percaya, Tuan bisa menanyakannya pada Flannery, Gym Leader kota Lavaridge. Lelaki ini yang menggagalkan rencana Jiken merebut sumber air panas Lavaridge,” jawab lelaki dengan ikat kepala merah yang dipanggil Darko itu.
“Ya, dan bila kau butuh lebih banyak bukti, kau bisa lihat ini.” Aku merogoh sakuku dan mengeluarkannya badge yang kudapatkan dari Flannery.
”Heat Badge Lavaridge? Aku tak bisa percaya ini,” katanya semakin terkejut. Dia lalu terdiam. Tangan kanannya memegang dagu dengan bertumpu pada tangan kiri yang disilangkan di depan dada. Lelaki yang baru kukenal sebagai pemimpin Tim Magma tersebut tampak berpikir panjang. Beberapa detik kemudian, bibirnya menyunggingkan seulas senyum misterius.
”Hmm...” Maxie bergumam mendengar perkataan anak buahnya itu. Raut wajahnya masih menampakkan ketidakpercayaannya padaku. ”Dari kesaksian anak buahku dan juga badge yang kamu bawa, sepertinya kamu mengatakan yang sebenarnya. Baiklah, akan kupertimbangkan dulu sebelum memutuskan akan menerimamu sebagai anggota. Tapi apakah kamu yakin mau bergabung dengan Tim Magma? Bukankah kamu ini cuma seorang trainer Pokemon biasa?” tanyanya memastikan.
”Sebenarnya tujuanku menjadi trainer Pokemon tak lebih dari usahaku untuk bisa menangkap Groudon. Dibutuhkan keahlian yang hebat dalam melatih Pokemon untuk bisa menangkap Groudon sang Pokemon legenda. Tapi tentu saja akan lebih mudah bila bersama-sama mencarinya dalam organisasi yang kuat seperti Tim Magma,” jawabku dengan sedikit pujian. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak tahu persis apa Tim Magma itu.
”Baiklah, tapi sebelumnya kamu harus tahu apa konsekuensi menjadi anggota Tim Magma,” tambahnya. ”Tabitha, ambilkan buku pedoman Tim Magma. Berikan kepadanya agar dia membacanya.”
Mendengar perintah itu Tabitha langsung berjalan keluar ruangan. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa sebuah buku berwarna merah. Diberikannya buku itu pada Maxie. Serta merta setelah menerima buku dari Tabitha, Maxie melemparkannya ke atas pangkuanku yang masih terduduk di kursi itu.
”Baca buku itu dulu. Sementara aku mempertimbangkan untuk merekrutmu menjadi anggota.” Setelah mengatakan itu, Maxie lalu berbalik dan berjalan hendak keluar ruangan. Dengan diikuti kedua lelaki yang sedari tadi bersamanya. Tapi saat tiba di pintu, Maxie menoleh padaku dan bertanya, ”Aku lupa menanyakan, siapa namamu Nak?”
”Namaku Lunar. Lunar Ser....” jawabanku langsung terhenti saat mendadak teringat pesan Kak Lydia untuk tidak mengatakan nama keluarga kami npada siapapun di luar Verdanturf. ”Na... namaku Lunar. Panggil saja seperti itu,” sambungku cepat.
”Lunar?” Maxie tampak berpikir. ”Baiklah... Lunar,” sambungnya kemudian. Dia lalu menoleh ke arah Flame dan berkata, ”Flame, temani dia dan jelaskan segala hal yang tidak dia mengerti.”
”Baik Paman,” jawab Flame mengangguk. Demi mendengar jawaban Flame, Maxie pun meninggalkan ruangan. Kini, tinggal aku dan Flame saja yang berada di ruangan panas ini. Yeah, ruangan ini rasanya panas sekali.
Selepas kepergian Maxie, Flame duduk di kursi yang ada di sebelahku seperti saat aku tersadar tadi. Dia melihatku dan berkata, ”Maafkan aku telah menggeledah tasmu. Tapi itu memang prosedur untuk keamanan.”
”Tak apa-apa, kamu hanya menjalankan tugasmu, ” sahutku pelan. Tiba-tiba sesuatu mengganggu pikiranku. ”Bolehkah aku bertanya?” tanyaku kemudian.
”Tentu saja, bukankah Paman Maxie memerintahkanku disini untuk menjelaskan segala yang kamu tanyakan?” sahut Flame. ”Memangnya apa yang ingin kamu tanyakan? Kulihat kamu belum membuka buku itu sama sekali.”
Aku tersenyum. ”Aku hanya ingin menanyakan kenapa kamu membelaku begitu gigih tadi?”
”Aku tak membelamu,” jawab Flame seolah menolak anggapanku. ”Memang itu kenyataannya kan? Kamu kan memang bukan mata-mata. Itu yang kutemukan di tasmu.”
”Iya juga sih,” kataku membenarkan.
”Kalau kamu memang terbukti mata-mata, tentu aku akan membiarkanmu mati tersengat listrik tadi,” ujar Flame. Dia menatapku sekilas lalu menghela nafas panjang. ”Well, tapi sejujurnya aku tidak suka bila Paman berlaku kasar pada siapapun,” lanjutnya. ”Kami Tim Magma berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunakan kekerasan dalam perjalanan mencari Groudon. Karena pada dasarnya, kami tak pernah menginginkan untuk merugikan orang lain. Namun pada kenyataannya banyak aksi Tim Magma yang menggunakan kekerasan. Sehingga wajar saja bila diberi label penjahat. Ya, seperti itulah bila ambisi sudah merasuki diri kita.”
”Ya, kamu benar,” lagi-lagi aku mengangguk membenarkan. ”Tapi apa benar dia itu pamanmu? Si Maxie itu,” tanyaku lagi ingin tahu.
”Bisakah kamu menanyakan hal lain, misalnya mengenai isi buku merah itu daripada bertanya mengenai diriku?” sahut Flame ketus. Dia tampak tak senang. ”Kamu harus membaca buku itu sebelum memutuskan bergabung dengan Tim Magma,” dia mengingatkan.
”Oke, baiklah.”
Aku pun menuruti perkataannya dan mulai membuka buku merah yang diberikan Maxie. Kubuka satu-persatu halaman dari buku itu, membaca setiap deskripsi yang tertulis pada lembaran kertanya. Saat aku bingung akan suatu hal dalam buku itu, aku pun tergerak untuk menanyakannya. Aku melihat ke arah Flame dan ternyata dia sedang melamun. Diam-diam kuamati wajahnya. Dia tampak manis dengan kulit wajahnya yang putih bersih. Bibirnya yang mungil dan sepasang mata yang terlihat teduh. Serta kedua lesung pipitnya.... Sungguh, dia benar-benar manis! Belum pernah aku melihat gadis seperti dia sebelumnya.
”Kenapa kamu memandangiku seperti itu?” tanya Flame tiba.tiba. Membuatku langsung terkejut dan salah tingkah. Rupanya dia memergokiku tengah mencuri pandang ke arahnya.
”Oh, oh, tidak kok, aku cuma ingin.... menanyakan sesuatu,” jawabku tergagap.
”Kuharap bukan pertanyaan tentang diriku,” sahutnya tanpa ekspresi. Aku tersenyum mendengarnya. Ternyata dia juga memiliki suara yang lembut. Ah... Flame...
”Omong kosong!” sanggah Maxie tak percaya. ”Jiken adalah pemimpin Ninja yang hebat, kami tahu itu karena kami pernah berselisih dengannya,” Maxie berargumen. ”Mana mungkin dia kalah begitu saja darimu.”
”Dia benar, Tuan Maxie,” tiba-tiba anak buah Maxie lainnya muncul ke dalan ruangan. Sebuah kain kecil berwarna merah terikat di kepalanya. Dari wajahnya, kutaksir umurnya lebih muda dariku. ”Aku sendiri yang menjadi saksinya. Aku ada disana waktu itu.”
”Benarkah Darko?” tanya Maxie pada lelaki itu.
Pemuda yang dipanggil Darko mengangguk ”Ya. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat aku menyamar menjadi anggota ninja desa abu,” jawab Darko. ”Dia mengalahkan Ninjask milik Jiken hanya dengan seekor Sandshrew.”
”Mengalahkan Ninjask Jiken dengan seekor Sandshrew? Benarkah?” tanya Maxie tak percaya. Dia lalu menoleh cepat ke arahku. ”Jiken yang selama ini sulit dikalahkan pasukan kita, bisa dikalahkan dengan mudah olehnya?” tuding Maxie ke arahku.
”Kalau Tuan tidak percaya, Tuan bisa menanyakannya pada Flannery, Gym Leader kota Lavaridge. Lelaki ini yang menggagalkan rencana Jiken merebut sumber air panas Lavaridge,” jawab lelaki dengan ikat kepala merah yang dipanggil Darko itu.
“Ya, dan bila kau butuh lebih banyak bukti, kau bisa lihat ini.” Aku merogoh sakuku dan mengeluarkannya badge yang kudapatkan dari Flannery.
”Heat Badge Lavaridge? Aku tak bisa percaya ini,” katanya semakin terkejut. Dia lalu terdiam. Tangan kanannya memegang dagu dengan bertumpu pada tangan kiri yang disilangkan di depan dada. Lelaki yang baru kukenal sebagai pemimpin Tim Magma tersebut tampak berpikir panjang. Beberapa detik kemudian, bibirnya menyunggingkan seulas senyum misterius.
”Hmm...” Maxie bergumam mendengar perkataan anak buahnya itu. Raut wajahnya masih menampakkan ketidakpercayaannya padaku. ”Dari kesaksian anak buahku dan juga badge yang kamu bawa, sepertinya kamu mengatakan yang sebenarnya. Baiklah, akan kupertimbangkan dulu sebelum memutuskan akan menerimamu sebagai anggota. Tapi apakah kamu yakin mau bergabung dengan Tim Magma? Bukankah kamu ini cuma seorang trainer Pokemon biasa?” tanyanya memastikan.
”Sebenarnya tujuanku menjadi trainer Pokemon tak lebih dari usahaku untuk bisa menangkap Groudon. Dibutuhkan keahlian yang hebat dalam melatih Pokemon untuk bisa menangkap Groudon sang Pokemon legenda. Tapi tentu saja akan lebih mudah bila bersama-sama mencarinya dalam organisasi yang kuat seperti Tim Magma,” jawabku dengan sedikit pujian. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak tahu persis apa Tim Magma itu.
”Baiklah, tapi sebelumnya kamu harus tahu apa konsekuensi menjadi anggota Tim Magma,” tambahnya. ”Tabitha, ambilkan buku pedoman Tim Magma. Berikan kepadanya agar dia membacanya.”
Mendengar perintah itu Tabitha langsung berjalan keluar ruangan. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa sebuah buku berwarna merah. Diberikannya buku itu pada Maxie. Serta merta setelah menerima buku dari Tabitha, Maxie melemparkannya ke atas pangkuanku yang masih terduduk di kursi itu.
”Baca buku itu dulu. Sementara aku mempertimbangkan untuk merekrutmu menjadi anggota.” Setelah mengatakan itu, Maxie lalu berbalik dan berjalan hendak keluar ruangan. Dengan diikuti kedua lelaki yang sedari tadi bersamanya. Tapi saat tiba di pintu, Maxie menoleh padaku dan bertanya, ”Aku lupa menanyakan, siapa namamu Nak?”
”Namaku Lunar. Lunar Ser....” jawabanku langsung terhenti saat mendadak teringat pesan Kak Lydia untuk tidak mengatakan nama keluarga kami npada siapapun di luar Verdanturf. ”Na... namaku Lunar. Panggil saja seperti itu,” sambungku cepat.
”Lunar?” Maxie tampak berpikir. ”Baiklah... Lunar,” sambungnya kemudian. Dia lalu menoleh ke arah Flame dan berkata, ”Flame, temani dia dan jelaskan segala hal yang tidak dia mengerti.”
”Baik Paman,” jawab Flame mengangguk. Demi mendengar jawaban Flame, Maxie pun meninggalkan ruangan. Kini, tinggal aku dan Flame saja yang berada di ruangan panas ini. Yeah, ruangan ini rasanya panas sekali.
Selepas kepergian Maxie, Flame duduk di kursi yang ada di sebelahku seperti saat aku tersadar tadi. Dia melihatku dan berkata, ”Maafkan aku telah menggeledah tasmu. Tapi itu memang prosedur untuk keamanan.”
”Tak apa-apa, kamu hanya menjalankan tugasmu, ” sahutku pelan. Tiba-tiba sesuatu mengganggu pikiranku. ”Bolehkah aku bertanya?” tanyaku kemudian.
”Tentu saja, bukankah Paman Maxie memerintahkanku disini untuk menjelaskan segala yang kamu tanyakan?” sahut Flame. ”Memangnya apa yang ingin kamu tanyakan? Kulihat kamu belum membuka buku itu sama sekali.”
Aku tersenyum. ”Aku hanya ingin menanyakan kenapa kamu membelaku begitu gigih tadi?”
”Aku tak membelamu,” jawab Flame seolah menolak anggapanku. ”Memang itu kenyataannya kan? Kamu kan memang bukan mata-mata. Itu yang kutemukan di tasmu.”
”Iya juga sih,” kataku membenarkan.
”Kalau kamu memang terbukti mata-mata, tentu aku akan membiarkanmu mati tersengat listrik tadi,” ujar Flame. Dia menatapku sekilas lalu menghela nafas panjang. ”Well, tapi sejujurnya aku tidak suka bila Paman berlaku kasar pada siapapun,” lanjutnya. ”Kami Tim Magma berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunakan kekerasan dalam perjalanan mencari Groudon. Karena pada dasarnya, kami tak pernah menginginkan untuk merugikan orang lain. Namun pada kenyataannya banyak aksi Tim Magma yang menggunakan kekerasan. Sehingga wajar saja bila diberi label penjahat. Ya, seperti itulah bila ambisi sudah merasuki diri kita.”
”Ya, kamu benar,” lagi-lagi aku mengangguk membenarkan. ”Tapi apa benar dia itu pamanmu? Si Maxie itu,” tanyaku lagi ingin tahu.
”Bisakah kamu menanyakan hal lain, misalnya mengenai isi buku merah itu daripada bertanya mengenai diriku?” sahut Flame ketus. Dia tampak tak senang. ”Kamu harus membaca buku itu sebelum memutuskan bergabung dengan Tim Magma,” dia mengingatkan.
”Oke, baiklah.”
Aku pun menuruti perkataannya dan mulai membuka buku merah yang diberikan Maxie. Kubuka satu-persatu halaman dari buku itu, membaca setiap deskripsi yang tertulis pada lembaran kertanya. Saat aku bingung akan suatu hal dalam buku itu, aku pun tergerak untuk menanyakannya. Aku melihat ke arah Flame dan ternyata dia sedang melamun. Diam-diam kuamati wajahnya. Dia tampak manis dengan kulit wajahnya yang putih bersih. Bibirnya yang mungil dan sepasang mata yang terlihat teduh. Serta kedua lesung pipitnya.... Sungguh, dia benar-benar manis! Belum pernah aku melihat gadis seperti dia sebelumnya.
”Kenapa kamu memandangiku seperti itu?” tanya Flame tiba.tiba. Membuatku langsung terkejut dan salah tingkah. Rupanya dia memergokiku tengah mencuri pandang ke arahnya.
”Oh, oh, tidak kok, aku cuma ingin.... menanyakan sesuatu,” jawabku tergagap.
”Kuharap bukan pertanyaan tentang diriku,” sahutnya tanpa ekspresi. Aku tersenyum mendengarnya. Ternyata dia juga memiliki suara yang lembut. Ah... Flame...
Scene 18: Double Battle Pertama
Aku baru saja akan menanyakan sesuatu pada Flame ketika, Maxie masuk ke dalam ruangan. Kali ini dia hanya ditemani Tabitha. ”Lunar, persiapkan dirimu sekarang. Aku sudah memikirkan akan menerimamu sebagai anggota,” ujarnya.
”Be... benarkah?” tanyaku tak percaya.
Maxie mengangguk. ”Ya, tapi setelah kamu bertarung melawan anak buahku terlebih dahulu dalam double battle atau pertarungan ganda,” sambungnya. ”Kami semua menunggumu di luar, di arena kami.” Maxie lalu melihat Flame dan berkata, ”Flame, segera antar dia ke Magstadium kalau dia sudah siap.”
”Baik Paman,” jawab Flame cepat.
Usai memberi perintah pada Flame, Maxie kembali keluar ruangan. Kembali meninggalkanku berdua dengan Flame. Begitu Maxie keluar ruangan, Flame langsung membalikkan tubuhnya menghadapku.
“Kamu dengar itu? Paman akan menerimamu menjadi bagian dari kami. Tapi kamu mesti bertarung dulu dalam double battle di arena magma. Kalau kamu memang seperti yang dikatakan Darko, pertarungan ini pastilah mudah saja kamu menangkan,” kata Flame panjang.
”Arena magma?” tanyaku heran.
”Arena magma adalah lahan pertarungan Pokemon yang diperuntukkan bagi anggota Tim Magma. Kamu beruntung bisa bertarung di tempat itu. Selama ini, hanya anggota tim yang memiliki tingkatan tinggi saja yang bisa bertarung disana. Aku bahkan belum pernah bertarung disana.”
”Tapi aku belum pernah sekalipun melakukan double battle,” sahutku ragu. Aku memang belum pernah melakukan double battle walaupun aku telah memiliki Ninjask sebagai Pokemon keduaku. Double battle atau pertarungan ganda adalah pertarungan Pokemon dengan menggunakan dua Pokemon. Kedua Pokemon itu saling bertarung bersamaan melawan dua Pokemon lawan.
”Berarti ini akan menjadi yang pertama bagimu, maka dari itu bersiap-siaplah,” jawab Flame seraya menyodorkan tasku begitu saja kepadaku. ”Ayo kita pergi.”
----------------------
Aku mengikuti Flame keluar dari ruangan. Untuk pertama kalinya aku keluar dari ruangan pengap itu. Ternyata markas ini terdiri dari lorong-lorong sempit yang juga panas. Aku heran, kenapa Tim Magma tidak takut mendirikan markas di dalam gunung berapi ya? Bagaimana kalau gunung ini meletus nanti? Karena penasaran, iseng aku pun menanyakannya pada Flame.
”Justru itu yang kami mau,” jawab Flame tatkala aku menyampaikan pertanyaan itu. Aku terkejut begitu mendengarnya.
”Mak... Maksudmu?”
”Sudahlah, kamu akan tahu nanti. Lebih baik sekarang kamu pikirkan strategi untuk menghadapi lawanmu di arena magma nanti. Lawanmu pasti berat,” jawab Flame tampak kesal. Tapi justru hal itu membuat wajahnya tampak manis. Aduh, aku mikirin apa sih?
Setelah menyusuri lorong-lorong pengap dan panas, kami sampai di sebuah ruangan yang sangat lebar. Ruangan itu tampak seperti sebuah lapangan futsal. Namun di sekelilingnya terdapat parit lebar yang terisi penuh dengan lahar mendidih. Jadi inilah arena magma? Tak kusangka di dalam gunung Chimney ada tempat seperti ini.
Di sekeliling lapangan, di luar parit, tampak banyak orang berpakaian merah dan hitam khas Tim Magma berkerumun berdiri menatap tengah arena. Mungkin seragam yang mereka kenakan itu adalah seragam Tim Magma, pikirku. Rupanya mereka sudah menanti pertarunganku. Sementara kulihat di barisan depan kerumunan tampak Maxie duduk di sebuah tempat duduk yang tampaknya khusus disediakan untuknya. Sembari mengelus seekor Poochyena di pangkuannya. Melihat Poochyena itu membuatku teringat awal perjalananku dulu.
”Hei kamu!” terdengar suara memanggil dari tengah lapangan. Rupanya lelaki bernama Tabitha yang memanggil. ”Sini cepat!” Aku menoleh pada Flame. Gadis berambut merah itu memberikan isyarat padaku untuk pergi ke tempat Tabitha. Aku pun berjalan ke arah Tabitha yang berdiri di tengah lapangan. Melompati parit lahar yang lebih sempit dari parit lainnya. Aku agak takut saat melewati parit tersebut. Tapi toh kulompati juga aliran lahar panas itu.
Sementara dari sisi lain lapangan, datang seorang lelaki berpakaian hitam dengan celana panjang warna ungu datang mendekati Tabitha. Rambutnya tampak berdiri dan sebuah jubah panjang dengan tepi yang berpola gerigi menghiasi bagian belakang pakaiannya. Lelaki itu tampaknya aku kenal. Ya, dia lelaki yang aku buntuti itu! Dialah yang menyebabkan aku masuk ke dalam markas Tim Magma, walaupun kuakui ini semua salahku kenapa mengikutinya.
”Kamu yang membuntutiku ya?” tanyanya sinis.
”I...iya mungkin,” jawabku tak yakin.
”Huh, kamu telah membuatku dalam masalah. Sekarang takkan kubiarkan kamu menang!” katanya sangat kasar. Jadi dia yang akan menjadi lawanku?
”Saudara-saudaraku sesama anggota Tim Magma,” ujar Tabitha berbicara sangat keras. Suaranya bergaung di seluruh arena. ”Hari ini kita akan menyaksikan double battle!” Suara Tabitha langsung diikuti suara gemuruh penonton yang sudah tak sabar menyaksikan pertarungan. ”Antara saudara kita, Brodie....melawan Lunar, seorang trainer yang akan menjadi saudara kita bila berhasil mengalahkan Brodie!”
”Ayo Brodie! Jangan kalah!” terdengar riuh suara-suara penonton yang mendukung Brodie. Sementara tak ada satu pun suara yang mendukungku. Memang harus kuakui aku orang asing saat ini.
”Baiklah Brodie dan Lunar, kalian sudah mengerti aturan double battle bukan? Pertarungan menggunakan dua Pokemon yang sama-sama bertarung di arena. Pemenangnya adalah yang terakhir bertahan dalam pertarungan,” jelas Tabitha menjelaskan. Kami berdua mengangguk. Tabitha tersenyum dan merentangkan tangan seolah meminta kami membuat jarak. ”Baiklah, semuanya mengambil tempat masing-masing!”
Aku melangkah menuju tempat yang dimaksudkan Tabitha. Sementara Brodie menuju sisi lain yang berlawanan dengan tempatku. Pertarungan akan dimulai. Meskipun aku belum pernah bertarung dalam double battle, tapi aku takkan menyerah untuk bisa bergabung dengan Tim Magma!
”Semuanya siap?” tanya Tabitha memastikan. Aku dan Brodie mengangguk. ”Pertarungan dimulai!” Tabitha memberi aba-aba yang disusul riuh suara penonton yang menyaksikan.
”Keluarlah Mightyena! Keluarlah Camerupt!”
Brodie melemparkan dua pokeball ke udara. Dari dalamnya keluar seekor Pokemon yang tampak seperti serigala, Mightyena dan Pokemon yang tampak seperti unta dengan gunung berapi kecil di punuknya, Camerupt. Aku pun tak mau kalah, akan kukeluarkan Pokemonku.
”Keluarlah Sandslash! Keluarlah Ninjask!” aku melemparkan pokeballku dan segera saja keluar Sandslash dan juga Ninjask. Perpaduan yang sangat menarik, pikirku.
Tapi apa yang terjadi? Kedua Pokemonku tampak saling berhadapan dengan saling menatap mata masing-masing. Oh, tidak! Mereka masih bermusuhan!
”Be... benarkah?” tanyaku tak percaya.
Maxie mengangguk. ”Ya, tapi setelah kamu bertarung melawan anak buahku terlebih dahulu dalam double battle atau pertarungan ganda,” sambungnya. ”Kami semua menunggumu di luar, di arena kami.” Maxie lalu melihat Flame dan berkata, ”Flame, segera antar dia ke Magstadium kalau dia sudah siap.”
”Baik Paman,” jawab Flame cepat.
Usai memberi perintah pada Flame, Maxie kembali keluar ruangan. Kembali meninggalkanku berdua dengan Flame. Begitu Maxie keluar ruangan, Flame langsung membalikkan tubuhnya menghadapku.
“Kamu dengar itu? Paman akan menerimamu menjadi bagian dari kami. Tapi kamu mesti bertarung dulu dalam double battle di arena magma. Kalau kamu memang seperti yang dikatakan Darko, pertarungan ini pastilah mudah saja kamu menangkan,” kata Flame panjang.
”Arena magma?” tanyaku heran.
”Arena magma adalah lahan pertarungan Pokemon yang diperuntukkan bagi anggota Tim Magma. Kamu beruntung bisa bertarung di tempat itu. Selama ini, hanya anggota tim yang memiliki tingkatan tinggi saja yang bisa bertarung disana. Aku bahkan belum pernah bertarung disana.”
”Tapi aku belum pernah sekalipun melakukan double battle,” sahutku ragu. Aku memang belum pernah melakukan double battle walaupun aku telah memiliki Ninjask sebagai Pokemon keduaku. Double battle atau pertarungan ganda adalah pertarungan Pokemon dengan menggunakan dua Pokemon. Kedua Pokemon itu saling bertarung bersamaan melawan dua Pokemon lawan.
”Berarti ini akan menjadi yang pertama bagimu, maka dari itu bersiap-siaplah,” jawab Flame seraya menyodorkan tasku begitu saja kepadaku. ”Ayo kita pergi.”
----------------------
Aku mengikuti Flame keluar dari ruangan. Untuk pertama kalinya aku keluar dari ruangan pengap itu. Ternyata markas ini terdiri dari lorong-lorong sempit yang juga panas. Aku heran, kenapa Tim Magma tidak takut mendirikan markas di dalam gunung berapi ya? Bagaimana kalau gunung ini meletus nanti? Karena penasaran, iseng aku pun menanyakannya pada Flame.
”Justru itu yang kami mau,” jawab Flame tatkala aku menyampaikan pertanyaan itu. Aku terkejut begitu mendengarnya.
”Mak... Maksudmu?”
”Sudahlah, kamu akan tahu nanti. Lebih baik sekarang kamu pikirkan strategi untuk menghadapi lawanmu di arena magma nanti. Lawanmu pasti berat,” jawab Flame tampak kesal. Tapi justru hal itu membuat wajahnya tampak manis. Aduh, aku mikirin apa sih?
Setelah menyusuri lorong-lorong pengap dan panas, kami sampai di sebuah ruangan yang sangat lebar. Ruangan itu tampak seperti sebuah lapangan futsal. Namun di sekelilingnya terdapat parit lebar yang terisi penuh dengan lahar mendidih. Jadi inilah arena magma? Tak kusangka di dalam gunung Chimney ada tempat seperti ini.
Di sekeliling lapangan, di luar parit, tampak banyak orang berpakaian merah dan hitam khas Tim Magma berkerumun berdiri menatap tengah arena. Mungkin seragam yang mereka kenakan itu adalah seragam Tim Magma, pikirku. Rupanya mereka sudah menanti pertarunganku. Sementara kulihat di barisan depan kerumunan tampak Maxie duduk di sebuah tempat duduk yang tampaknya khusus disediakan untuknya. Sembari mengelus seekor Poochyena di pangkuannya. Melihat Poochyena itu membuatku teringat awal perjalananku dulu.
”Hei kamu!” terdengar suara memanggil dari tengah lapangan. Rupanya lelaki bernama Tabitha yang memanggil. ”Sini cepat!” Aku menoleh pada Flame. Gadis berambut merah itu memberikan isyarat padaku untuk pergi ke tempat Tabitha. Aku pun berjalan ke arah Tabitha yang berdiri di tengah lapangan. Melompati parit lahar yang lebih sempit dari parit lainnya. Aku agak takut saat melewati parit tersebut. Tapi toh kulompati juga aliran lahar panas itu.
Sementara dari sisi lain lapangan, datang seorang lelaki berpakaian hitam dengan celana panjang warna ungu datang mendekati Tabitha. Rambutnya tampak berdiri dan sebuah jubah panjang dengan tepi yang berpola gerigi menghiasi bagian belakang pakaiannya. Lelaki itu tampaknya aku kenal. Ya, dia lelaki yang aku buntuti itu! Dialah yang menyebabkan aku masuk ke dalam markas Tim Magma, walaupun kuakui ini semua salahku kenapa mengikutinya.
”Kamu yang membuntutiku ya?” tanyanya sinis.
”I...iya mungkin,” jawabku tak yakin.
”Huh, kamu telah membuatku dalam masalah. Sekarang takkan kubiarkan kamu menang!” katanya sangat kasar. Jadi dia yang akan menjadi lawanku?
”Saudara-saudaraku sesama anggota Tim Magma,” ujar Tabitha berbicara sangat keras. Suaranya bergaung di seluruh arena. ”Hari ini kita akan menyaksikan double battle!” Suara Tabitha langsung diikuti suara gemuruh penonton yang sudah tak sabar menyaksikan pertarungan. ”Antara saudara kita, Brodie....melawan Lunar, seorang trainer yang akan menjadi saudara kita bila berhasil mengalahkan Brodie!”
”Ayo Brodie! Jangan kalah!” terdengar riuh suara-suara penonton yang mendukung Brodie. Sementara tak ada satu pun suara yang mendukungku. Memang harus kuakui aku orang asing saat ini.
”Baiklah Brodie dan Lunar, kalian sudah mengerti aturan double battle bukan? Pertarungan menggunakan dua Pokemon yang sama-sama bertarung di arena. Pemenangnya adalah yang terakhir bertahan dalam pertarungan,” jelas Tabitha menjelaskan. Kami berdua mengangguk. Tabitha tersenyum dan merentangkan tangan seolah meminta kami membuat jarak. ”Baiklah, semuanya mengambil tempat masing-masing!”
Aku melangkah menuju tempat yang dimaksudkan Tabitha. Sementara Brodie menuju sisi lain yang berlawanan dengan tempatku. Pertarungan akan dimulai. Meskipun aku belum pernah bertarung dalam double battle, tapi aku takkan menyerah untuk bisa bergabung dengan Tim Magma!
”Semuanya siap?” tanya Tabitha memastikan. Aku dan Brodie mengangguk. ”Pertarungan dimulai!” Tabitha memberi aba-aba yang disusul riuh suara penonton yang menyaksikan.
”Keluarlah Mightyena! Keluarlah Camerupt!”
Brodie melemparkan dua pokeball ke udara. Dari dalamnya keluar seekor Pokemon yang tampak seperti serigala, Mightyena dan Pokemon yang tampak seperti unta dengan gunung berapi kecil di punuknya, Camerupt. Aku pun tak mau kalah, akan kukeluarkan Pokemonku.
”Keluarlah Sandslash! Keluarlah Ninjask!” aku melemparkan pokeballku dan segera saja keluar Sandslash dan juga Ninjask. Perpaduan yang sangat menarik, pikirku.
Tapi apa yang terjadi? Kedua Pokemonku tampak saling berhadapan dengan saling menatap mata masing-masing. Oh, tidak! Mereka masih bermusuhan!
Scene 19: Kekalahan Pertama
”Sandslash, Ninjask! Cobalah untuk berdamai!” perintahku. Namun keduanya masih saling menatap dengan penuh kebencian. Mendadak sebuah bola berwarna hitam meluncur ke arah kedua Pokemonku. ”Kalian berdua awas!” sentakku memeringatkan. Membuat kedua Pokemonku langsung menoleh dan dengan cepat menghindar. Serangan bola bayangan dari Mightyena pun meleset. Fiuh, hampir saja....batinku.
”Hei, kamu niat bertarung tidak sih?” tanya Brodie jengkel. Sepertinya dia menyadari keadaanku yang berantakan. ”Kalau kamu takut lebih baik menyerah saja sekarang!” lanjutnya.
”Tidak akan!” sanggahku cepat. ”Sandslash, Scratch! Ninjask, Fury Swipes!” aku memberi perintah hampir bersamaan. Namun bukannya menyerang Pokemon milik Brodie, kedua Pokemonku justru saling menyerang satu sama lain menggunakan serangan yang kuperintahkan tadi. Melihat hal itu, para penonton yang berkerumun tertawa keras. Mereka mulai mengejekku. Oh, tidak! Tamatlah riwayatku!
”Hahaha... Lihat itu! Seperti itukah trainer yang sudah mengalahkan Jiken?” ledek salah seorang anggota Tim Magma dengan suara keras.
”Dia bahkan tidak bisa mengendalikan kedua Pokemonnya,” sahut yang lain.
”Hahahaha!” Brodie tak luput ikut tertawa melihat situasiku. ”Kamu bilang kamu yang mengalahkan Jiken? Apa kamu bercanda?” ejeknya tajam.
Sial! Bagaimana ini? Sandslash dan Ninjask masih memendam kebencian saat mereka bertarung dulu, sekarang apa yang harus kulakukan?
”Sandslash, Ninjask, hentikan pertarungan kalian!” perintahku mencoba melerai mereka. Namun kedua Pokemonku tetap saja saling menyerang.
”Baiklah, aku tak mau buang-buang waktuku. Camerupt, Ember! Mightyena, Bite!” perintah Brodie.
Camerupt lalu mengeluarkan percikan bunga apa ke arah Ninjask sementara Mightyena berlari ke arah Sandslash dan menggigit Pokemon pertamaku itu. Sandslash dan Ninjask yang tengah asyik bertarung sendiri tak menyadari serangan tersebut. Serangan-serangan Pokemon milik Brodie pun tepat pada sasaran. Membuat Ninjask terjatuh sementara Sandslash tersentak kesakitan. Pertarungan mereka pun bubar.
Tak terima dengan serangan tersebut, Sandslash dan Ninjask yang tampak marah lalu menerjang ke arah Pokemon milik Brodie. Sandslash menggerakkan tangannya cepat dan melakukan jurus Slash atau menyayat ke arah Mightyena. Itu jurus baru yang dipelajari Sandslash setelah berevolusi dari Sandshrew. Namun dari belakang Ninjask pun juga menerjang ke arah Mightyena dengan serangan Fury Swipes atau pukulan beruntunnya. Apa? Keduanya menyerang Pokemon yang sama? Lalu bagaimana dengan Pokemon Brodie yang satunya, Camerupt?
Serangan Sandslash dan Ninjask mengenai Mightyena. Mightyena tampak kesakitan menerima dua serangan sekaligus. Tampaknya kedua Pokemonku unggul, tapi mereka melupakan Camerupt yang kini dengan cepat meluncurkan serangan Overheat atau ledakan panas. Serta merta serangan Camerupt bersarang pada dua Pokemonku itu. Kini Sandslash dan Ninjask terkapar di tanah. Ninjask bahkan terbakar karena serangan itu.
Tawa keras pecah di antara para penonton yang kesemuanya anggota Tim Magma itu. Bodoh! Bodoh sekali! Aku benar-benar malu.
”Ternyata kamu payah sekali Lunar,” ejek Brodie. ”Biar kusudahi ini. Camerupt, Overheat!” Camerupt kembali melepaskan ledakan panas ke arah Sandslash dan Ninjask yang terkapar.
”Kalian semua menyingkir!” teriakku memperingatkan kedua Pokemonku. Sandslash yang menyadari serangan Camerupt langsung menggulung tubuhnya menjadi bola dan menggelinding menghindar. Namun, serangan itu tetap mengenainya. Sementara Ninjask yang tak menyadari serangan Camerupt karena terbakar menjadi sasaran empuk ledakan panas. Ninjask pun terjatuh pingsan dan tak bisa melanjutkan pertarungan. ”Ninjask, kembali!” aku pun tak punya pilihan selain mengembalikan Ninjask ke dalam pokeball. Aku memang belum terbiasa dengan Ninjask pemberian Jiken ini.
Kini tinggal Sandslash saja Pokemonku yang tersisa di arena. Sandslash tampak kelelahan dan kesakitan sementara Mightyena dan Camerupt mengepungnya.
”Mightyena, Shadow Ball!” perintah Brodie.
Mightyena mengeluarkan bola bayangan ke arah Sandslash namun Sandslash dengan gesit melompat menghindari serangan itu dan kini tampak bersiap menerjang Camerupt yang ada di depannya.
”Camerupt, ember!” perintah Brodie menyadari Sandslash bergerak ke arah Camerupt.
Camerupt langsung meluncurkan percikan bunga apa ke arah Sandslash yang melayang di udara. Serangan itu mengenai Sandslash, namun Sandslash menangkis serangan itu dengan tangannya sehingga mengurangi efek percikan bunga api terhadap tubuhnya. Kini, Sandslash siap menyerang Camerupt.
”Sandslash, Slash!” perintahku.
Sandslash menuruti perintahku dengan baik. Cakarnya yang tajam langsung menyayat Camerupt. Camerupt pun terjatuh.
”Pukulan batu!” perintahku lagi tak mau kehilangan momentum.
Sandslash pun melakukan pukulan batu yang dengan cepat menjatuhkan Camerupt. Camerupt pingsan dan tak bisa melanjutkan pertarungan. Tapi ancaman masih datang dari Pokemon Brodie lain yaitu Mightyena. Sandslash yang baru mendarat di tanah tiba-tiba langsung terjengkang jatuh saat sebuah Sahdow Ball atau bola bayangan tepat mengenainya.
”Sudahi ini Mightyena, Quick Attack!” sentak Brodie tampak tak sabar.
Mightyena miliknya langsung berlari kencang ke arah Sandslash dan langsung menyerangnya. Sandslash yang masih terkapar tak berdaya menghindari serangan cepat Mightyena. Sandslash pun pingsan dan tak bisa meneruskan pertarungan. Aku telah kalah.
”Sandslash tidak dapat meneruskan pertarungan, maka pemenangnya sudah pasti.... Brodie!” Tabitha mengumumkan hasil pertarungan dengan suara keras. Yang langsung diikuti riuh tepuk tangan anggota Tim Magma lain yang menjadi penonton. Brodie tampak sumringah sementara aku jatuh berlutut di tanah. Aku tak percaya...aku tak percaya ini....aku kalah! Ini...ini adalah kekalahan pertamaku! Dan... kekalahan yang sangat menyakitkan karena dengan begini aku gagal bergabung dengan Tim Magma. Padahal aku sangat ingin bergabung dengan...
Lama aku termenung menatap tanah meratapi kekalahanku hingga sebuah suara menyadarkanku. ”Lunar, bangunlah! Terimalah kenyataan kalau kamu sudah kalah!” Itu suara Flame. Mendengar suara lembutnya membuatku bangkit berdiri perlahan.
”Aku... aku gagal bergabung dengan Tim Magma,” ujarku lemah.
”Sudahlah, mungkin kamu memang tidak harus bergabung dengan kami,” sahut Flame menenangkanku.
”Kamu salah Flame,” terdengar suara berat di kejauhan. Aku dan Flame menoleh. Rupanya Maxie yang berbicara. Maxie lalu berjalan perlahan menghampiriku. ”Lunar memang harus bergabung dengan kita,” sambungnya saat telah berada tepat di depan kami berdua.
”Apa maksud Paman? Bukankah dia sudah kalah?” tanya Flame terkejut.
”Aku tak mengharuskan dia menang melawan Brodie bukan? Yang kuminta hanya dia bertarung dengan Brodie, itu saja,” jawab Maxie. ”Dan dia telah bertarung dengan sangat baik. Aku tahu sepertinya kedua Pokemonnya sedang memiliki masalah sehingga tampak tidak akur. Bukan begitu Lunar?” tanya Maxie menoleh padaku.
”Ya,” aku mengangguk lemah. ”Ninjask masih marah karena Sandslash mengalahkannya saat pertarungan di kota Lavaridge.”
Maxie tersenyum mendengar jawabanku. Dia lalu memanggil anggota Tim Magma yang sedari tadi mengikutinya di belakang dengan isyarat tangan. Lelaki yang dipanggil Maxie segera mendekat. ”Berikan seragam Tim Magma kepadanya,” perintahnya.
Lelaki itu lalu mengulurkan bungkusan plastik besar padaku. Aku dengan serta merta menerimanya. Kubuka bungkusan itu dan kudapati satu stel seragam Tim Magma sebagaimana yang dipakai anggota-anggota lainnya.
”Ja... jadi maksud Tuan Maxie... Aku diterima menjadi anggota Tim Magma?” tanyaku tak percaya.
Maxie mengangguk. ”Tentu saja. Itu adalah seragam kami. Cobalah kamu pakai dulu, siapa tahu ukurannya tidak pas,” saran Maxie.
Aku tak percaya dengan yang kudengar. Dan entah mengapa aku tiba-tiba memeluk Flame yang berdiri di sampingku. ”Flame, kamu dengar itu? Aku diterima! Aku diterima!” Flame tampak terkejut saat tiba-tiba aku memeluknya.
”Ehem...ehem...” Maxie berdehem melihatku memeluk Flame. Mendengar deheman Maxie, Flame segera menyadari posisinya dan langsung melepas pelukanku dengan kasar.
”Apa-apaan kamu ini?” sergah Flame marah. Raut wajahnya merona merah. ”Kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya bertindak tidak sopan padaku!”
”Ugh... aku.... aku tak sengaja.... aku hanya.... terlalu gembira....” jawabku tampak bingung. Mendengar itu, semua yang menyaksikan langsung tertawa. Kecuali tentu saja aku dan Flame yang terlihat malu. Wajah kami pun merah padam dibuatnya.
Well, bagaimanapun akhirnya aku berhasil bergabung dengan Tim Magma. Sebuah kelompok yang memiliki obsesi sama dengan obsesiku selama ini. Biarlah aku berhenti dalam perjalananku sebagai pelatih Pokemon, bagiku itu tidak masalah. Karena dengan bergabung bersama Tim Magma, keinginanku untuk menangkap Groudon lebih terbuka luas. Yeah... aku seorang Tim Magma!!!
”Hei, kamu niat bertarung tidak sih?” tanya Brodie jengkel. Sepertinya dia menyadari keadaanku yang berantakan. ”Kalau kamu takut lebih baik menyerah saja sekarang!” lanjutnya.
”Tidak akan!” sanggahku cepat. ”Sandslash, Scratch! Ninjask, Fury Swipes!” aku memberi perintah hampir bersamaan. Namun bukannya menyerang Pokemon milik Brodie, kedua Pokemonku justru saling menyerang satu sama lain menggunakan serangan yang kuperintahkan tadi. Melihat hal itu, para penonton yang berkerumun tertawa keras. Mereka mulai mengejekku. Oh, tidak! Tamatlah riwayatku!
”Hahaha... Lihat itu! Seperti itukah trainer yang sudah mengalahkan Jiken?” ledek salah seorang anggota Tim Magma dengan suara keras.
”Dia bahkan tidak bisa mengendalikan kedua Pokemonnya,” sahut yang lain.
”Hahahaha!” Brodie tak luput ikut tertawa melihat situasiku. ”Kamu bilang kamu yang mengalahkan Jiken? Apa kamu bercanda?” ejeknya tajam.
Sial! Bagaimana ini? Sandslash dan Ninjask masih memendam kebencian saat mereka bertarung dulu, sekarang apa yang harus kulakukan?
”Sandslash, Ninjask, hentikan pertarungan kalian!” perintahku mencoba melerai mereka. Namun kedua Pokemonku tetap saja saling menyerang.
”Baiklah, aku tak mau buang-buang waktuku. Camerupt, Ember! Mightyena, Bite!” perintah Brodie.
Camerupt lalu mengeluarkan percikan bunga apa ke arah Ninjask sementara Mightyena berlari ke arah Sandslash dan menggigit Pokemon pertamaku itu. Sandslash dan Ninjask yang tengah asyik bertarung sendiri tak menyadari serangan tersebut. Serangan-serangan Pokemon milik Brodie pun tepat pada sasaran. Membuat Ninjask terjatuh sementara Sandslash tersentak kesakitan. Pertarungan mereka pun bubar.
Tak terima dengan serangan tersebut, Sandslash dan Ninjask yang tampak marah lalu menerjang ke arah Pokemon milik Brodie. Sandslash menggerakkan tangannya cepat dan melakukan jurus Slash atau menyayat ke arah Mightyena. Itu jurus baru yang dipelajari Sandslash setelah berevolusi dari Sandshrew. Namun dari belakang Ninjask pun juga menerjang ke arah Mightyena dengan serangan Fury Swipes atau pukulan beruntunnya. Apa? Keduanya menyerang Pokemon yang sama? Lalu bagaimana dengan Pokemon Brodie yang satunya, Camerupt?
Serangan Sandslash dan Ninjask mengenai Mightyena. Mightyena tampak kesakitan menerima dua serangan sekaligus. Tampaknya kedua Pokemonku unggul, tapi mereka melupakan Camerupt yang kini dengan cepat meluncurkan serangan Overheat atau ledakan panas. Serta merta serangan Camerupt bersarang pada dua Pokemonku itu. Kini Sandslash dan Ninjask terkapar di tanah. Ninjask bahkan terbakar karena serangan itu.
Tawa keras pecah di antara para penonton yang kesemuanya anggota Tim Magma itu. Bodoh! Bodoh sekali! Aku benar-benar malu.
”Ternyata kamu payah sekali Lunar,” ejek Brodie. ”Biar kusudahi ini. Camerupt, Overheat!” Camerupt kembali melepaskan ledakan panas ke arah Sandslash dan Ninjask yang terkapar.
”Kalian semua menyingkir!” teriakku memperingatkan kedua Pokemonku. Sandslash yang menyadari serangan Camerupt langsung menggulung tubuhnya menjadi bola dan menggelinding menghindar. Namun, serangan itu tetap mengenainya. Sementara Ninjask yang tak menyadari serangan Camerupt karena terbakar menjadi sasaran empuk ledakan panas. Ninjask pun terjatuh pingsan dan tak bisa melanjutkan pertarungan. ”Ninjask, kembali!” aku pun tak punya pilihan selain mengembalikan Ninjask ke dalam pokeball. Aku memang belum terbiasa dengan Ninjask pemberian Jiken ini.
Kini tinggal Sandslash saja Pokemonku yang tersisa di arena. Sandslash tampak kelelahan dan kesakitan sementara Mightyena dan Camerupt mengepungnya.
”Mightyena, Shadow Ball!” perintah Brodie.
Mightyena mengeluarkan bola bayangan ke arah Sandslash namun Sandslash dengan gesit melompat menghindari serangan itu dan kini tampak bersiap menerjang Camerupt yang ada di depannya.
”Camerupt, ember!” perintah Brodie menyadari Sandslash bergerak ke arah Camerupt.
Camerupt langsung meluncurkan percikan bunga apa ke arah Sandslash yang melayang di udara. Serangan itu mengenai Sandslash, namun Sandslash menangkis serangan itu dengan tangannya sehingga mengurangi efek percikan bunga api terhadap tubuhnya. Kini, Sandslash siap menyerang Camerupt.
”Sandslash, Slash!” perintahku.
Sandslash menuruti perintahku dengan baik. Cakarnya yang tajam langsung menyayat Camerupt. Camerupt pun terjatuh.
”Pukulan batu!” perintahku lagi tak mau kehilangan momentum.
Sandslash pun melakukan pukulan batu yang dengan cepat menjatuhkan Camerupt. Camerupt pingsan dan tak bisa melanjutkan pertarungan. Tapi ancaman masih datang dari Pokemon Brodie lain yaitu Mightyena. Sandslash yang baru mendarat di tanah tiba-tiba langsung terjengkang jatuh saat sebuah Sahdow Ball atau bola bayangan tepat mengenainya.
”Sudahi ini Mightyena, Quick Attack!” sentak Brodie tampak tak sabar.
Mightyena miliknya langsung berlari kencang ke arah Sandslash dan langsung menyerangnya. Sandslash yang masih terkapar tak berdaya menghindari serangan cepat Mightyena. Sandslash pun pingsan dan tak bisa meneruskan pertarungan. Aku telah kalah.
”Sandslash tidak dapat meneruskan pertarungan, maka pemenangnya sudah pasti.... Brodie!” Tabitha mengumumkan hasil pertarungan dengan suara keras. Yang langsung diikuti riuh tepuk tangan anggota Tim Magma lain yang menjadi penonton. Brodie tampak sumringah sementara aku jatuh berlutut di tanah. Aku tak percaya...aku tak percaya ini....aku kalah! Ini...ini adalah kekalahan pertamaku! Dan... kekalahan yang sangat menyakitkan karena dengan begini aku gagal bergabung dengan Tim Magma. Padahal aku sangat ingin bergabung dengan...
Lama aku termenung menatap tanah meratapi kekalahanku hingga sebuah suara menyadarkanku. ”Lunar, bangunlah! Terimalah kenyataan kalau kamu sudah kalah!” Itu suara Flame. Mendengar suara lembutnya membuatku bangkit berdiri perlahan.
”Aku... aku gagal bergabung dengan Tim Magma,” ujarku lemah.
”Sudahlah, mungkin kamu memang tidak harus bergabung dengan kami,” sahut Flame menenangkanku.
”Kamu salah Flame,” terdengar suara berat di kejauhan. Aku dan Flame menoleh. Rupanya Maxie yang berbicara. Maxie lalu berjalan perlahan menghampiriku. ”Lunar memang harus bergabung dengan kita,” sambungnya saat telah berada tepat di depan kami berdua.
”Apa maksud Paman? Bukankah dia sudah kalah?” tanya Flame terkejut.
”Aku tak mengharuskan dia menang melawan Brodie bukan? Yang kuminta hanya dia bertarung dengan Brodie, itu saja,” jawab Maxie. ”Dan dia telah bertarung dengan sangat baik. Aku tahu sepertinya kedua Pokemonnya sedang memiliki masalah sehingga tampak tidak akur. Bukan begitu Lunar?” tanya Maxie menoleh padaku.
”Ya,” aku mengangguk lemah. ”Ninjask masih marah karena Sandslash mengalahkannya saat pertarungan di kota Lavaridge.”
Maxie tersenyum mendengar jawabanku. Dia lalu memanggil anggota Tim Magma yang sedari tadi mengikutinya di belakang dengan isyarat tangan. Lelaki yang dipanggil Maxie segera mendekat. ”Berikan seragam Tim Magma kepadanya,” perintahnya.
Lelaki itu lalu mengulurkan bungkusan plastik besar padaku. Aku dengan serta merta menerimanya. Kubuka bungkusan itu dan kudapati satu stel seragam Tim Magma sebagaimana yang dipakai anggota-anggota lainnya.
”Ja... jadi maksud Tuan Maxie... Aku diterima menjadi anggota Tim Magma?” tanyaku tak percaya.
Maxie mengangguk. ”Tentu saja. Itu adalah seragam kami. Cobalah kamu pakai dulu, siapa tahu ukurannya tidak pas,” saran Maxie.
Aku tak percaya dengan yang kudengar. Dan entah mengapa aku tiba-tiba memeluk Flame yang berdiri di sampingku. ”Flame, kamu dengar itu? Aku diterima! Aku diterima!” Flame tampak terkejut saat tiba-tiba aku memeluknya.
”Ehem...ehem...” Maxie berdehem melihatku memeluk Flame. Mendengar deheman Maxie, Flame segera menyadari posisinya dan langsung melepas pelukanku dengan kasar.
”Apa-apaan kamu ini?” sergah Flame marah. Raut wajahnya merona merah. ”Kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya bertindak tidak sopan padaku!”
”Ugh... aku.... aku tak sengaja.... aku hanya.... terlalu gembira....” jawabku tampak bingung. Mendengar itu, semua yang menyaksikan langsung tertawa. Kecuali tentu saja aku dan Flame yang terlihat malu. Wajah kami pun merah padam dibuatnya.
Well, bagaimanapun akhirnya aku berhasil bergabung dengan Tim Magma. Sebuah kelompok yang memiliki obsesi sama dengan obsesiku selama ini. Biarlah aku berhenti dalam perjalananku sebagai pelatih Pokemon, bagiku itu tidak masalah. Karena dengan bergabung bersama Tim Magma, keinginanku untuk menangkap Groudon lebih terbuka luas. Yeah... aku seorang Tim Magma!!!